BEDAH BUKU “TADZKIRAH”



BEDAH BUKU “TADZKIRAH”
Karya Abu Bakar Ba’asyir
Dengan Tema
“Implikasi Buku Tadzkirah terhadap Persatuan dan Kesatuan Bangsa”


Pemateri:
Dr. Nurrohman, MA (Pakar Ilmu Politik UIN Sgd. Bandung)
Dr. Ajid Tohir (Pengurus PWNU Jawa Barat)
Fauz Noor, MA  (Kyai Muda NU Lakpesdam Jawa Barat)
Hasyim Adnan SS (INCREST dan Jakatarub)
Solihin S. Hi (Aktivis Muda NU)

Moderator:
Heri K Kusyairi




Penyelenggara:
Nahdliyin Nusantara Jawa Barat
Bekerja Sama dengan Dewan Mahasiswa UNINUS Bandung

Gedung Rektorat Lantai 3 UNINUS Bandung
Kamis, 28 Maret 2013-03-28
Notula Acara:
Bedah buku “Tadzkirah” ini dilaksanakan di ruang rektorat lantai 3, UNINUS Bandng. Acara dimulai dengan laporan ketua panitia pelaksana, Saudara Andri Firmansyah pada pukul 13.26 wib., dilanjutkan dengan menyanyikan lagu Indonesia Raya pada pukul 13. 42. Selanjutnya, acara dilanjutkan dengan sambutan ketua NAHNU Jawa Barat, Saudara Musbah Solihin, S. Hi, dan acara dibuka oleh Bapak Husein (PR III) pada pukul 14.04 wib.
Saudara Heri K. Kusyairi selaku moderator membacakan curriculum vitae pemateri pada 14. 07 wib, serta melakukan brain storming mengenai gejolak perkembangan di Indonesia, terkait bagaimana cara melakukan kontekstualisasi Islam di Indonesia.
Pemateri pertama, Dr. Ajid Tohir memaparkan gerakan islam garis keras yang dimulai dari gerakan Khawarij. Khawarij merupakan gerakan garis keras Islam yang mengafirkan orang Islam yang tidak sepakat dengan faham yang dianutnya. Menurutnya, konten yang terdapat dalam buku “Tadzkirah” merupakan kumpulan gagasan Abu Bakar Ba’asyir yang mirip dengan gerakan garis keras Khawarij, yakni berisi egoism intelektual.
Menurut Dr. Ajid Tohir, akar pemikiran Khawarij, dalam buku Al Milal Wan Nihal, berasal dari ketidaksepakatan tentang konsep keadilan dalam pembagian ghanimah. Kelompok tersebut tidak sepakat tehadap Rasulullah yang membagikan ghanimah dengan porsi yang lebih besar kepada golongan Muhajirin. Padahal, rasulullah membagikan ghanimah dengan porsi tersebut dengan alasan kaum Muhajirin tidak membawa harta benda dalam melakukan hijrah ke Madinah sehingga membutuhkan kebutuhan hidup yang lebih banyak. Konsep keadilan rasulullah yang kualitatif ditolak oleh kelompok cikal bakal khawarij yang tekkstual yang menekankan keadilan khawarij. Lebih lanjut, menurut Dr. Ajid Tohir, kelompok ini bermuara menjadi kelompok ideologi radikal, pragmatis, subversif, dan eksklusif.
Khawarij, sebagai bagian dari sempalan islam, memiliki kemiripan dengan komu isme yang tidak mengakui eksistensi kepemimpinan yang sah. Khawarij, melakukan terr dalam ideologi dan aksi. Hal ini berbeda dengan ahlusunnah waljamaah yang mengakui kepemimpinan mayoritas yang sah. Terakhir, Dr. Ajid tohir menutup materi dengan mengatakan bahwa gerakan-gerakan Islam garis keras akan terus hidup dan tumbuh sepanjang masa dengan corak yang berlainan. Haridin bertepuk tangan dan moderator mempersilakan Fauz Noor untuk member prolog.
Fauz Noor, dalam membuka materi, menyepakati pernyataan pemateri dengan mengatakan bahwa Khawarij merupakan golongan islam tekstualis dalam menafsirkan ayat Udkhulu fi al Slmi Kaffah. Menurutnya, Khawarij melakukan interpretasi agama scara membabi buta dan serampangan.
