“ PENCEGAHAN DAN
PENANGGULANGAN PEMBALAKAN HUTAN LIAR DI INDONESIA “
Diajukan
Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Kebijakan
Publik
DESAIN
Program
Studi siyasah Semester IV
Di Susun Oleh :
Asikin Abdul Aziz
PROGRAM STUDI SIYASAH
FAKULTAS
SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG
2014
BAB
II
PEMBAHASAN
1. Penyitaan (Sita
Jaminan)
Pengertian sita jaminan adalah penyitaan yang dilakukan oleh pengadilan
atas barang bergerak atau tidak bergerak, milik penggugat atau tergugat untuk
menjamin adanya tuntutan hak dari pihak yang berkepentingan atau pemohon sita.
Penyitaan ini merupakan tindakan persiapan untuk menjamin dapat dilaksanakannya
putusan perdata. Barang-barang yang disita untuk kepentingan penggugat
dibekukan, berarti bahwa barang-barang itu disimpan untuk jaminan dan tidak
boleh dialihkan atau dijual (ps. 197 ayat 9, 199 HIR, 212, 214 Rbg).
Tujuan dari sita
jaminan tersebut adalah untuk menjamin apabila gugatan dikabulkan atau
dimenangkan, putusannya dapat dilaksanakan sehingga penggugat dapat menikmati
kemenangannya sebab ada kemungkinan bahwa pihak lawan atau tergugat, selama
sidang berjalan, mengalihkan harta kekayaannya kepada orang lain. Selain itu,
untuk menjaga agar gugatannya nanti tidak illussoir (putusan hampa).
Permohonan sita
jaminan yang dikabulkan, lalu dinyatakan sah dan berharga (van waarde
verklaard) dalam putusan. Sita jaminan ini tidak meliputi seluruh harta
kekayaan tergugat tetapi hanya barang tertentu saja yang dilakukan oleh pihak
penggugat.
A. Macam-macam sita
yang diatur di dalam HIR adalah :
1.
Sita revindicatoir (ps.226 HIR)
a. Pemilik barang
bergerak yang barangnya ada di tangan orang lain dapat minta, baik secara lisan
maupun tertulis, kepada Ketua Pengadilan Negeri di tempat orang yang memegang
barang tersebut tinggal, agar barang tersebut disita.
b. Barang yang
disita secara revindicatoir adalah barang bergerak dan terperinci milik
penggugat.
c. Untuk dapat
mengajukan permohonan sita revindicatoir tidak perlu ada dugaan yang beralasan,
bahwa seseorang yang berhutang selama belum dijatuhkan putusan, mencari akal
akan menggelapkan atau melarikan barang yang bersangkutan.
d. Akibat hukum
sita ini adalah penggugat tidak dapat menguasai barang yang telah disita,
sebaliknya tergugat dilarang untuk mengalihkannya.
e.
Apabila gugatan penggugat dikabulkan, maka dinyatakan
sah dan berharga, sedangkan kalau gugatan ditolak, maka sita revindicatoir itu
dinyatakan dicabut.
2. Sita
Conservatoir (ps. 227 HIR)
a. Penyitaan
(beslag) ini merupakan tindakan persiapan dari pihak penggugat dalam bentuk
permohonan kepada Ketua Pengadilan Negeri untuk menjamin dapat dilaksanakannya
putusan perdata dengan menjual barang tergugat yang disita guna memenuhi
tuntutan penggugat.
b. Barang yang
disita secara conservatoir adalah barang bergerak dan tidak bergerak milik
tergugat.
c. Penyitaan ini hanya
dapat terjadi berdasarkan perintah Ketua Pengadilan Negeri atas permintaan
penggugat (ps.227 ayat 1 HIR, 261 ayat 1 Rbg).
d. Untuk mengajukan
sita jaminan ini harus ada dugaan yang beralasan, bahwa seorang yang berhutang
selama belum dijatuhkan putusan oleh hakim atau selama putusan belum dijalankan
mencari akal untuk menggelapkan atau melarikan barangnya.
e. Apabila gugatan
penggugat dikabulkan, maka dinyatakan sah dan berharga, sedangkan kalau gugatan
ditolak, maka sita conservatoir itu dinyatakan dicabut.
f.
