“BAIAT”
MAKALAH
Diajukan
Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Kelompok Mata
Kuliah Perbandingan Fiqih Siyasah
Program
Studi siyasah Semester VI
Di Susun Oleh :
Asikin Abdul Aziz
PROGRAM STUDI SIYASAH
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG
2015
KATA PENGANTAR
اَلْحَمْدُاِللهِ
الَّذِيْ أَنْزَلَ السَّكِيْنَةَ فِي قُلُوْبِ اْلمُؤْمِنِيْنَ, لِيَزْدَادُوْا
إِيْمَانًا مَعَ إِيْمَانِهِمْ وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى أَشْرَافِ
اْلَأنْبِيَاءِ وَاْلمُرْسَلِيْنَ وَعَلَى أَلِهِ وَصَحْبِهِ اَجْمَعِيْنَ. اَلْحَمْدُلِّلِه
بِفَضْلِ الله وَكَرَامَهُ نَسْتَطِعُ اِنْ نُئَادِى وَنَعْمَلُ هَذِهِ
اْلوَظِيْفَةِ تَحْتَ اْلمَوْضُوْعِ"قِرَاءَةُاْلقُرْاَنَ".
Segala puji dan
kemuliaan hanyalah milik Rabb semata, atas segala rahmat dan ni’mat-Nya yang
telah dikaruniakan kepada segenap hamba-Nya. Shalawat dan salam semoga
selamanya tercurah atas junjungan alam yang menajadi penuntun umatnya ke jalan
shirotol mustaqim.
Atas berkat rahmat dan hidayah Allah SWT,
alhamdulillah kami dapat menyusun dan menyelesaikan sebuah makalah tentang “Bai’at”
dengan wasilah tugas disertai bimbingan dan dorongan dari dosen mata kuliah Perbandingan
Fiqh Siyasah. Disamping itu, kami sadari
sepenuhnya bahwa kajian makalah yang kami
sajikan ini masih jauh dari kesempurnaan, maka kami selalu berharap atas
kritik dan sarannya yang membangun, guna peningkatan di masa yang akan datang.
Akhirnya kami
berharap, semoga sekecil apapun untaian kata yang kami sajikan sebagai rangkaian ilmu dalam makalah
ini senantiasa menjadi bongkahan-bongkahan ilmu yang senantiasa bermafaat dunia
dan akhirat. Amin
Bandung,
22 April 2015
Penyusun
DAFTAR
ISI
KATA PENGANTAR ...................................................................................... i
DAFTAR ISI ..................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang ........................................................................................ 1
B.
Rumusan Masalah ................................................................................... 2
C.
Tujuan Makalah ....................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian bai’at....................................................................................... 3
B. Baiat dalam panfangan ibn taimiyah.......................................................
4
C. Pembagian bai’at...................................................................................... 6
D. Model pemilihan baiat menurut ihbn taimiyah......................................... 7
E. Prosedur pambaiatan khalifah.................................................................. 8
BAB III PENUTUP
A.
Daftar Pustaka......................................................................................... 13
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Bai’at merupakan sisi kegiatan politik paling menonjol yang di lakukan
oleh umat. Tiang pancang bagi sistem hukum dan baghkan dalam sejarah islam pada
zaman rasulullah SAW, bai’at mendahului pendirian suatu negara. Bai’at
merupakan dasar masyarakat politik islam dan perangkat untuk menyatakan
kelaziman kepada jalan dan syari’at islam.
Bai’at juga di kenal dengan suatu perjanjian atau sumpah setia untuk
meyakinkan orang itu berbuat benar dan masuk islam. Bai’at juga itu berguna
untuk amanat seseorang yang memBai’atkan posisinya atau jabatannya sebgai
pemimpin misalnya, akan tetapi Bai’at ini tidak untuk hanya seseorang pemimpin
saja akan tetapi untuk kepercayaan seseorang atau msyarakat yang di Bai’ati
oleh pemimpinnya dalam hal untuk memajukan agama.