Menurut Fauz Noor, kalau syariat ditetapkan menjadi konstitusi negara, akan menjadi kepentingan politik, bahkan dengan menurut Abdurahman Wahid,  jadikanlah Islam sebagai inspirasi, bukan dijadikan sebagai aspirasi. Dalam buku “Tadkirah”, Abu Bakar tidak menggunakan metodologi seperti yang digunakan oleh ulama lainnya, yakni konsep maslahah (kemaslahatan). Ketidak sepakatan fauz Noor mengktitik Abu Bakar Baasyir tentang kewajiban mendirikan khliafah. Menurutnya, hal tersebut merupakan beban yang sukar dipikul, karena:
1.      Sosok atau figur khalifah yang diterima seluruh kaum muslim, seluruh madzhab islam, adalah utofis.
2.      Kita akan kembali ke pikiran abad pertengahan yang teosentris.
Pemateri ketiga, Dr. Nurrohman, menyampaikan makalahnya pada pukul 14. 54 wib dengan pernyataan bahwa pemikiran Abu bakar Baasyir bukan fenomena yang mengagetkan. Bagi Dr. Nurrohman, Abu Bakar Baasyir bisa disandingkan dengan Nurkhlis Madjid, merupakan alumni Gontor yang pernah berguru kepada NUrkholis Madjid satu tahun. Pemater ketiga ini pun pernah memerhatikan sepak terjang perjalanan hidup Abu bakar baasyir sehingga mudah dianalisa.
Abu Bakar Ba’asyir, merupakan tipikal pemikir yang memiliki level ego sentris. Bagi Dr. Nurrohman, yakni tidak mengakui kebenaran di luar pemikirannya. Sebenarnya, Abu Bakar Ba’asyir merupakan pemikir yang konsisten terhadap bangkitnya khilafah Islamiyah. Akan tetapi, model yang diperuangkannya bercora radikal, literalis, dan  eksklusif. Dalam pengantarnya –Dr. Nurrohman, jika dikategorikan dalam termonologi modern, gerakan yang dikampanyekan Abu Bakar Ba’asyir adalah model revivalis, artinya gerakan yang memimpikan bangkitnya Islam dalam pegertian Islam tersebut harus memberikan jawaban terhadap semua aspek kehidpan, baik sosial, ekonomi, dan politik.
Akan tetapi, yang membedakan dengan revivalis lainnya, Abu bakar Ba’asyir adalah ia memiliki sikap radikal yang toleransi terhadap cara cara kekerasan demi terwujudnya negara Islam yang ia impikan. Dalam konteks Indoensia, Abu Bakar Baasyir sulit ditemima khalayak. Pemateri memaparkan akar pemahamannya dari Abdullah Sungkar, salah satu pendiri sayap kanan gerakan islam radikal.  Sayangnya, Abu bakar Ba’asyir tidak pernah mengalami kajian kajian yg lebih akademik seperti Nurkholis madjid dan yang lainnya sehingga tidak bisa menangkap gagasan negara Islam secara kritis. Terakhir, pemateri sepakat dengan Dr. Ajid mengenai kemirpan gerakan Abu Bakar Baasyir yang mirip komunis yang tiranik, represif, tetapi dengan menggunakan agama sebagai tamengnya.
Pemateri terakhir, Hasyim Adnan, memulaipemaparanya pada pukul 15. 16 wib dengan  menyatakan bahwa tulisan-tulisan yang dirangkum dalam buku “Tadzkirah” merupakan korespondensi yang tak berbalas kepada presiden. Dalam konteks kekinian, kehadiran buku “Tadzkirah” patut diapresiasi dibandingkan dengan bom bunuh diri. Menurut Hasyim Adnan, dibanding negara Islam vis a vis negara sekuler, alangkah lebih baiknya jika mencari kesamaan format antara negara sekuler dengan konsep Islam.