Setiap saat tergugat dapat mengajukan permohonan
kepada hakim yang memeriksa pokok perkara yang bersangkutan, agar sita jaminan
atas barangnya dicabut, apabila dikabulkan maka tergugat harus menyediakan
tanggungan yang mencukupi.
3. Sita Ekesekutoir (ps. 197 HIR)
a. Penyitaan yang
dilakukan sesudah putusan hakim mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan akan
dieksekusi.
b. Penyitaan
dilakukan oleh panitera Pengadilan Negeri, yang wajib, yang membuat berita
acara tentang pekerjaannya itu serta memberitahukan isinya kepada tersita kalau
ia hadir, dan penitera dibantu oleh dua orang saksi yang ikut serta
menandatangani berita acara.
c. Barang yang
disita adalah barang bergerak dan tidak bergerak, kecuali barang atau hewan
yang digunakan untuk mencari nafkah. Untuk barang tidak bergerak, dibuat Berita
Acara, diumumkan dan dicatat oleh Kepala Desa, salinannya didaftarkan pada
Kantor Pendaftaran Tanah.
B. Cara
Penyitaan
Tata cara penyitaan terdiri atas :
1.
Penyitaan
dilakukan oleh Juru Sita dengan dua orang saksi atas perintah Ketua Pengadilan
Negeri dengan suatu Penetapan Sita;
2.
Panitera wajib
membuat berita acara penyitaan;
3.
Panitera wajib
memberitahukan isi berita acara penyitaan kepada tersita kalau tersita hadir;
dan
4.
Benda sitaan
tetap dibawah kekuasaan pihak tersita dengan kewajiban untuk menjaga.
Barang sitaan
berupa tanah, diadakan register tersendiri. Apabila menyangkut tanah yang sudah
didaftarkan, dalam hal penyitaan dicatat juga dalam register tanah di Kantor Pendaftaran
Tanah. Dengan demikian, pihak calon pembeli dapat mengetahui tanah tersebut
sedang disita atau tidak.
C. Batasan-Batasan
Barang Yang Disita Menurut Undang-Undang
Sita jaminan
dilakukan atas perintah Hakim/Ketua Majelis
sebelum atau selama proses pemeriksaan berlangsung dan untuk penyitaan
tersebut Hakim/Ketua Majelis membuat surat penetapan. Penyitaan dilaksanakan
oleh Panitera Pengadilan Negeri/Juru Sita dengan dua orang pegawai pengadilan
sebagai saksi.
Permohonan agar
dilakukan sita jaminan. baik itu sita conservatoir atau sita revindicatoir,
harus dimusyawarahkan Majelis Hakim dengan seksama, apabila permohonan
tersebut cukup beralasan dan dapat dikabulkan maka ketua majelis membuat
penetapan sita jaminan. Sita jaminan dilakukan oleh panitera/jurusita yang
bersangkutan dengan disertai dua orang pegawai pengadilan negeri sebagai saksi.
Sebelum
menetapkan permohonan sita jaminan Ketua Pengadilan /Majelis wajib terlebih
dahulu mendengar pihak tergugat. Dalam mengabulkan permohonan sita jaminan,
Hakim wajib memperhatikan :
·
Penyitaan hanya
dilakukan terhadap barang milik tergugat (atau dalam hal sita revindicatoir
terhadap barang bergerak tertentu milik penggugat yang ada di tangan tergugat
yang dimaksud dalam surat gugat), setelah terlebih dahulu mendengar keterangan
pihak tergugat (lihat Pasal 227 ayat (2) HIR/Pasal 261 ayat (2) RBg.).
·
Apabila yang
disita adalah sebidang tanah, dengan atau tanpa rumah, maka berita acara
penyitaan harus didaftarkan sesuai
ketentuan dalam Pasal 227 (3) jo Pasal 198 dan Pasal 199 HIR atau pasal 261 jo
pasal 213 dan Pasal 214.