Albaiah secara etimologis berasal dari kata bai’a (menjadi ba’a) yang
berarti menjual. Bai’at adalah kata jadian yang mengandung arti (perjanjian) ,
janji setia atau saling (berjanji) dan setia., karena dalam pelaksanaannya selalu
melibatkan dua pihak secara sukarela.
Secara terminologis ada beberapa devinisi bai’at yang di kemukakan oleh
para ulama, di antaranya :
1. Ibnu khaldun : prjanjian orang berbai’at untuk taat melakukan sumpah
kepada pemimpinnya bahwa ia akan menyeloamatkan pandangan yang di embannya dari
pemimpin, baik berupa perintah yang di senangi maupun tidak di senangi.
2. Ibnu Manzur ahli Fiqh : ungkapan perjanjian antara dua pihak yang seakan
akan salah satu pihak menjual apa yang di milikinya, menyerahkan dirinya dan
kesetiaannya kepada pihak kedua secara ikhlas dalam urusannya.
Secara
umum bai’at merupakan transaksi perjanjian antara pemimpin dan umat islam dalam
mendirikan daulah islamiah sesuai rasulullah SAW. Dengan kata lain Bai’at
merupakan perjanjian atas kepemimpinan berdasarkan sistem politik islam Modern,
bai’at merupakan pernyataan kecintaan khalayak ramai terhadap sistem politik islam yang sedang berkuasa
secara optimis[1].
B.
Rumusan
Masalah
1. Apa Pengertian Bai’at?
2. Bagaimana Baiat Dalam Pandangan Ibnu Taimiyah?
3. Bagaimana Pembagian Bai’at?
4.
Bagaiamana
Model Pemilihan baiat Menurut Ibn taimiyah?
5. Bagaiamana Prosedur Pembai’atan Khalifah?
C.
Maksud dan
Tujuan
A. Mahasiswa mampu mengetahui pengertian Bai’at
B. Agar mahasiswa maupun mahasiswi tau bagaiamana baiat dalam ibn taimiyah
C. Mahasiswa Maupun mahasiswi Mampu mengetahui Pembagian dari Bai’at
D. Mahasiswa maupun mahasiswi mampu mengetahui mode; pemilihat baiat menurut
ibn taimiyah
E. Mahasiswa mampu Mengetahui Prosedur PemBai’atan khalifah
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Bai’at
Bai’at adalah salah satu bentuk akad atau
kontrak hakiki yang berlangsung berdasarkan adanya dua kehendak atas dasar
kerelaan dan persetujuan (ridha). Ibnu
Al-Atsir mengatakan, “Bai’at ialah ungkapan tentang akad dan perjanjian,
seolah-olah masing-masing pihak menjual apa yang ada pada dirinya dan
memberikan jiwa dan ketaatannya secara tulus dari dasar hatinya.[2] Ibnu Khaldun mengatakan, “Bai’at adalah
janji untuk taat. Orang yang berBai’at itu berjanji kepada pemimpinnya untuk
menyerahkan kepadanya segala kebijaksanaan tentang urusan dirinya dan urusan
kaum muslimin, sedikit pun tanpa menentangnya, serta taat kepada perintah
pimpinan yang dibebankan kepadanya, suka maupun tidak.[3]
Teori ini juga
dikemukakan oleh JJ Rousseau yang berhipotesis bahwa asas kekuasaan politik
atau kedaulatan adalah akad atau kontrak sosial antara rakyat dan pemimpin.
Aktivitas akad atau kontrak ini disebut Bai’at.
Bai’at adalah
bagian dari syariat Islam sudah dilaksanakan sejak masa Rasulullah. Bahkan
diabadikan di dalam Al-Qur’an.