Jika saja dalam masyarakat muslim Indonesia terdapat kebenaran tunggal dalam bernegara, maka yang terjadi adalah kembali kepada fenomena orde baru yang mengasas tunggakan pancasila versi pemerintah. Dalam mengkontekstualisasikan gagasan islam, yang patut dilakukan adalah melakukan komunikasi secara istiqomah sehingga dicapai proses dialogis antar gerakan Islam, seperti komunikasi antara Abdurrahman wahid dengan Habib Rizieq dan Abu bakar Ba’asyir.
Terakhir, pemateri pemaparkan perlunya pendidikan politik dalam bernegara, baik pilgub dan pilwalkot. Jika saja terdapat pemimpin yang memiliki kemiripan denga Abu Bakar Ba’asyir, maka jangan heran jika banyak kelompok diluar pemahaman penguasa, maka dengan sendirinya. Dalam hal ini, politik tidak bisa dipahami sebagai sesuatu yang kotor tapi dijadikan sebagai pertarungan dalam menciptakan rahmatan lil alamiin.
Pemateri berikutnya, pemateri dari kesbang (kesatuan bangsa)  kota Bandung, mewakili wakil wali kota bandung. Ia melakukan perbandingan antara Abu Bakar Bakar Ba’asyir dan Ibnu Taimiyah tentang perlunya berjihad dengan membangun senjata. Ia pun melakukan perbandingan dengan ikhwanul muslimin (Hasan Albana dan Sayyid Qutub). Menurutnya, gerakan tersebut berasal dari kesenjangan antara harapan dengan kenyataan. Pada dasarnya, pemateri mementingkan asas pancasila sebagai dasar dari semua dasar hukum. Artinya, semua ideologi yang bertentangan dengan pancasila tidak bisa diterima sebagai prinsip berorganisasi. Lebih dari itu, gerakan yang bertentangan dengan pancasila, baik teroris, komunis, dan separatis, dianggap mengancam keutuhan KNRI. Menurutnya, bandung memang sudah tentram. Akan tetapi bukan tidak mungkin jika benih benaih komunis, teroris, dan separatis muncul di Bandung. Hal ini dikarenakan di Bandung terdapat “jago-jago” pemikiran, baik syi’ah, ahmadiyah, dan sebagainya. Pemaparan materi ditutup pada pukul 15.57 wib.
Pemateri terakhir, Saudara Misbah Solihin, S. Hi memaparkan pemahaman islam yang dianggap tekstual dan radikal dengan analisa penelitian lapangan. Berdasarkan penelitian tersebut, rata-rata penganut pemikran tekstual dan radikal tersebut adalah pengangguran dan kampus kampus umum. Penerimaan atas gerakan tersebut dikarenakan tidak adanya kajian mendalam dan sangat eksklusif, tidak suka diajak untuk berdialog. Hal ini bertentangan dengan nilai-nilai kebangsaan dank e-Indonesiaan. Terjadinya degradasi pemahaman ke-Islaman yang toleran dan rahmatan lil alamin dikarenakan kurangnya pemahaman akan ke-Islaman itu sendiri. Materi ditutup pada pukul 15.15 wib dan peserta melakukan applause kepada pemateri.
Sesi berikutnya, moderator membuka sesi tanya jawab pada pukul 15.54 wib dengan membuka tiga pertanyaan. Penanya pertama, saudara Irham, peserta dari UPI bertanya kepada Hasyim Adnan dan Fauz Noor. Menurutnya, Indonesia sudah hampir berhasil melepaskan diri dari IMF dan World Bank. Akan tetapi, kenyataan yang terjadi, justru di UPI dan UIN Bandung, serta kampus-kampus lainnya melakukan pembangunan kampus yang foundingnya berasal dari IDB yang nota bene dari gerakan wahabi. Hal ini menjadi sebuah dilematis, di satu sisi Indonesia lepas dari kapitalisasi, di sisi lain, ia terjebak oleh gerakan wahabi. Bagaimana tanggapannya?