·
Dalam hal tanah
yang disita sudah terdaftar /bersertifikat, penyitaan harus didaftarkan di
Badan Pertanahan Nasional. Dan dalam hal tanah yang disita belum terdaftar
/belum bersertifikat, penyitaan harus didaftarkan di Kelurahan. Tindakan
tersita yang bertentangan dengan larangan tersebut adalah batal demi hukum.
·
Barang yang
disita ini, meskipun jelas adalah milik penggugat yang disita dengan sita
revindicatoir, harus tetap
dipegang/dikuasai oleh tersita. Barang yang disita tidak dapat dititipkan
kepada Lurah atau kepada Penggugat atau membawa barang itu untuk di simpan di gedung
Pengadilan Negeri.
·
Yang disita
adalah barang bergerak dan barang yang tidak bergerak milik tergugat.
·
Apabila yang
disita adalah tanah, maka harus dilihat dengan seksama bahwa tanah tersebut
adalah milik tergugat, luas serta batas-batasnya harus disebutkan dengan jelas
(Perhatikan SEMA No. 2 Tahun 1962, tertanggal 25 April 1962). Untuk menghindari
kesalahan penyataan diwajibkan membawa serta Kepala Desa untuk melihat keadaan
tanah, batas serta luas tanah yang akan disita).
·
Penyitaan atas
tanah harus dicatat dalam buku tanah yang ada di desa, selain itu sita atas
tanah yang bersertifikat harus didaftarkan di Badan Pertanahan Nasional
setempat dan alas tanah yang belum bersertifikat harus diberitahukan kepada
Kantor Pertanahan Kota/ Kabupaten.
·
Penyitaan harus
dicatat di buku khusus yang disediakan di Pengadilan Negeri yang memuat catatan
mengenai tanah-¬tanah yang disita, kapan disita dan perkembangannya dan buku
tersebut adalah terbuka untuk umum.
·
Sejak tanggal
pendaftaran sita, tersita dilarang untuk menyewakan, mengalihkan atau
menjaminkan tanah yang disita. Semua tindakan tersita yang dilakukan
bertentangan dengan larangan itu adalah batal demi hukum.
·
Kepala Desa yang
bersangkutan dapat ditunjuk sebagai pengawas agar tanah tersebut tidak dialihkan
kepada orang lain.
·
Penyitaan
dilakukan lebih dahulu atas barang bergerak yang cukup untuk menjamin
dipenuhinya gugatan penggugat, apabila barang bergerak milik tergugat tidak
cukup, maka tanah-tanah dan rumah milik tergugat dapat disita.
·
Apabila gugatan
dikabulkan, sita jaminan dinyatakan sah dan berharga oleh Hakim dalam amar
putusannya, dan apabila gugatan ditolak atau dinyatakan tidak dapat diterima,
sita harus diperintahkan untuk diangkat.
·
Sita jaminan dan
sita eksekusi terhadap barang-barang milik negara dilarang. Pasal 50
Undang-undang No.1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara menyatakan
"Pihak manapun dilarang melakukan penyitaan terhadap":
2.
Eksepsi
Dan Bantahan Pokok Perkara
A.
Pengerian
Eksepsi
Dalam hukum
acara perdata , eksepsi adalah tangkisan, bantahan atau pembelaan yang diajukan
tergugat terhadap materi gugatan penggugat. Eksepsi diajukan penggugat
menyangkut hal-hal yang bersifat formil dari sebuah gugatan, yang mengandung
cacat atau pelanggaran formil yang mengakibatkan gugatan tidak dapat diterima.
Eksepsi yang diajukan penggugat tidak ditujukan atau menyangkut pada pokok
perkara (verweer ten principale). Tujuan dari eksepsi yaitu majelis hakim
mengakhiri proses pemeriksaan perkara tanpa lebih lanjut memeriksa materi pokok
perkara dengan menjatuhkan putusan negatif, gugatan tidak dapat diterima (niet
ontvankelijk verklaard).
B.