“Bahwasanya orang-orang yang berBai’at kepada
kamu, mereka berBai’at kepada Allah. Tangan Allah di atas tangan mereka, maka
barang siapa yang melanggar janjinya niscaya akibat ia melanggar janji itu akan
menimpa dirinya sendiri dan barang siapa menepati janjinya kepada Allah maka
Allah akan memberinya pahala yang besar.” (Al-Fath:10)
Dari peristiwa
sejarah dan dalil-dalil nash, para ulama membagi Bai’at menjadi dua, yaitu Bai’at
kubra dan sughra. Bai’at kubra adalah Bai’at kepada pemimpin kaum muslimin
(khalifah). Sedangkan Bai’at sughra adalah Bai’at untuk tetap setia dalam
perkara tertentu yang tidak bisa dikuasakan kepada orang lain. Bai’at ini
berlaku terhadap penguasa dan juga terhadap selain mereka.[4]
Dizaman Rasulullah SAW, bai’at di
berlakukan terhadap mereka yang hendak masuk agama islam serta bagi yang
berkeinginan menunaikan pekerjaan pekerjaan (perintah) agama. Diantara bai’at
yang ada waktu itu adalah bai’at untuk taat dan patuh kepada rasulullah SAW.
Berbai’at
untuk berlaku taat merupakan perintah syar’i dan synnag rasulullah SAW meskipun
tellah beriman terlebih dahulu. Karena bai’at merupakan pembaharu janji setia
serta penguat jalilan kepercayaan beragama.
B.
Baiat
Dalam Pandangan Ibnu Taimiyah
Unsur
organik dalam studi tentang konsep negara Islam menurut Ibnu Taimiyah itu tidak
lain adalah suatu ungkapan tentang realitas dasar serupa yang terungkap dalam
istilah-istilah lain. Ketika menekankan struktur organisasi masyarakat Islam,
Ibnu Taimiyah hanya mengikuti kriteria Nabi saw. Yang bersabda, “dalam urusan
cinta dan kasih sayang, ummat Islam mestinya mirip sebuah tubuh; jika salah
seorang warganya sakit, maka anggota-anggota yang lain juga merasakan demam dan
lemas.” Hadist yang juga menuturkan hal yang serupa adalah, “Hubungan antara
seorang mukmin dengan mukmin yang lain ibarat bagian-bagian dalam sebuah
bangunan; masing-masing saling menguatkan.” Makna kesatuan dan solidaritas itu
juga berakar pada tradisi Islam yang memiliki independensi tersendiri terhadap
ragam tantangan kehidupan politik.
Dalam
batas-batas negara Islam, Ummah memiliki peranan penting dalam gelanggang
politik. Ummah tidak hanya menyediakan diri sebagai badan politik yang menjadi
dasar negara Islam, tetapi juga “dilimpahi karunia Allah dengan ciri khusus
seperti yang tersurat dalam sabda Nabi saw, “masyarakat tidak akan pernah
sepakat dalam kesalahan”. Karakteristik khusus itulah yang menjadi dasar ide
“ijma” sebagai salah satu sumber hukum Islam seperti yang dikemukakan
terdahulu. Ijma yang merupakan produk ulama itu tidak mengurangi peranan Ummah
dalam proses kehidupan, karena ulama dianggap mewakili seluruh jajaran Islam.
Unsur perwakilan ini tidak hanya memandang remeh peranan kekhalifahan, tetapi
juga enggan memberikan kedudukan yang istimewa kepada ulama. Lagi pula, sudah
menjadi keyakinan di kalangan Sunni bahwa sejak Nabi saw wafat, tidak menunjuk
seseorang atau sebuah panitia untuk mewarisi kepemimpinannya, maka tugas
tersebut secara otomatis menjadi tanggung jawab seluruh Ummah. Jadi, Ummah
dapat dianggap sebagai satu-satunya penerus Nabi saw, sedang kadar kekuasaan
dan kesuciannya dapat disejajarkan dengan Nabi saw. Untuk mendukung peranan dan
ciri-ciri itu, ada beberapa ayat dalam Al-Quran yang menegaskan Ummah sebagai
pelanjut kepemimpinan itu. Status ini terbukti dengan tanggung jawab
legislatifnya dalam ijma sebagai media yang mentransformasi “kehendak”
masyarakat (secara teoritis merupakan kehendak Allah swt.) kepada “hukum-hukum
syariat.
