BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pada adasarnya Ilmu Akhlak dengan Syariah
sangatlah berkaitan dan hampir tidak bisa dipisahkan, sebab Syariah akan berkembang
karena adanya Akhlak di dalamnya. Dewasa ini kita melihat bahwa dunia semakin
maju, disinilah peran akhlak menyaring hal hal yang baru yang kurang sesuai
dengan ajaran islam. Akhlak sangat penting bagi setiap manusian, begitu juga
dengan syariah, di dalam syariah terdapat pelajaran pelajaran yang erat
kaitannya dengan akhlak.
Ajaran akhlak
dalam Islam berumber dari wahyu Illahi yang termasuk dalam Al-quran dan sunnah.
Akhlak dalam Islam bukanlah moral yang kondisional dan situasional, tetapi
akhlak yang benar-benar memiliki nilai yang mutlak untuk memperoleh kebahagian
di dunia ini dan di akhirat kelak. Dalam keseluruhan ajaran Islam, akhlak
menempati kedudukan yang istimewa dan sangat penting.
Di dalam Alquran
saja banyak ayat-ayat yang membicarakan masalah akhlak . belum lagi dengan
hadits-hadits Nabi, baik perkataan maupun perbuatan, yang memberikan pedoman
akhlak yang mulia dalam keseluruhan aspek kehidupan. Akhlak dalam Islam
bukanlah moral yang harus disesuaikan dengan suatu kondisi dan situasi, tetapi
akhlak yang benar-benar memiliki nilai yang mutlak, nilai-nilai baik dan buruk,
terpuji dan tercela berlaku kapan saja, dimana saja dalam segala aspek
kehidupan tidak di batasi oleh ruang dan waktu.
1.2 Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang akan saya bahas dalam makalah kami ini adalah:
- Apa yang dimaksud dengan Akhlak?
- Ruang lingkup dan manfaat akhlak.
- Pengertian Syariah.
- Ruang Lingkup Syari’ah.
- Relasi Akhlak dengan Syariah.
1.3 Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini adalah :
1.
Mengetahui makna
Ilmu Ahlak
2.
Mengetahui
ruanglingkup dan manfaat manusia berakhlak dalam kehidupan sehari-hari.
3.
Mengetahui Pengertian
Syariah
4.
Mengetahui Ruang
lingkup Syariat.
5.
Mengetahui
hubungan Akhlak dengan Syariah
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Akhlak
Secara etimologi akhlak
adalah bentuk jamak dari khuluq yang berarti budi pekerti, perangai, tingkah
laku dan tabi’at. Sinonim kta akhlak adalah budi pekerti, tata krama, sopan
santun, moral dan etic.
Sedangkan akhlak
menurut istilah sebagaimana di ungkapkan oleh Imam Al-Ghazali adalah sebagai
berikut : aklhlak adalah suatu bentuk (naluri asli) dalam jiwa seorang
manusiayang dapat melahirkan suatu tindakan dan kelakuan dengan mudah dan sopan
tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan. Apabila naluri tersebut melahirkan
suatu tindakan dan kelakuan yang baik dan terpuji menurut akal dan agama, maka
disebut budi pekerti yang baik. Namun sebaliknya bila melahirkan tindakan dan
kelakuan yang jahat maka disebut budi pekerti yang buruk.
Yang di maksud
melahirkan tindakan dan kelakuan ialah
suatu yang dijelmakan anggota lahir manusia, misalnya tangan, mulut, demikian
juga yang dilahirkan oleh anggota bathin yakni hati yang tidak dibuat-buat.
Kalau kebiasaan yang tidak dibuat-buat itu baik disebut akhlak yang baik dan
kalau kebiasaan yang buruk disebut akhlak yang buruk.
Jadi dapat kita
simpulkan awal perbuatan yang itu lahir malalui kebiasaan yang mudah tanpa
adanya pemikiran dan pertimbangan terlebih dahulu . contohnya jika seseorang
memaksakan dirinya untuk mendermakan katanya / menahan amarahnya dengan
terpaksa , maka orang yang semacam ini belum disebut dermawan / orang yang
sabar. Seseorang yang memberikan pertolongan kepada orang lain belumlah dapat
dikatakan ia seorang yang berakhlak baik.