Cara Pengajuan
Eksepsi
Cara pengajuan
eksepsi diatur dalam Pasal 125 ayat (2), Pasal 133, Pasal 134 dan Pasal 136
HIR. Cara pengajuan suatu eksepsi berbeda satu sama lain dikaitkan dengan jenis
eksepsi yang bersangkutan.
1.
Eksepsi
Kewenangan Absolut (Exceptio Declinatoir atau Absolute Competency)
Pengajuan eksepsi
kewenangan absolut dilakukan dengan (Pasal 134 HIR dan Pasal 132 Rv):
dapat diajukan setiap
saat selama proses pemeriksaan berlangsung di sidang tingkat Pengadilan Negeri;
dinyatakan oleh hakim
secara ex-officio (Vide Putusan MA No. 317 K/Pdt/1984), sesuai dengan bunyi
Pasal 132 Rv yaitu “dalam hal hakim tidak berwenang karena jenis pokok
perkaranya, maka ia meskipun tidak diajukan tangkisan tentang
ketidakwenangannya, karena jabatannya wajib menyatakan dirinya tidak
berwenang”.
2.
Eksepsi
Kompetensi Relatif (Relative Competentie)
Pengajuan eksepsi
kompetensi relatif diatur dalam Pasal 125 ayat (2) dan Pasal 133 HIR. Menurut
ketentuan tersebut, bentuk pengajuan eksepsi dapat berbentuk lisan dan
tertulis, yang diajukan pada saat menyerahkan Surat Jawaban/Eksepsi (Vide
Putusan MA No. 1340 K/Sip/1971).
3.
Eksepsi Yang
Tidak Diajukan Pada Jawaban Pertama Gugur
Menurut Pasal 136 HIR,
eksepsi yang tidak diajukan dengan jawaban pertama bersama-sama dengan
keberatan terhadap pokok perkara, dianggap gugur. Oleh karena itu, eksepsi yang
diajukan melampaui batas tidak dipertimbangkan oleh hakim. Pasal 114 Rv juga
menegaskan bahwa, tergugat yang mengajukan eksepsi, wajib mengajukannya bersama-sama
dengan jawaban mengenai pokok perkara.
C.
Jenis Eksepsi
Eksepsi Prosesual (Processuele
Exceptie)
Eksepsi ini berdasarkan hukum acara,
yaitu jenis eksepsi yang berkenaan dengan syarat formil gugatan. Apabila
gugatan yang diajukan mengandung cacat formil maka gugatan yang diajukan tidak
sah, dengan demikian harus dinyatakan tidak dapat diterima. Eksepsi prosesual
dibagi menjadi dua diantaranya:
1.
Eksepsi tidak
berwenang mengadili yang sifatnya absolut (exceptie van onbeveogheid/Eksepsi
Kewenangan Absolut)) adalah pengadilan tidak berwenang mengadili perkara yang
bersangkutan, tetapi lingkungan atau pengadilan lain yang berwenang
mengadilinya.
2.
Eksepsi tidak
berwenang mengadili yang bersifat relatif (Eksepsi Kewenangan Relatif) yang diatur
dalam Pasal 118 HIR dan Pasal 99 Rv yang berpatokan pada :
·
domili dari
tergugat (actor sequitur forum rei),
·
hak opsi dari
penggugat, di mana tergugat terdiri dari beberapa orang,
·
tanpa hak opsi,
di mana tergugat terdiri dari debitur dan penjamin, maka tidak dapat diajukan
ke Pengadilan Negeri penjamin,
·
tempat tinggal
penggugat, jika tergugat tidak diketahui tempat tinggalnya,
·
forum rei sitae
dengan hak opsi yaitu objek sengketa benda tidak bergerak terdiri dari beberapa
buah, dan masing-masing terletak di daerah hukum Pengadilan Negeri yang
berbeda, penggugat dibenarkan untuk mengajukan gugatan kepada salah satu
Pengadilan Negeri,
·
domisili hukum
pilihan yang disepakati penggugat dan tergugat dalam perjanjian.
