ANALISIS TENTANG
WAKAF UANG
PADA TABUNG
WAKAF INDONESIA
A.
Kronologi
a.
Jenis Uang
Dari segi jenisnya, wakaf uang yang
dilaksanakan oleh TWI (Tabung Wakaf Indonesia) adalah wakaf uang logam dan uang
kertas. Uang logam yang dimaksud adalah uang logam untuk jual beli uang dinar
dan dirham sebagai salah satu jaringan Wakala Induk Nusantara. Adapun uang
kertas yang diterima TWI adalah uang kertas rupiah.
Memperhatikan jenis uang yang diterima TWI,
TWI dapat dikatakan telah sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2006.
Dimana pada Pasal 22 disebutkan bahwa wakaf uang yang dapat diwakafkan adalah
mata uang rupiah. Namun apabila uang yang diwakafkan dalam bentuk mata uang
asing, sperti dinar, maka TWI sebagaimana pasal itu telah mengkonversikan
terlebih dahulu ke mata uang rupiah. Dari sini TWI tidak langsung begitu saja
menerima prakteka wakaf uang tersebut tetapi ada proses lanjutannya seperti
yang telah di paparkan diatas.
b.
Jenis Wakaf
Uang
Uang yang telah diterima oleh TWI dapat
diklasifikasikan ke dalam dua kategori: (i) wakaf uang untuk produktif dan (ii)
wakaf uang untuk non-produktif. Wakaf uang produktif adalah dana wakaf uang
yang diterima TWI untuk pengembangan usaha yang menghasilkan keuntungan,
seperti kongsi dengan Bakmi Langgara, kongsi dengan Kampoeng Ternak dan
pendirian Food Court (pusat makanan). Adapun wakaf uang untuk non-produktif
adalah wakaf berupa uang yang kemudian dirubah bentuknya menjadi asset atau
harta, seperti gedung LKC, gedung sekolah Smart EI, dan saat ini sedang
membangun gedung Rumah Sehat Terpadu.
Namun, model pembagian wakaf ini dikritik oleh
sebagian praktisi wakaf, seperti Masykuri Abdillah yang mengatakan bahwa TWI
telah menggunakan dana wakaf uang untuk pembelian aset non-produktif, bukan
menunggu hasil pengelolaannya. Ketika wakaf uang diinvestasikan dalam bentuk
misalnya Wisma Mualaf, hal ini jelas tidak akan memberikan keuntungan materi.
Padahal, inti wakaf uang adalah menjadikan modal dan mendistribusikan hasil,
bukan menggunakan wakaf uang untuk modal yang statis. Dengan demikian, inti
dari wakaf uang adalah adanya investasi, seperti tergambar dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006.
c.
Prosedur
Penerimaan Wakaf Uang
Dalam tataran hukum positif, wakaf uang dalam
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 termasuk wakaf benda bergerak. Benda bergerak
adalah harta benda yang tidak bisa habis karena dikonsumsi termasuk di dalamnya
adalah uang.
Adapun benda bergerak berupa uang secara
khusus dijelaskan dalam pasal 22 dan 23 Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun
2006 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf. Dalam
pasal 22 disebutkan bahwa wakaf uang yang dapat diwakafkan adalah “mata uang
rupiah”. Wakif yang akan mewakafkan uangnya diwajibkan untuk hadir di Lembaga
Keuangan Syariah Penerima Wakaf Uang (LKS-PWU) untuk menyatakan kehendak wakaf
uangnya, menjelaskan kepemilikan dan asal-usul uang yang akan diwakafkan,
menyetor secara tunai sejumlah uang ke LKS-PWU, dan mengisi formulir pernyataan
kehendak wakif yang berfungsi sebagai AIW.
Pasal 23 menjelaskan bahwa wakif dapat
mewakafkan benda bergerak berupa uang melalui LKS yang ditunjuk oleh Menteri
sebagai LKS Penerima Wakaf Uang (LKS-PWU).
B.
Analisis
Permasalahan yang muncul dari wakaf uang inia adalah
bahwa TWI bukanlah bagian dari LKS-PWU yang disahkan Menteri Agama. Dalam pasal
22 ayat (3) dijelaskan bahwa wakif (pemberi wakaf) harus hadir di LKS-PWU untuk
menyatakan kehendak wakaf yang kemudian akan memperoleh formulir kehendak wakaf
yang berfungsi sebagai Akta Ikrar Wakaf (AIW). Akta ini merupakan bukti otentik
terjadinya wakaf yang kemudian dapat menjadi landasan dikeluarkannya Sertifikat
Wakaf Uang. Ketika disadari demikian, maka TWI sepertinya tidak berhak menerima
wakaf uang, kecuali TWI berfungsi sebagai perpanjangan tangan dari LKS-PWU,
dengan cara TWI menerima wakaf uang dari masyarakat lalu menyerahkan kepada
LKS-PWU untuk didayagunakan. Kemudian, hasilnya dapat dimanfaatkan untuk
membiayai program-program TWI.