Apabila ia melakukan
hal tersebut karena dorongan oleh hati yang tulus, akhlas, dari rasa
kebaikannya / kasihannya sesama manusia maka ia dapat dikatakan berakhlak dan
berbudi pekerti yang baik. Jadi akhlak adalah masalah kejiwaan, bukan masalah
perbuatan, sedangkan yang tampak berupa perbuatan itu sudah tanda / gejala
akhlak.
Sedangkan akhlak
menurut Ibrahim Anis adalah sifat yang tertanam di dalam jiwa yang dengannya
malahirkan macam-macam perbuatan baik / buruk tampa membutuhkan pemikiran dan
pertimbangan. Dan menurut Abdul Karim Zaidan akhlak adalah nilai-nilai dan
sifat-sifat yang tertanam dalam jiwa yang dengan sorotan dan timbangannya
seseorang dapat menilai perbuatan baik / burk untuk kemudian memilih melakukan
/ meninggalkannya.
Dari beberapa
pengertian tersebut bisa kita ambil kesimpulan bahwa akhlak / khuluq itu adalah
sifat yang tertanam dalam jiwa manusia sehingga dia akan muncul secara spontan
bilamana diperlukan, tanpa memerlukan pemikiran / pertimbangan terlebih dahulu
serta tidak memerlukan dorongan dari luar.
Sifat spontanitas dari
akhlak tersebut ccontohnya adalah apabila ada seseorang yang menyumbang dalam
jumlah besar untuk pembangunan mesjid setelah mendapat dorongan dari seorang
da’i (yang mengemukakan ayat-ayat dan hadist-hadist tentang keutamaan membangun
mesjid di dunia), maka orang tadi belum bisa dikatakan mempunyai sifat pemurah,
karena kemurahannya itu lahir setelah mendapat dorongan dari luar dan belum
tentu muncul lagi pada kesempatan yang lain.
Boleh jadi tanpa
dorongan seperti itu, dia tida akan menyumbang. Dari keterangan di atas
jelaslah bagi kita bahwa akhlak itu brsifat spontan dan tidak memerlukan
pemikiran dan pertimbangan serta dorongan dari luar.
Menurut terminologi,
filosofis akhlak Islam yang terpengaruh oleh filsafat Yunani ia memberikan
defenisi akhlak yaitu suatu keadaan bagi jiwa yang mendorong ia melakukan
tindakan. Dari keadaan itu tanpa melalui pemikiran dan pertimbangan. Keadaan
ini terbagi 2 ada yang berasal dari tabiat aslinya ada pula yang diperoleh dari kebiasaan yang
berulang-ulang. Boleh jadi tindakan itu pda mulanya hanya melalui pemikiran dan
pertimbangan, kemudian dilakukan terus menerus maka jadilah suatu bakat dan
akhlak.
Di samping istilah
akhlak juga dikenal istilah etika dan moral. Ketiga istilah itu sama-sama
menentukan nilai baik dan buruk sikap dan perbuatan manusia. Akhlak itu ada
yang bersifat tabrat / alami, maksudnya bersifat fitrah sebagai pembawaan sejak
lahir, misalnya sabar, penyayang, malu, sebagaimana di dalam hadist Abdil Qais
disebutkan bahwa Nabi Muhammad SAW berkata kepadaku “sesungguhnya pada diri
kamu ada dua tabiat yang di sukai Allah”, Aku berkata “Apa yang dua itu ya
Rasulullah?”, rasulullah SAW menjawab “Sabar dan malu”.
Kata akhlak dipakai
untuk perbuatan terpuji dan perbuatan tercela. Oleh karena itu akhlak
memerlukan batasan agar bisa dikatakan akhlak terpuji / akhlak tercela.
2.2 Ruang
Lingkup dan Manfaat Akhlak
Ruang lingkup akhlak yaitu:
1.
Akhlak
pribadi.
2.
Akhlak
berkeluarga.
3.
Akhlak
bermasyarakat.
4.
Akhlak
bernegara.
5.
Akhlak
beragama.