Eksepsi
Prosesual di Luar Kompetensi Relatif
Eksepsi prosesual di luar kompetensi
relatif terdiri atas:
·
Eksepsi surat
kuasa khusus atau bijzondere schriftelijke machtiging tidak sah secara hukum
(Vide Pasal 123 HIR dan Putusan MA No. 531 K/Sip/1973) karena tidak memenuhi
unsur formil. Menurut Pasal 123 ayat (1) HIR, Putusan MA No. 1712 K/Pdt/1984
dan SEMA No. 1 Tahun 1971 serta SEMA No. 6 Tahun 1994 surat kuasa khusus harus memuat
secara jelas (i) secara spesifik kehendak untuk berperkara di Pengadilan Negeri
tertentu sesuai dengan kompetensi relatif, (ii) identitas para pihak yang
berperkara, (iii) menyebut secara ringkas dan konkret pokok perkara dan objek
yang diperkarakan, (iv) mencamtumkan tanggal serta tanda tangan pemberi kuasa,
(v) surat kuasa dibuat orang yang tidak berwenang.
·
Eksepsi error in
persona yaitu (i) yang bertindak sebagai penggugat bukan orang yang berhak atau
eksepsi diskualifikasi, (ii) yang ditarik sebagai tergugat keliru (Lihat
Putusan MA No.601 K/Sip/1975), (iii) orang yang ditarik sebagai penggugat tidak
lengkap atau kurang atau exceptio plurium litis consortium.
·
Exceptio res
judicata atau ne bis idem yaitu suatu kasus perkara telah pernah diajukan
kepada pengadilan dan telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
·
Exceptio Obscuur
Libel adalah surat gugatan penggugat tidak terang atau isinya gelap
(onduidelijk) atau formulasi gugatan tidak jelas. Hal ini merujuk pada
ketentuan Pasal 8 Rv yang menegaskan, pokok-pokok gugatan harus disertai
kesimpulan yang jelas dan tertentu, demi kepentingan beracara (process
doelmatigheid). Dalam praktik eksepsi gugatan kabur (obscuur libel) berbentuk,
(i) tidak jelasnya dasar hukum dalil gugatan (Vide Putusan MA No. 1145
K/Pdt/1984). (ii) tidak jelasnya objek sengketa yang meliputi tidak disebutnya
batas-batas objek sengketa, luas objek sengketa berbeda dengan pemeriksaan
setempat, tidak disebutnya letak tanah dan tidak samanya batas dan luas tanah
dengan yang dikuasai tergugat. (iii) petitum gugatan tidak jelas yang meliputi
petitum tidak dirinci dan kontradiksi antara posita dengan petitum. (iv)
masalah posita wanprestasi atau perbuatan melawan hukum.
Eksepsi Hukum Materiil (Materiele Exceptie)
Dari pendekatan doktrin, terdapat
beberapa macam eksepsi hukum materil, dengan uraian sebagai berikut:
·
Exceptio
Dilatoir, yaitu gugatan penggugat belum dapat diterima untuk diperiksa
sengketanya di pengadilan, karena masih prematur, dalam arti gugatan yang
diajukan masih terlampaui dini;
·
Exceptio
Peremptoir, yaitu eksepsi yang berisi sangkalan, yang dapat menyingkirkan
gugatan karena masalah yang digugat tidak dapat diperkarakan. Sangkalan
tersebut karena, pertama gugatan sudah kadaluwarsa (Vide Pasal 1950 dan Pasal
1967 KUH Perdata) yang dapat dilihat dalam Putusan MA No. 707 K/Sip/1972. kedua
peristiwa hukum yang menjadi dasar gugatan mengandung paksaan dan penipuan
(exceptio doli mali dan exceptio metus). Ketiga objek gugatan bukan kepunyaan
penggugat, melainkan tergugat atau orang lain (exceptio domini). Keempat
gugatan yang diajukan sama dengan perkara yang sedang diperiksa oleh pengadilan
(exceptio litis petendis).
D.