Bai’at
adalah sumpah setia yang mempertalikan pemimpin dan masyarakat. bai’at identik
dengan sebuah “perjanjian”, dan sebagaimana layaknya semua ragam perjanjian,
bai’at melibatkan dua kelompok: di satu sisi, pihak pemimpin dan masyarakat; di
sisi lain, tidak hanya ulama yang berperan penting dalam proses konsultasi
sebelum bai’at terwujud, tetapi semua pihak yang berpengetahuan, berbakat,
berpengaruh dan mempunyai kekuasaan yang turut terlibat dalam proses itu. Perluasan
sekup bai’at dengan melibatkan semua unsur masyarakat yang berpengaruh
merupakan salah satu pemikiran Ibnu Taimiyah yang tidak sejalan dengan
implikasi elitsi teori khilafah klasik.
Apresiasi
peranan kekuatan dalam politik oleh Ibnu Taimiyah telah terungkap dalam
pandangannya tentang syarat-syarat pemimpin Islam. Jauh sebelum menawarkan
seperangkat syarat moral dan intelektual, ia menawarkan dua syarat pokok bagi
pemimpin yaitu: kejujuran atau dapat dipercaya dan kekuatan atau kecakapan.
Dasar yang ia gunakan adalah ayat Al-Quran sebagai berikut,”…sesungguhnya orang
yang paling baik yang engkau ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang
kuat lagi dapat dipercaya”. Syarat lain seperti berpengetahuan luas, bersikap
adil dan saleh yang harus dipenuhi oleh pemimpin. Oleh karena itu, setiap
muslim dapat dipilih untuk menduduki posisi tertinggi dalam pemerintahan atau
negara, bila ia memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
Ø Memperoleh
dukungan mayoritas ummat.
Ø Memenangkan
dukungan ahlusy-syaukah atau unsur-unsur pemegang kekuasaan dalam masyarakat.
Ø Memiliki
syarat-syarat kekuatan pribadi dan dapat dipercaya.
C.
Pembagian Bai’at
1.
Bai’at Sughro
Dalam Bai’at
sughra, orang yang diBai’at (mubaya’)
bisa saja khalifah atau kaum muslimin sebagian dengan sebagian lainnya.[5] Ini
adalah Bai’at yang dilakukan sebagian manusia, baik tiga orang maupun lebih
banyak untuk berjanji dan menaati dalam urusan ketaatan. Tidak terbatas pada Ahlul Halli wal ‘Aqdi, tetapi siapa saja
yang terlibat dalam suatu perjanjian. Bai’at ini berlaku bagi mereka untuk
berjanji dalam ketaatan apapun tanpa adanya batas, seperti jihad, dakwah, amar
ma’ruf nahi munkar, menyelamatkan orang yang teraniaya dan menolong orang yang
dizalimi. Bahkan menyingkirkan duri dari jalan—bila menuntut ikatan Bai’at—maka
ini termasuk Bai’at Sughra.
Komitmen
terhadap Bai’at Sughra sifatnya wajib bagi orang yang telah suka rela bergabung
di dalamnya, dan tidak mengikat orang di luar Bai’at tersebut. Jika seseorang
telah mengikat janji setia, maka wajib baginya untuk memenuhi ikatan janji
tersebut.
2.
Bai’at Kubra
Dalam Bai’at
Kubra, orang yang diBai’at adalah Imam A’dham (khalifah).Pihak yang memBai’at
adalah Ahlul Halli wal Aqdi dari umat
ini atau seorang khalifah sebelumnya setelah melakukan pertimbangan dan syura
di antara kaum muslimin. Orang yang diBai’at atau dinobatkan menjadi khalifah
wajib memenuhi syarat-syarat Bai’at.[6]
Bai’at Kubra
mengharuskan orang yang diBai’at untuk menerapkan segala ketentuan syariat bagi
kaum muslimin. Di sisi lain, umat wajib mendengar dan taat kepada imam serta
menolongnya selama tidak dalam maksiat. Imam Al-Qurtubi berkata, “Dan jika
imamah (khilafah) telah terwujud dengan kesepakatan Ahlul Halli wal Aqdi atau
dengan salah satu seperti penjelasan yang lalu, maka wajib bagi seluruh rakyat
memBai’atnya untuk mendengar dan taat dan untuk menegakkan kitab Allah ta’ala
dan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Syarat sah baiat kubro para ulama menyebutkan
beberapa syarat wajib di tempuh agar ikatan baiat menjadi sah, diantara syarat
syarat tersebut adalah :
1.