Sebagai mana disebut bahwa
akhlak adalah keadaan batin seseorang yang menjadi sumber lahirnya perbuatan
dimana perbuatan itu lahir dengan mudah tanpa memikirkan untung rugi. Bagi
orang yang berakhlak baik, perbuatan baik adalah suatu ekspresi bukan transaksi,
oleh karena itu perbuatan baiknya mengalir begitu saja tanpa harus
mempertimbangkan untung rugi. Yang dimaksud dengan perbuatan adalah kegiatan
fisik atau mental yang dilakukan secara sengaja dan bertujuan. Perbuatan bisa
berwujud aktipitas gerak, bisa juga berwujud diam tanpa gerak. Oleh karena itu
bagi orang berakhlak diamnya itu, geraknya, perkataannya diukur secara cermat,
kapan harus berkata dan kapan harus diam, kapan harus bertindak dan kapan harus
berdiam diri. Akhlak mengandung dimensi vertikal, horizontal, dan internal,
olehkarena itu kemanfaatan hidup berakhlak dirasakan oleh masyarakat dan oleh
orang yang bersangkutan.
Diantara manfaat
hidup berakhlak bagi individu yang berakhlak adalah:
1.
Dapat
menikmati ketenangan hidup.
Ketenangan hidup diperoleh oleh orang yang
tidak memiliki konflik batin, selalu hidup bersosial
2.
Tidak
mudah terguncang oleh perubahan situasi.
Perubahan merupakan sunnatullah dalam
kehidupan, terkadang perubahan terjadi dengan begitu cepat , membalik keadaan
begitu rupa, yang selama ini jadi penguasa jatuh terhina, yang terhina naik ke
atas panggung. Oleh karena itu bagi orang yang berakhlak, yang menjadi
perhatian adalah bukan perubahannya, tetapi yang tidak berubah, yaitu kaidah
kaidah sunnatullah.
3.
Tidak
mudah tertipu oleh fatamorgana kehidupan.
Kehidupan yang kita jalani memang benar
benar realitas, tetapi tak jarang apa yang ditawarkan kepada kita dan apa yang
sedang kita ikuti sebenarnya bukan relitas tetapi hanya fatamorgana belaka.
4.
Dapat
menikmati hidup dalam segala keadaan.
Sudah menjadi sunnatullah bahwa hidup manusia
mengalami pasang surut, terkadang beruntung di lain kali merugi. Bagi orang
berakhlak karena prinsip hidup lurus yang selalu dipegang, maka ia selalu siap
menghadapi keadaan surut maupun keadaan pasang.
2.3 Pengertian Syari’ah
Syariah adalah ketentuan-ketentuan agama yang merupakan pegangan
badi manusia didalam hidupnya, untuk meningkatkan kwalitas hidupnya dalam
rangka mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Syariat islam adalah tata cara
pengatur tentang prilaku hidup manusia untuk mencapai keridhoan Allah SWT yang
dirumuskan dalam Al-quran.
Ketentuan-ketentuan
sebagai mana dirumuskan dalam syariah, wajib dipatuhi. Orang islam yakin bahwa
ketentuan Allah SWT yang terdapat dalam syariah itu adalah ketentuan Allah SWT
yang bersifat universal, oleh karena itu merupakan hukum islam bagi setiap
komponen dalam satu sistem. Hal ini berarti bahwa setiap ketentuan yang ditinggalkannya atau dilanggar bukan saja akan merusak lingkungannya
tetapi juga akan menghilangkan fungsi
parameter dalam komponen atau fungsi komponen dalam sistem.
Syariah dapat disimpulkan secara sederhana bahwa syariah adalah
segala macam aturan yang berkaitan dengan tingkah laku manusia, baik yang
berkaitan dengan hukum pokok maupun hukum cabang yang bersumber dari Al-quran
dan hadits Nabi Muhammad SAW. Syariah islam akan tetap sma dalam segi hukum dan
penerapannya, tatapi bisa diterapkan dalam berbagai situasi dan kondisi yang
sedang terjadi saat ini. Hal tersebut dikarenakan petunjuk petunjuk yang dibawa
dalam hukum syariah tersebut bisa
membawa manusia kepada kebaikan dan
kebahagiaan yang sesungguhnya.