Bantahan
Terhadap Pokok Perkara
Bantahan
terhadap pokok perkara disebut juga ver weer ten principale adalah tangkisan
atau pembelaan yang diajukan tergugat terhadap pokok perkara. Esensi dari
bantahan terhadap pokok perkara, berisi alasan dan penegasan yang sengaja
dibuat dan dikemukakan tergugat, baik dengan lisan atau tulisan untuk
melumpuhkan kebenaran dalil gugatan yang dituangkan tergugat dalam jawaban.
1.
Bantahan
Disampaikan Dalam Jawaban
Berdasarkan
ketentuan Pasal 121 ayat (2) HIR, jawaban tergugat berisi bantahan yang
diajukan baik secara lisan dan tertulis untuk menyangkal semua fakta dan dalil
hukum penggugat. Proses pengajuan bantahan yang merupakan proses jawab-menjawab
digariskan dalam Pasal 142 dan Pasal 117 Rv, yang memberikan kesempatan para
pihak untuk menyampaikan surat jawaban, replik dan duplik dan sebagai
konsekuensi asas audi altream partem dan process doelmatigheid.
Suatu bantahan
dalam sebuah jawaban berisi tentang ketidakbenaran dan/atau kebenaran dalil
penggugat. Isi dari jawaban penggugat dapat berupa:
a.
Jawaban
penggugat diserta alasan-alasan yang rasional dan objektif (Vide Pasal 113 Rv);
b.
Membenarkan
sebagian atau seluruh dalil-dalil gugatan penggugat (Vide Pasal 164 HIR dan
Pasal 1866 KUH Perdata);
c.
Membantah dalil
gugatan atau bantahan terhadap pokok perkara (verweer ten principale) atau
melumpuhkan kekuatan pembuktian tergugat, yang disertai dengan alasan-alasan
kebenaran dalil gugatan atau peristiwa hukum yang terjadi (Vide Pasal 113 Rv);
d.
Tidak memberi
pengakuan maupun bantahan dengan menyerahkan sepenuhnya kepada hakim (referte
aan het oordel des rechters) dalam jawaban.
2.
Bantahan Beserta
Eksepsi
Jawaban yang
berisi eksepsi dan pokok perkara harus dinyatakan secara sistematis dalam
jawaban untuk memudahkan hakim mempelajari jawaban yang disampaikan.
Sistematisasi jawaban dengan mendahulukan uraian eksepsi, pokok perkara dan
kesimpulan.
3. Proses Acara
Verstek
Mengenai pengertian verstek,
tidak terlepas dari kaitannya dengan fungsi beracara dan penjatuhan putusan
atas perkara yang disengketakan, yang memberi wewenang kepada hakim menjatuhkan
putusan tanpa hadirnya penggugat atau tergugat. Sehubungan dengan itu,
persoalan verstek tidak lepas kaitannya dengan ketentuan pasal 124 HIR (Pasal
77 Rv) dan Pasal 125 ayat (1) HIR (Pasal 73 Rv).
Pengertian verstek secara teknis ialah
pemberian wewenang kepada hakim untuk memeriksa dan memutuskan perkara meskipun
penggugat atau tergugat tidak hadir dipersidangan pada tanggal yang ditentukan. Dengan demikian putusan diambil dan
dijatuhkan tanpa bantahan atau sanggahan dari pihak yang tidak hadir.
Putusan Verstek
ialah putusan yang dijatuhkan karena Tergugat atau Termohon tidak pernah hadir
meskipun telah dipanggil secara resmi, sedang Penggugat hadir dan mohon
putusan. Putusan Verstek diatur dalam Pasal 125-129 HIR dan 196-197 HIR, Pasal
148-153 Rbg dan 207-208 Rbg, UU no. 20 tahun 1947 dan SEMA No. 9/1964.[5]
Perihal sahnya penerapan Acara Verstek kepada Tergugat, merujuk kepada
ketentuan Pasal 125 ayat (1) HIR atau Pasal 78 Rv. Bertitik tolak dari Pasal
tersebut, dapat dikemukakan syarat-syarat sebagai berikut:
1. Tergugat
telah dipanggil secara resmi dan patut.