Penanya kedua, Ibrahim, peserta dari Ikatan pelajar Mahasiswa NTT kota Bandung, menanyakan 3 pertanyaan. Pertanyaan pertama,  apakah tafkir “tafkir” atau pengkafiran atas muslim non kelompoknya terjadi sebelum munculnya buku “tadzkirah atau baru mulai setelah keluarnya buku tersebut? Siapa sebenarnya Abu Bakar Ba’asyir, apakah merupakan pengikut ahlusunah waljamaah juga atau benarbenar wahabi?
Penanya ketiga, kenapa buku-buku tekstualis seperti buku Abu Bakar Bakar Ba’asyir, Rasyid Ridha, dan kelompok tekstualis lainnya lebih mudah didapat dibandingkan dengan buku buku ahlusunnah waljamaah? Ia menyatakan ahlusunnah waljamaah sebenarnya tidak menang-menang amat atas gerakan tersebut.
Sesi jawaban dimulai pada pukul 16.04 wib, sesi jawaban dibuka moderator dan jawaban pertama dilontarkan Hasyim Adnan. Menurunya, simpikasi atas sumlimasi tersebut di atas, ambil bantuannya, lepaskan ajarannya. Sebenarnya, menurutnya, term negara berkembang terkait dengan pemiskinan yang terjadi, belum punya kekuatan seperti layaknya adi daya. Term terseut harus diubah untuk menjadi kekuatan dunia. Sayangnya, negara yang kaya ini terjebak oleh sikap terlena terhadap kenyataan. Dengan mengutif penulis Inggris, jangan bangunkan Indonesia yang sedang tidur, karena dengan membangunkan Indonesia, itu akan menjadi saingan negara-negara maju. Sayangnya, Indonesia terlalu rakus oleh kekuasaan dan kekayaan dan tidak mampu berdiri di kaki sendiri sehingga hanya mengandalkan bantuan dari negara lain.
Terkait dengan banyaknya literatur yang berfahamkan literal, hal tersebut dikarenakan faktor kekuasaan yang memang sama lieral. Hal ini karenakan kurangnya stake holder yang mengakomodir nilai-nilai ahlusunnah waljamaah. Kenyataan yang terjadi, pendampingan terhadap petani, pedagang, dan rakyat kecil tanfa sokongan elit, hanya akan menajdi advokasi belaka.
Penjawab kedua, Fauz Noor menyepakati statement Hasyim Adnan mengenai bantuan IDB. Ambil bantuannya, pertahankan sunninya. Contohnya, pesantren Alzaitun dibangun atas bantuan Dinasti Fatimiya, tetapi Alzaitun itu tidak ikut jadi syi’ah.  Bahkan, barang haram pun, dengan mengutip pendapat Abdurrahman Wahid, seperti dana SDSB yang nota bene berasal dari perjudian jika diperuntukkan bagi kemaslahatan public sepen rti jalan dan sarana umum, bisa berubah menjadi halal. Hal ini diqiyaskan kepada ikan, selalu memakan barang haram –yakni kotoran-, tetapi ikan tetap halal, bahkan bangkainya pun menjadi halal. Selama bantuan IDB tidak menggoyakan ideologi dalam perjanjian, maka bisa diambil demi kemaslahatan.
Mengenai pertanyaan kedua, Fauz Noor mengatakan bahwa Abu Bakar Ba’asyir tidak menggunakan metodologi dan tinjauan akademik. Misalnya, ayat wa man lam yahkum bima anzalallah, fa ula’ika humul kaafiruun. Ayat tersebut turun sebelum ayat hudud, rajam, dan hal-hal teknis yang lain. Ayat tersebut berkaitan dengan tauhid dan moral. Artinya, barang siapa yang tidak bertauhid dan beretika, maka ia merupakan orang kafir. Jadi, pernyataan yang mengatakan bahwa barang siapa yang tidak melaksanakan hukum hudud dan rajam, maka ia merupakan hal bodoh.