2.4 Ruang Lingkup Syari’ah
Ruang lingkup
syari’ah mencakup peraturan-peraturan sebagai berikut:
1.
Ibadah,
yaitu peraturan-peraturan yang mengatur hubungan langsung dengan Allah SWT,
diantaranya rukun islam.
2.
Muamalah,
yaitu peraturan yang mengatur seseorang dengan yang lainnya dalam hal tukar
menukar harta diantaranya: dagang, pinjam meminjam, sewa menyewa, kerjasama
dagang,simpanan, utang-piutang, pungutan, warisan, wasiat, nafkah, titipan,
pesanan, dan lain-lain.
3.
Munakahat,
yaitu peraturan yang mengatur hubungan seseorang dengan orang lain dalam hubungan berkeluaga
(nikah, dan yangberhubungan dengannya), diantaranya: perkawinan, perceraian,
peraturan nafkah, penyusunan, pemeliharaan anak, pergaulan suami istri, mas kawin,
berkabung dari suami yang wafat, meminang, khulu’, li’am dzilar, ilam walimah,
wasiat, dan lain-lain.
4.
Jinayah,
yaitu peraturan yang menyangkut pidana, diantaranya: qishas, diyat, kifarat,
pembunuhan, zinah, minum keras, murtadz, khianat dalam perjuangan, kesaksian
dan lain-lain.
5.
Syiasah,
yaitu yang menyangkut masalah masalah kemasyarakatan (plitik) diantaranya:
ukhua, musyawarah, keadilan, ta’awun, toleransi, tanggung jawab sosial,
kepemimpinan pemerintah dan lain-lain.
6.
Akhlak,
yaitu yang mengatur sikap hidup pribadi, diantaranya: syukur, sabar, tawadhu,
pemaap, tawakal, istiqomah dan lain-lain.
Peraturan-peraturan lainnya seperti makanan, minuman, sembelihan,
berburu, nazar, pemberantasan kemiskinan, pemeliharaan anak yatim, perang dan
lain-lain.
2.5 Relasi Akhlak dengan
Syariah
Sebagai bentuk perwujudan iman (Aqidah
tauhid), akhlaq mesti berada dalam bingkai aturan syari’ah Islam. Karena
seperti dijelaskan diatas, akhlaq adalah bentuk ibadah dalam rangka
mendekatkan diri kepada Allah. Sedangkan proses ibadah harus dilakukan sesuai
dengan aturan mekanisme yang ditetapkan syariah, agar bernilai sebagai
amal shalih. Syariah merupakan aturan mekanisme dalam amal ibadah seseorang
mukmin/muslim dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah SWT. Melalui prantara
syariah akan menghubungkan proses ibadah kita kepada Allah. Suatu amal diluar
aturan mekanisme ibadah tidak bernilai sebagai amal shalih. Demikian pula
akhlaq sebagai bentuk hawaliyah akan menjadi sia-sia jika tidak berada didalam
kerangka aturan syariah. Jadi, syaria adalah syarat yang akan menentukan
bernilai tidaknya suatu amal ibadah.
Syariat menjadi standard ukuran yang menentukan
apakah suatu amal-perbuatan itu benar atau salah. Ketentuan syariah merupakan
aturan dan rambu-rambu yang berfungsi membatasi, mengatur dan menetapkan mana
perbuatan yang mesti dijalankan dan yang mesti ditinggalkan. Ketentuan hukum
pada syariat pada asasnya berisi tentang keharusan, larangan dan kewenangan
untuk memilih. Ketentuan ini meliputi wajib, sunnah/mandub, mubah (wenang),
makruh dan haram. Syariah memberi batasan-batasan terhadap akhlaq sehingga
praktik akhlaq tersebut berada didalam kerangka aturan yang benar tentang benar
dan salahnya suatu amal perbuatan (ibadah).
Jadi, jelas bahwa akhlaq tidak boleh lepas dari
batasan dan kendali syariat. Perilaku akhlaq (awal) tanpa kerangka aturan
syariah tidak akan sampai pada tujuan pengabdian. Karena apa yang dilakukan
berada diluar sarana dan mekanisme ibadah itu sendiri.