2. Tergugat
tidak hadir tanpa alasan yang sah.
3. Tergugat
tidak mengajukan tangkisan atau eksepsi kompetensi.
4. Penggugat
hadir di persidangan.
5. Penggugat
mohon keputusan.
Pada satu sisi
Undang-undang menghadirkan kedudukan Tergugat di persidangan sebagai hak, bukan
kewajiban yang bersifat imperatif. Hukum menyerahkan sepenuhnya, apakah
tergugat mempergunakan hak itu untuk membela kepentingannya atau tidak. Di sisi
lain Undang-undang tidak memaksakan acara verstek secara imperatif. Hukum tidak
mesti menjatuhkan putusan verstek terhadap tergugat yang tidak hadir memenuhi
panggilan. Penerapannya bersifat fakultatif. Kepada Hakim diberi kebebasan
untuk menerapkannya atau tidak. Sifat penerapan yang fakultatif tersebut,
diatur dalam Pasal 126 HIR sebagai acuan:
1. Ketidakhadiran
Tergugat pada sidang pertama, langsung memberi wewenang kepada Hakim
menjatuhkan putusan Verstek.
2. Mengundurkan
sidang dan memanggil Tergugat sekali lagi.
3. Batas
toleransi pengunduran.
Pasal 126 HIR tidak
mengatur batas toleransi atau batas kebolehan pengunduran sidang apabila
Tergugat tidak mentaati panggilan. Pasal itu hanya mengatakan Pengadilan atau
Hakim dapat memerintahkan pengunduran, namun tidak menjelaskan berapa kali
pengunduran dapat dilakukan, akan tetapi penerapannya harus disesuaikan dengan asas
peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan.[8]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Pengertian sita
jaminan adalah penyitaan yang dilakukan oleh pengadilan atas barang bergerak
atau tidak bergerak, milik penggugat atau tergugat untuk menjamin adanya
tuntutan hak dari pihak yang berkepentingan atau pemohon sita. Penyitaan ini
merupakan tindakan persiapan untuk menjamin dapat dilaksanakannya putusan
perdata. Barang-barang yang disita untuk kepentingan penggugat dibekukan,
berarti bahwa barang-barang itu disimpan untuk jaminan dan tidak boleh
dialihkan atau dijual (ps. 197 ayat 9, 199 HIR, 212, 214 Rbg).
Dalam hukum
acara perdata , eksepsi adalah tangkisan, bantahan atau pembelaan yang diajukan
tergugat terhadap materi gugatan penggugat. Eksepsi diajukan penggugat
menyangkut hal-hal yang bersifat formil dari sebuah gugatan, yang mengandung
cacat atau pelanggaran formil yang mengakibatkan gugatan tidak dapat diterima.
Eksepsi yang diajukan penggugat tidak ditujukan atau menyangkut pada pokok
perkara (verweer ten principale). Tujuan dari eksepsi yaitu majelis hakim
mengakhiri proses pemeriksaan perkara tanpa lebih lanjut memeriksa materi pokok
perkara dengan menjatuhkan putusan negatif, gugatan tidak dapat diterima (niet
ontvankelijk verklaard)
Perihal sahnya penerapan
Acara Verstek kepada Tergugat, merujuk kepada ketentuan Pasal 125 ayat (1) HIR
atau Pasal 78 Rv. Bertitik tolak dari Pasal tersebut, dapat dikemukakan
syarat-syarat sebagai berikut:
1. Tergugat
telah dipanggil secara resmi dan patut.
2. Tergugat
tidak hadir tanpa alasan yang sah.
3. Tergugat
tidak mengajukan tangkisan atau eksepsi kompetensi
4. Penggugat
hadir di persidangan.
5. Penggugat
mohon keputusan
DAFTAR PUSTAKA
Harahap
Yahya M., S.H., 2005 Hukum Acara Perdata, Jakarta:Sinar Grafika
Makarno Moh. Taufik, S.H.,M.H. 2004. Pokok-Pokok Hukum
Acara Perdata, Jakarta:Rineka Cipta
0 komentar:
Post a Comment