Di balik ketidaksesuaian TWI dalam prosedur
penerimaan di atas, ada sejumlah alasan yang patut dipertimbangkan.
1. Bagi TWI,
bank meskipun telah berlabel Syariah masih belum lepas dari praktik ribawi.
2. Dengan
menerima dan memberdayakan wakaf uang secara langsung kepada masyarakat, para
pedagang dan pengusaha dengan mudah akan dapat menikmati kucuran dana segar
tanpa bunga.
3. Perputaran
uang wakaf lewat perdagangan akan lebih terjamin kehalalannya dan lebih
menguntungkan ketimbang dititipkan ke bank. Ketika dana wakaf uang
diinvestasikan kepada kegiatan usaha masyarakat secara langsung, hal ini akan
dapat memberikan suntikan dana sekaligus menggairahkan perekonomian mereka.
D. Prosedur
Pendayagunaan Wakaf Uang
Saat ini,
prosedur pendayagunaan yang dilakukan oleh TWI adalah TWI memberdayakan dana
wakaf uang secara mandiri melalui program-program unggulan yang dibuat sendiri.
Misalnya wakaf uang untuk dana pendidikan melalui sekolah Smart EI, dana
kesehatan melalui Layanan Kesehatan Cuma-Cuma, atau untuk dana produktif
melalui usaha Bakmi Langgara dan Food Court. Dengan begitu, TWI tidak perlu
lagi bekerja sama dengan LKS-PWU dalam pendayagunaan dana wakaf uang
masyarakat.
Ada beberapa
ketidaksesuaian TWI dengan ketentuan hukum positif dalam proses pendayagunaan
wakaf uang yang diterima. Di antaranya adalah:
1. Menerima
wakaf uang lalu menginvestasikan sendiri tanpa menyimpan terlebih dahulu di
LKS-PWU. Semestinya, jika mengikuti aturan hukum yang berlaku, khususnya PP
Nomor 42 Tahun 2006, dana wakaf uang disetorkan terlebih dahulu ke LKS-PWU,
barulah diambil hasilnya, atau kalau pun akan diinvestasikan di luar perbankan
harus diasuransikan terlebih dahulu dengan menggunakan asuransi syariah.
2. TWI tidak
menjamin bahwa dana wakaf uang yang diinvestasikan akan memberikan hasil dan
induknya tetap. Juga, TWI belum pernah menggunakan asuransi syariah dalam
pengelolaan wakaf uang. Misalnya, ketika mereka berkongsi dengan Bakmi
Langgara, mereka mengandalkan sikap saling percaya dan selembar surat
perjanjian tentang bagi hasil dan kerugian. Salah satu klausul dalam perjanjian
itu adalah apabila Bakmi Langgara mengalami kerugian, maka kerugian hanya
ditanggung oleh pihak Bakmi Langgara. Dengan demikian, dana wakaf uang akan
tetap terpelihara.
3. Kesan
sementara ini yang muncul adalah bahwa BWI ingin memonopoli pengelolaan wakaf
uang. Masyarakat tidak boleh mengelola wakaf uang kecuali mendapat ijin dari
BWI. Padahal, hingga kini, belum ada satu pun lembaga yang mengantongi ijin
tersebut, termasuk TWI. Ini berarti masyarakat hanya bisa berwakaf uang tetapi
tidak dapat menikmati hasilnya karena semua dana wakaf uang harus disetorkan ke
rekening BWI.
Alasan TWI
dalam proses pendayagunaan wakaf uang ini antara lain:
1. TWI
memiliki fokus kepada penerimaan wakaf uang untuk dirupakan dalam bentuk aset.
Dana wakaf uang yang diproduktifkan masih belum maksimal.
2. Para wakif
memang menginginkan dananya disalurkan untuk kepentingan pembangunan yang
sedang dilaksanakan TWI. Oleh sebab itu, dana wakaf uang lebih banyak
dialokasikan untuk pembangunan gedung dan perluasan tanah seperti kehendak
mereka. TWI menyerahkan wakaf uang ke produk yang tidak menghasilkan
(non-produktif) seperti LKC, sekolah Smart EI dan Wisma Mualaf.