Terkumpulnya syarat syarat imamah
bagi orang yang di baiat, jika tidak salah sati darinya maka dia tidak berhaka
untuk di baiat
2.
Orang yang membaiat adalah ahlul
hali wal aqdi
3.
Orang yang di baiat memenuh
tuntutan dari baiat
4.
Orang yang di baiat tidak boleh
dari satu
5.
Isi baiat itu sesuai dengan
kitabullah dan sunnah rasulnya, baik perkataan maupun perbuatan.
6.
Orang yang di baiat sempuerna
kemerdekaannya
7.
Persaksian pembaitan, tetapi jumhur
tidak mewajibkan hal itu berdasarkan dalil syar’i sementara penyaksian adalah
tidak berdasar dalil syar’i
D.
Model Pemilihan
baiat Menurut Ibn taimiyah
Bai’at adalah
sumpah setia yang mempertalikan pemimpin dan masyarakat. bai’at identik dengan
sebuah “perjanjian”, dan sebagaimana layaknya semua ragam perjanjian, bai’at
melibatkan dua kelompok: di satu sisi, pihak pemimpin dan masyarakat; di sisi
lain, tidak hanya ulama yang berperan penting dalam proses konsultasi sebelum
bai’at terwujud, tetapi semua pihak yang berpengetahuan, berbakat, berpengaruh
dan mempunyai kekuasaan yang turut terlibat dalam proses itu. Perluasan sekup
bai’at dengan melibatkan semua unsur masyarakat yang berpengaruh merupakan
salah satu pemikiran Ibnu Taimiyah yang tidak sejalan dengan implikasi elitsi
teori khilafah klasik.
Apresiasi
peranan kekuatan dalam politik oleh Ibnu Taimiyah telah terungkap dalam
pandangannya tentang syarat-syarat pemimpin Islam. Jauh sebelum menawarkan
seperangkat syarat moral dan intelektual, ia menawarkan dua syarat pokok bagi
pemimpin yaitu: kejujuran atau dapat dipercaya dan kekuatan atau kecakapan.
Dasar yang ia gunakan adalah ayat Al-Quran sebagai berikut,”…sesungguhnya orang
yang paling baik yang engkau ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang
kuat lagi dapat dipercaya”. Syarat lain seperti berpengetahuan luas, bersikap
adil dan saleh yang harus dipenuhi oleh pemimpin. Oleh karena itu, setiap muslim
dapat dipilih untuk menduduki posisi tertinggi dalam pemerintahan atau negara,
bila ia memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
o
Memperoleh dukungan mayoritas
ummat.
o
Memenangkan dukungan ahlusy-syaukah
atau unsur-unsur pemegang kekuasaan dalam masyarakat.
o
Memiliki syarat-syarat kekuatan
pribadi dan dapat dipercaya.
E.