Terkait dengan budaya literal, Fauz Noor menyatakan baw dirinya mengakui ahlusunnah waljamaah memang kurang dipahami secara mendalm. Akan tetapi, menurutnya, selama tahlilan, yasinan, dan asshlatu khorin minannaum masih bergema, maka dirinya yakin ahlusunnah waljamaah akan tetap berdiri. Hal tersebut dikarenakan ahlusunnah wljamaah telah mengakar budaya melalui ajaran Islam yang mengakar dengan tradisi. Sayangnya, konsep toleran dalam Islam di Indonesia terlalu toleran sehingga tidak tegas. Contohnya, dalam sejarah islam, Rasulullah pernah tidak menshalatkan beberapa muslim karena ia merupakan golongan munafik. Kontekstualisasinya saat ini, NU dan Muhamadiyah telah memfatwa kan bahwa koruptor haram untuk dishalatkan. Sayangnya, muslim saat ini tetap saja toleran, baik munafik ataupun tidak munafik, disholatkan oleh khalayak.
Penjawab ketiga, Dr. Ajid Tohir, mengamini kedua penjawab terdahulu. Ia hanya menambahkan dalam lampiran makalahnya, terdapat beberapa tipikal khawarij yang akan tetap tumbuh sepanjang masa.
Penjawab keempat, Dr. Ajid menyatakan bahwa pertarungan ideologi, seperti NKRI harga mati, sayangnya dikotori oleh sikap aparatur negaranya yang menyimpang dari konsistensi empat pilar negara Indonesia. Jika konsistensi aparatur negara menutup kemungkinan jika warga negara menjadi pesimis sehingga mencari ideologi alternatif seperti khawarij tersebut. Tantangan  saat ini adalah bagaimana mencari format kenegaraan yang mampu mengakomodir kebutuhan real masyarakat.
Penjawab kelima pun menyepakati keempat penjawab sebelumnya. Ia menambahkan, maraknya buku-buku literal di pasaran dikarenakan peran media yang selalu mencari berita-berita fenomenal dan dan sensasional. Sementara di sisi lain, buku-buku yang mengandung nilai-nilai ahlusummah waljamaah masih kurang di pasaran, bahkan kekurangan intelektual dari internalnya sendiri. Pemateri menutup pernayataannya dengan merebut peran-peran strategis, seperti partai politik dan lembaga-lembaga negara.
Sebelum moderator menutup bedah buku, moderator mempersilakan Kang Eki, dari Ahmadiyah. Dalam pemaparanya, buku “Tadzkirah” lebih pas jika disebut tulisan. Lebih lanjut, ia tidak memiliki metodologi dalam melakukan kajian. Ketiga, ia mengkritisi kesejarahan ahmadiyah pada abad pertengahan dengan menyebut Dr Ajid hanya cpy paste tanfa data empirik yang jelas. Terakhir, kang Eki mengkritisi kesbang Kota Bandung yang memasuki dimensi keyakinan warga kota bandung. Sebagai aparat pemerintahan, Kang Eki menyatakan bahwa aparat pemerintah bertugas mempertahankan NKRI, tidak harus sampai pada persoalan keyakinan masyarakat. Tetapi, lebih dari itu, dirinya mengapresiasi semua gejolak intelektual yang terjadi di dalam forum diskusi. Materi selesai pukul 17. 05 dan ditutup dengan applause hangat peserta bedah buku.





Share on Google Plus

About Unknown

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 komentar:

Post a Comment

luvne.com ayeey.com cicicookies.com mbepp.com kumpulanrumusnya.com.com tipscantiknya.com