3. Wakaf
syuyu’i (kolektif) merupakan salah satu program unggulan TWI. Program ini
bertujuan untuk membangun aset dengan cara membayar lewat uang, misalnya
membangun gedung sekolah dan wisma mualaf. Kegiatan semacam ini dapat disebut
sebagai wakaf melalui uang, bukan seperti wakaf uang yang disebutkan dalam
Undang-Undang.
4. TWI tidak
tertarik untuk menginvestasikan dana wakaf uang melalui bank. Bagi TWI, prinsip
pendayagunaan adalah dengan mengaktifkan pasar dan pusat-pusat ekonomi
masyarakat tradisional.
5. Ketika
wakaf uang disetorkan ke LKS-PWU, uang akan diinvestasikan pada produk bank.
Ini berarti hanya akan memperkaya pengelola bank dan mengurangi perputaran uang
di masyarakat. Bank akan meraih keuntungan sedangkan masyarakat akan kekurangan
modal. Namun, bila menggunakan cara yang diterapkan TWI, masyarakat akan
mendapat modal segar dari dana wakaf uang.
6. TWI telah
berdiri sejak tahun 2005 sedangkan Peraturan Pemerintah Nomor 42 baru muncul
tahun 2006 dan Peraturan Menteri Agama Nomor 4 baru lahir tahun 2009 yang
kemudian disusul dengan penunjukan LKS-PWU. Dengan demikian, ketidaksesuaian
praktik yang dilakukan TWI sebenarnya bukan karena tidak taat hukum, namun
lebih karena aturan wakaf uang baru dibuat di Indonesia, beberapa tahun setelah
TWI beroperasi. Dalam hal ini, nampaknya, TWI harus dengan besar hati
menyesuaikan diri dengan aturan hukum yang berlaku ketika semua fasilitas
teknis telah tersedia.
E. Beberapa
Tawaran Solusi
Mencermati
sejumlah ketidaksesuaian praktik TWI dengan perundang-undangan yang berlaku,
beberapa solusi dapat ditawarkan untuk mengatasi berbagai masalah di atas,
antara lain sebagai berikut.
1. Kalau bisa
disepakati, wakaf uang dapat diklasifikasikan ke dalam dua kategori, yakni
wakaf uang untuk aset (non-produktif) dan wakaf uang untuk usaha (produktif).
Dengan demikian, praktik wakaf uang non-produktif seperti banyak dilakukan oleh
masyarakat termasuk TWI akan mendapat payung hukum.
2. BWI
seharusnya bersedia memberi kesempatan kepada seluruh elemen masyarakat untuk
terlibat dalam wakaf uang, termasuk memiliki nomor rekening khusus wakaf uang
di bank Syariah, tanpa prosedur yang berbelit. Sebagai misal, ketika penulis
mencoba membuka rekening di LKS-PWU (Bank Muamalaf dan Bank Syariah Mandiri di
Jakarta), nampaknya fasilitas rekening khusus itu belum tersedia kecuali untuk
nazhir atas nama BWI. Dengan demikian, lembaga lain semisal TWI belum bisa
mendapat pelayanan khusus seperti yang dimiliki BWI, antara lain kepemilikan
dua rekening berbeda antara rekening dana wakaf dan rekening hasil
pendayagunaan wakaf (bagi hasil).
3. BWI
seharusnya tidak memonopoli dana wakaf uang seperti saat ini, tetapi justru
memberikan contoh baik dalam pengelolaan wakaf uang secara produktif. Selama 3
tahun masa kerja, BWI belum memiliki proyek percontohan (pilot project) yang
konkret, kecuali saat ini sedang berencana membangun Rumah Sakit Ibu dan Anak
di Tangerang.
4. BWI
seharusnya lebih merakyat. Meskipun BWI terdiri dari para pakar dari berbagai
bidang, semestinya BWI memberikan teladan kepada masyarakat, bukan malah
mengecilkan peran lembaga lain yang telah susah payah membangun budaya wakaf
uang di masyarakat. Kreatifitas masyarakat dalam pengumpulan wakaf uang perlu
dihargai dan diwadahi.
5. LKS-PWU
seharusnya tidak hanya menjadi kepanjangan tangan dari BWI, melainkan menjadi
pelaksana dari wakaf uang bagi segenap lapisan masyarakat. Oleh sebab itu,
mereka harus dapat melayani masyarakat umum yang ingin mengelola wakaf uang.
0 komentar:
Post a Comment