Prosedur Pembai’atan
Khalifah
Imam Al-Mawardi
mengatakan bahwa ketika ahlu al halli wa
al aqdi berkumpul untuk melakukan pemilihan, mereka mempelajari dan
mengamati keadaan orang-orang yang layak untuk dinominasikan menjadi imam yang
syaratsyarat imam ada dalam diri mereka. Ahlu
al halli wa al aqdi dalam memilih khilafah adalah sebagai wakil dan representasi
umat[7],
atas dasar pertimbangan bahwa mengangkat imam merupakan fardhu kifayah umat
secara keseluruhan. Ar-Razi, al-Ilji, dan lainnya mengatakan bahwa umat adalah
pemilik kepemimpinan umum. Al-Baghdadi mengatakan, “jumhur terbesar dari
rekan-rekan kami (yakni ahlussunnah), dari muktazilah, khawarij, dan
an-Najjariyah mengatakan bahwa prosedur atau cara menetapkannya imam adalah
dengan pemilihan dari umat. Semua ini menunjukan bahwa umat adalah sumber
kekuasaan eksekutif karena hak menunjuk, mengangkat, dan memakzulkan berada
ditangan umat.
Menurut imam Al-Mawardi
jika tidak ada seorang pun yang melaksanakan imamah, harus ada dua kelompok
dari manusia yang keluar untu memainkan peranannya. Pertama, ahlu al Ikhtiyaar (orang-orang yang memiliki kelayakan,
kompetensi, dan kapabilitas melakukan pemilihan imam) hingga mereka memilih
seorang imam untuk memimpin umat. Kedua,
ahlu al Imaamah (orang-orang yang memenuhi syara, spesifikasi, dan
kualifikasi untuk menjadi imam) hingga salah seorang diantara mereka berdiri
sebagai imam. Orang-orang selain kedua kelompok dari umat ini tidak berdosa dan
tidak menanggung apa-apa ketika terlambat menegakkan imamah.[8]
Menurut
Al-Mawardi Syarat-syarat ahlu halli wa al aqdi meliputi tiga hal:
1.
Al-Adaaalah
yang memenuhi syarat-syaratnya. Al-Adaalah adalah sebuah talenta yang mendorong
pemiliknya untuk selalu komitmen pada ketakwaan dan muruah.
2.
Memiliki kompetensi atau ilmu.
3.
Memiliki kapabilitas dan
kebijaksanaan.
Pada saat jabatan Khilafah kosong—karena Khalifah wafat atau
dipecat—maka Mahkamah Mazhalim mengumumkan tentang kekosongan jabatan Khilafah
tersebut. Seketika itu pula amir sementara—yang tugas pokoknya adalah
melangsungkan pemilihan Khalifah baru dalam jangka waktu tiga hari—mulai
melaksanakan tugasnya serta mengumumkan pembukaan pintu pencalonan. Kemudian
Mahkamah Mazhalim memverifikasi para calon untuk menetapkan siapa saja dari
mereka yang telah memenuhi syarat-syarat in’iqad dan yang tidak. Selanjutnya
dilakukan pembatasan hingga menjadi dua orang calon saja, dan diumumkan kepada
masyarakat untuk memilih salah satu dari keduanya.
Prosedur tersebut dipahami dari apa yang terjadi pada proses pembaiatan
Khulafaur Rasyidin sesudah Rasulullah saw. wafat Mereka adalah Abu Bakar, Umar,
Utsman dan Ali—semoga Allah meridhai mereka semua. Adapun terkait pembatasan
hingga menjadi dua calon saja maka hal itu terlihat jelas dalam mekanisme
pembaiatan Khulafaur Rasyidin. Di Saqifah Bani Saidah calonnya adalah Abu
Bakar, Umar, Abu Ubaidah dan Saad bin Ubadah. Namun, Umar dan Abu Ubaidah
mengundurkan diri karena merasa tidak level bersaing dengan Abu Bakar. Praktis
calonnya tinggal dua, yaitu Abu Bakar dan Saad bin Ubadah. Kemudian ahlul hall wal ‘aqd di Saqifah memilih Abu
Bakar sebagai khalifah dan membaiat beliau dengan baiat in’iqâd (baiat
pengangkatan), lalu keesokan harinya baiat taat (An-Nabhani, Muqaddimah
ad-Dustûr, hlm. 42).
Ibnu Qutaibah berkata, “Pada hari yang sama ketika Rasulullah saw wafat,
Abu Bakar dibaiat—sebagai baiat in’iqâd—di Saqifah Bani Saidah bin Kaab bin
al-Khazraj. Kemudian besoknya, pada hari Selasa, ia dibaiat dengan baiat umum,
yakni baiat taat (Ibnu Qutaibah, Al-Ma’ârif, hlm. 74).