Syariat menjadi bingkai dan praktik akhlaq,
atau aturan yang mengatasi dan mengendalikan akhlaq. Praktek akhlaq tidak
melebihi apalagi mengatasi syariah, tetapi akhlaq harus lahir sebagai penguat
dan penyempurna terhadap pelaksanaan syari’at. Sedangkan akhlaq yang tidak
menjadi penyempurna pelaksanaan syariat adalah perbuatan batal. Jadi, kedudukan
akhlaq adalah sebagai penguat dan penyempurna proses ibadah seseorang. Syariat
sebagai aturan dan mekanisme ibadah harus lebih di utamakan dari praktek
akhlaq. Namun, ini bukan berarti akhlaq dapat kesampingkan (di nomor dua kan),
karena seseorang yang melaksanakn syariat tanpa disertai denga akhlaq yang baik
tidak akan sampai pada satu derajat kesempurnaan dalam amal ibadahnya. Dengan
demikian, syariah berfungsi sebagai jalan yang akan menghantarkan seseorang
kepada kesempurnaan akhlaq. Sedangkan akhlaq adalah nilai-nilai keutamaan yang
bisa menghantarkan seseorang menuju tercapainya kesempurnaan keyakinan.
Namun, kadangkala orang tidak membedakan antara
ketetapan syariah dan akhlaq atau menganggap keduanya sama, sehingga antara
praktek akhlaq dan praktek syariah seringkali terjadi tumpang tindih.
Atau bisa terjadi seseorang lebih mengutamakan (mendahulukan) melaksanakan
akhlaq hasanah ketimbang ketentuan syariah. Atau sebaliknya, menjalankan
perintah syariah tetapi tidak disertai dengan akhlaq, karena menganggap akhlaq
bukan sesuatu yang penting, atau walaupun penting hal itu tergantung pada
pilihan masing-masing ummat dengan bebas.Sedangkan dalam Islam antara syariah
dan akhlaq adalah dua hal sangat terkait erat, dimana yang satu (yakni syariat)
menjadi dasar bagi yang kedua (akhlaq).
Bisa terjadi suatu pelaksana kewajiban menjadi
gugur nilainya karena tidak disertai dengan akhlaq. Seperti kasus orang
yang ber infak di jalan Allah tetapi ketika dalam menyerahkan hartanya
dilakukan sambil berkata-kata yang tidak baik, maka infak orang tersebut disisi
Allah tidak bernilai sedikitpun karena terhapus oleh akhlaknya yang buruk.
Meskipun dari segi aturan syariat ia telah melakukan kewajibannya dengan benar,
tetapi secara nilai, ia diterima sebagai amal ibadah di sisi Allah swt.
Tetapi bukan berarti setiap pelaksanaan syariat
yang tidak dilakukan dengan akhlaq yang baik akan menggugurkan nilai ibadah
seseorang disisi Allah. Dalam kasus orang shalat tidak tepat waktu, tidak
menjadi gugur nilai shalatnya, tetapi hanya mengurangi keutamaannya saja, atau
mengurangi kekusyuan orang yang dibelakang shofnya karena terganggu oleh gambar
pada bajunya. Tetapi itu tidak menggugurkan kewajiban shalatnya.
Ketetapan syariah adalah ketetapan hokum yang
bersifat mutlak dan tidak bias tidak wajib ditaati, sedangkan akhlaq adalah
nilai-nilai keutamaan yang akan menyempurnakan dan memperkuat
pelaksanaan dan penegakan syari’at tersebut. Jika dalam pelaksanaan syariat
mesti sesuai dengan ketentuan-ketentuan syariat itu sendiri, maka akhlak tidak
boleh keluar dari ketentuan-ketentuan tersebut. Meskipun bersifat keutamaan dan
penyempurnaan dalam melaksanakan syariat, ini tidak berarti setiap ummat dapat
melakukan atau tidak melakukannya. Karena seperti telah diterangkan diatas,
bahawa akhlaq adalah perwujudan dari prose amal ibadah, sehingga seseorang
ummat) dapat meningkatkan kualitas iman dan amal ibadahnya dengan akhlaq
tersebut.