Abu Bakar mencalonkan Umar sebagai khalifah bagi kaum Muslim, dan tidak
ada calon lain selain beliau. Dengan kata lain, Umar ketika itu merupakan calon
tunggal. Kemudian kaum Muslim membaiat beliau dengan baiat in’iqâd (baiat
pengangkatan), lalu baiat taat.
Adapun pada
masa Umar, beliau mencalonkan enam orang dan membatasi mereka saja untuk
dipilih di antara mereka menjadi khalifah. Kemudian Abdurrahman bin Auf berdiskusi dan menanyakan
lima orang lainnya, siapa di antara mereka yang lebih pantas menjadi khalifah.
Hasilnya, ditetapkan dua orang, yaitu Ali dan Utsman. Setelah itu dilakukan
polling (pemungutan suara), dan Utsman pun diangkat menjadi khalifah.
Adapun Ali,
maka beliau merupakan calon tunggal, karena tidak ada calon lain selain beliau
untuk jabatan Khilafah. Kemudian manyoritas kaum Muslim di Madinah dan Kufah
membaiat beliau, sehingga beliau menjadi khalifah yang keempat[9].
Dengan
demikian, beberapa perkara berikut wajib diambil sebagai ketentuan saat
pencalonan khalifah setelah kekosongan jabatan Khilafah, baik karena Khalifah
sebelumnya meninggal atau dipecat, yaitu:
a. Aktivitas di seputar
pencalonan hendaknya dilakukan sepanjang malam dan siang hari selama hari-hari
yang telah ditentukan.
b. Seleksi para calon
dari segi terpenuhinya syarat-syarat in’iqad. Hal ini dilakukan oleh Mahkamah
Mazhalim.
c. Pembatasan jumlah
calon yang telah memenuhi kelayakan dilakukan dua kali: Pertama, dibatasi
sebanyak enam orang. Kedua, dibatasi menjadi dua orang. Pihak yang melakukan
dua kali pembatasan ini adalah Majelis Umat dalam kapasitasnya sebagai wakil
umat. Sebab, umat telah mendelegasikan pencalonan itu kepada Umar. Lalu Umar
menetapkan calon sebanyak enam orang. Keenam orang itu kemudian mendelegasikan
pencalonannya kepada Abdurrahman. Setelah melalui diskusi, kemudian Abdurrahman
membatasi pencalonan pada dua orang. Rujukan atas semua ini, seperti yang sudah
jelah, adalah umat atau pihak yang mewakilinya.
d. Setelah Pemilu dan
pembaiatan selesai, maka diumumkan kepada seluruh rakyat orang yang telah
menjadi khalifah kaum Muslim. Dengan demikian berita pengang-katannya sampai
pada seluruh umat, dengan menyebutkan namanya, dan sifat-sifat yang dia miliki
yang menjadikan dirinya layak untuk menduduki jabatan Khilafah.
e. Wewenang amir
sementara berakhir dengan berakhirnya proses pengangkatan dan pembaiatan
Khalifah, bukan dengan pengumuman hasil pemilihan khalifah. Sebab, kepemimpinan
Suhaib belum berakhir dengan terpilihnya Utsman, tetapi berakhir dengan
sempurnanya pembaiatan Utsman (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 145;
Ajhizah Dawlah al-Khilâfah, hlm. 34).
BAB III
PENUTUP
A.
Kesumpulan
·
Definisi bai’at
a. Imam
Ath-thabaridan ibnu kattsir berkata “ bai’at artinya adlah al-Mitsaq
(perjanjian)
b. Imam Ibn Hazm
berkata : baiat adalah transaksi (akad) dan kesetiaan
c.
Ibn khaldun berkata baiat adalah
: prjanjian orang berbai’at untuk taat melakukan sumpah kepada pemimpinnya
bahwa ia akan menyeloamatkan pandangan yang di embannya dari pemimpin, baik
berupa perintah yang di senangi maupun tidak di senangi.
Bai’at di bolehkan dalam
perkara-perkara persial (bagian) dari syari’at islam yang dilakukan tanpa
paksaan dan juga di lakukan syarat tidak ada pengaruh dan konsekswensi bai’at
terhadap Amirul Mukminin. Baik perjanjian itu dengan diri sendiri untuk selalu
taat dengan perbuatan tertentu yang disyariatkan atau berjanji untuk melakukan
perbuatan tertentu antara dia dengan orang lain, tanpa ada hal yang terlarang
oleh syari’at islam.
Unsur
organik dalam studi tentang konsep negara Islam menurut Ibnu Taimiyah itu tidak
lain adalah suatu ungkapan tentang realitas dasar serupa yang terungkap dalam
istilah-istilah lain. Ketika menekankan struktur organisasi masyarakat Islam,
Ibnu Taimiyah hanya mengikuti kriteria Nabi saw. Yang bersabda, “dalam urusan
cinta dan kasih sayang, ummat Islam mestinya mirip sebuah tubuh; jika salah
seorang warganya sakit, maka anggota-anggota yang lain juga merasakan demam dan
lemas.” Hadist yang juga menuturkan hal yang serupa adalah, “Hubungan antara
seorang mukmin dengan mukmin yang lain ibarat bagian-bagian dalam sebuah
bangunan; masing-masing saling menguatkan.” Makna kesatuan dan solidaritas itu
juga berakar pada tradisi Islam yang memiliki independensi tersendiri terhadap
ragam tantangan kehidupan politik.
DAFTAR PUSTAKA
A Djajuli, Fiqih Siyasah,
Jakarta: Kencana Prenada Media cet II, 2003.
Imam
Al-mawardi 2006 “Hukum-Hukum Penyelenggaraan Negara Dalam Syari’at Islam “, daar
El-Kitab Al-Araby, Beirut.
Ibni Taimiyah,
Nasihah Zahabiyah ila Al-Jamaat
Al-Islamiyah, Jakarta: Pustaka
Attauhid,2002.
Pulungan J. Suyuthi,Fiqih Siyasah: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran,
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada cet I, 1994
Taimiyah,
Ibnu. As-Siyasah asy-Syar’iyyah. Kairo: Dar al-Kitab al-Arabi, 1952
Khadduri,
Majid. The Nature of the Islamic State. Islamic Culture 21, 1974
Syariati, Ali.
Ummah dan Imamah. Jakarta: Bandar Lampung, 1952
Zahra, Abu.
Aliran politik dan aqidah dalam Islam. Jakarta: Logos, 1996
[1] A. Rahman Dahlan, Ensiklopedia Hukum Islam,
(jakarta: PT Ikhtiar Baru Van Heave, 2006),179
[2] Baiah fi Al-Islam; Mafhumuha, Ahammiyatuha, wa syurutuha, Dr. Raghib
As-Sirjani.
[3] Muqaddimah Ibnu Khaldun, hal.299
[4] Yahya Ismail, Manhaj As-Sunnah f Al-‘Alaqoh
baina Al-Haakim wal Mahkum, terj.Andi Suherman (Jakarta:Gema Insani Press,1995),
hal.153
[5]
Abdurrahman Bin Mu’alla Al-Waihaqi, Al-Ghullu fe Dien, (Beirut: Muasasah
Ar-Risalah, 1992), cet. I, hal. 235
[6]
Al-Mawardi, Al-Ahkam as-Sulthaniyyah, hal. 7.
[7]
Dr. Dhiya’uddin ar-Ris, an-Nazhariyyat as-Siyasiyyah al-Islamiyyah, hlm. 170.
[8]Al-Ahkam
as-Sulthaniyyah, hlm. 3
[9]
An-Nabhani,
Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 142-143; Ajhizah Dawlah al-Khilâfah, hlm. 31-32
0 komentar:
Post a Comment