Selain itu antara syariat dan akhlaq dapat
dibedakan dari bentuk dan jenis sanksi yang diberikan kepada pelanggar atau
mereka yang tidak menjalaninya. Sanksi bagi pelanggar syariat adalah
sesuatu yang jelas dan tegas sesuai dengan ketentuan dan ketetapan yang
tertuang dalam syariat itu sendiri, dan semua ketetapan yang tertuang dalam
syariat itu sendiri, dan semua ketetapan sanksi itu diputuskan oleh
lembaga yang berwenang (lembaga ‘ulil amri). Sedangkan bagi yang tidak
melakukan akhlak hasanah, tida ada sanksi yang ditetapkan oleh syariat. Sanksi
terhadap pelanggaran akhlak tidak ditetapkan oleh lembaga yang berwenang,
tetapi sanksi ini bisa diberikan baik oleh dirinya sendiri atau oleh lingkungan
sosial dan masyarakatnya. Misalnya seorang yang menjalankan perintah puasa
(saum ramadhan) tetapi suka menggunjing dan menyakiti orang lain,
berbohong, tidak menjaga seluruh anggota badan dari perbuatan keji, ia tetap
tidak bisa dikenai sanksi hukum atas perbuatan-perbuatannya tersebut, tetapi
hal itu akan mengurangi (ganjaran) keutamaan dalam puasanya, disamping itu
akan mendapat sanksi oleh dirinya sendiri atau
lingkungan sekitarnya, seperti rasa penyesalan diri, gunjingan dari sesama,
dikucilkan dari pergaulan, dan lain-lain.
BAB III
3.1
Kesimpulan
Akhlaq
tidak boleh lepas dari batasan dan kendali syariat. Perilaku akhlaq (awal)
tanpa kerangka aturan syariah tidak akan sampai pada tujuan pengabdian. Karena
apa yang dilakukan berada diluar sarana dan mekanisme ibadah itu sendiri.
Syariat menjadi bingkai dan praktik akhlaq,
atau aturan yang mengatasi dan mengendalikan akhlaq. Praktek akhlaq tidak
melebihi apalagi mengatasi syariah, tetapi akhlaq harus lahir sebagai penguat
dan penyempurna terhadap pelaksanaan syari’at. Sedangkan akhlaq yang tidak
menjadi penyempurna pelaksanaan syariat adalah perbuatan batal. Jadi, kedudukan
akhlaq adalah sebagai penguat dan penyempurna proses ibadah seseorang. Syariat
sebagai aturan dan mekanisme ibadah harus lebih di utamakan dari praktek
akhlaq. Namun, ini bukan berarti akhlaq dapat kesampingkan (di nomor dua kan),
karena seseorang yang melaksanakn syariat tanpa disertai denga akhlaq yang baik
tidak akan sampai pada satu derajat kesempurnaan dalam amal ibadahnya.
Dalam syariat ada istialah Jinayah dan Syiasah,
jika dalam melaksanakan hal tersebut tidak dibarengi dengan akhlak maka tidak
akan berarti apa-apa. Akhlak harus ada dalam syaiah karna syariah menyangkut
peraturan kehidupan sehari-hari dalam bermasyarakat atau bersosial.
3.2 Saran
Semoga dengan
adanya pembahasan makalah kami dapat menjadi masukan dan sumber
pengetahuan bagi semua orang dan semoga bermanfaat. Kami menyadari
sepenuhnya bahwa kami hanyalah manusia biasa yang tak luput dari salah dan
lupa, oleh sebab itu kami sadar bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan.
Untuk itu kami sangat harapkan kritik dan saran yang membangun dari semua pihak
terutama dari dosen yang bersangkutan, agar kedepannya dapat membuat yang lebih
baik
DAFTAR PUSTAKA
Nandang. 1988. Pendidikan Agama Islam.Bandung: Ganesxa Exac.
Rasyid Sulaiman. 1976. Fiqih Islam. Bandung: Attahiriyah.
Yunahar. 1999. Kuliah Akhlak. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Offest.
0 komentar:
Post a Comment