Pengertian Qiyas Menurut Para Ulama



Pengertian Qiyas
Qiyas menurut bahasa ialah pengukuran sesuatu dengan yang lainnya atau penyamaan sesuatu dengan sejenisnya.
Ada beberapa golongan pendapat. Golongan pertama menyatakan bahwa qiyas merupakan ciptaan manusia, yaitu pandangan para mujtahid. Sebaliknya menurut golongan kedua, qiyas merupakan ciptaan syari’, yakni merupakan dalil hukum yang berdiri sendiri atau merupakan hujjat illahiyah yang dibuat syari' sebagai alat untuk mengetahui suatu hukum. Ulama ushul fiqih memberikan definisi yang berbeda-beda bergantung pada pandangan mereka terhadap kedudukan Qiyas dan Istinbath hukum.
1.        Al-Ghazali dalam al-Mustahfa
"Menanggungkan sesuatu yang diketahui kepada sesuatu yang diketahui dalam hal menetapkan hukum pada keduanya atau meniadakan hukum dari keduanya disebabkan ada hal sama antara keduanya, dalam penetapan hukum atau peniadaan hukum”.
2.        Qadhi Abu Bakar
“Menanggung sesuatu yang diketahui kepada sesuatu yang diketahui dalam hal menetapkan hukum pada keduanya atau meniadakan hukum dari keduanya disebabkan ada hal yang sama antara keduanya”.
3.      Ibnu Subki
“Menghubungkan sesuatu yang diketahui kepada sesuatu yang sudah diketahui kesamaannya dalam ‘‘illat hukumnya menurut pihak yang menghubungkannya (mujtahid).”
4.       Abu Zahrah
“Menghubungkan suatu perkara yang tidak ada nash tentang hukumnya kepada perkara lain yang ada nash hukumnya karena keduanya berserikat dalam ‘‘illat hukum’.”
5.      Ibnu Qudamah
“Menanggungkan (menghubungkan) furu’ kepada ashal dalam hukum karena ada hal yang sama (yang menyatukan) antara keduanya.”
6.      Ibnu al-Hummam
“Samanya suatu wadah (tempat berlakunya hukum) dengan yang lain dalam ‘illat’  hukumnya. Bagiannya ada artian syar’i yang tidak dapat dipahami dari segi kebiasaan.”
7.       Abu Hasan al-Bashri
“Menghasilkan (menetapkan) hukum ashal pada “furu’” karena keduanya sama dengan ‘‘illat hukum menurut para mujtahid”.
8.       Al-Human
“Qiyas adalah persamaan hukum suatu kasus dengan kasus lainnya karena kesamaan ‘‘illat hukumnya yang tidak dapat diketahui melalui pemahaman bahasa secara murni.”
2.2.    Rukun Qiyas
1.        Ashl (pokok)
Yaitu suatu peristiwa yang sudah ada nash-nya yang dijadikan tempat menqiyaskan. Ini bedasarkan pengertian ashl menurut fuqaha. Sedangkan ashl menurut hukum teolog adalah suatu nash syara’ yang menunjukkan ketentuan hukum, dengan kata lain, suatu nash yang menjadi dasar hukum. Ashl itu disebut juga maqish alaih (yang dijadikan tempat menqiyaskan), mahmul ‘alaih (tempat membandingkan), atau masyabbah bin (tempat menyerupakan).
Menurut sebagian besar ulama fiqih, sumber hukum yang dipergunakan sebagai dasar qiyas harus berupa nash, baik nash Al-Qur’an atau hadis atau ijma’. Jadi tidak boleh mengqiyaskan sesuatu dengan hukum yang ditetapkan dengan qiyas.
Pembatasan sumber hukum tersebut berdasarkan:
a.         Bahwa nash hukum merupakan sumber dan dasar dari segala hukum. Sedang sumber hukum lain apapun bentuknya bergantung pada nash tersebut. Dengan demikian nash hukum itu harus dijadikan sebagai dasar bagi bangunan qiyas.
b.         Nash hukum dengan berbagai bentuk dan kemungkinan kandungannya mengandung isyarat adanya ‘‘illat. Dengan menggunakan pemahaman isyarat kita dapat menemukan ‘‘illat.
c.         Sesungguhnya qiyas sendiri berpegang dengan Al-Quran dan hadis.
Sebagian besar ulama menetapkan bolehnya mengqiyaskan sesuatu berdasarkan hukum yang ditetapkan dengan ijma’, sebab sandaran ijma’ adalah nash, meskipun tidak selalu tegas menunjukkan hukum.
2.        Al-Hukm
Al-Hukm adalah hukum ketetapan nash, baik AL-Qur’an maupun hadis, atau ketetapan ijma’ (bagi orang yang menganggapnya sebagai sumber hukum asal) yang hendak ditransfer pada kasus-kasus hukum baru karena adanya unsur persamaan.
Penetapan hukum asal pada kasus hukum baru karena adanya unsur persamaan antara keduanya, harus memenuhi beberapa persyaratan antara lain:
a.         Harus berupa hukum syara’ yang amaliah.
Qiyas hukum tidak akan terjadi kecuali  pada hukum-hukum yang bersifat amaliah, karena itulah yang menjadi sasaran atau obyek fiqih Islam, karena kerangka luas.
b.         Harus berupa hukum yang rasional (ma’qulul ma’na)
Hukum rasional ialah suatu hukum yang apat ditangkap sebab dan alasan penetapannya, atau setidak-tidaknya mengandung isyarat akan sebab-sebab itu.
Sebaliknya hukum yang tidak rasional, tidak mampu ditangkap sebab-sebabnya oleh akal, seperti hukum tayamum dan jumlah rakaat sholat. Oleh sebab itu, di sini tidak berlaku hukum qiyas.
3.        Far’u
Far’u Adalah objek yang akan ditentukan hukumnya, yang tidak ada nash atau ijma’ yang tegas dalam menentukan hukumnya. Al-far’u ialah kasus yang hendak diketahui hukumnya melalui qiyas terhadap hukum asalnya. Al-far’u atau kasus baru itu harus memenuhi dua persyaratan:
a.         Kasus itu belum terdapat nash hukumnya dalam Al-Quran dan Hadis. Sebab, qiyas tidak berlaku pada hukum-hukum yang sudah jelas nashnya. Prinsip qiyas ialah mempertemukan kasus hukm baru yang belum ada nashnya. Oleh sebab itu tidaklah logis menetapkan hukum Qiyas terhadap kasus hukum yang sudah ada nashnya.
b.        ‘‘illat hukum itu harus benar-benar terwujud dalam kasus baru, sama jelasnya dengan ‘‘illathukum asal. Apabila ‘‘illat dilarangnya meminum minuman khamer itu ‘memabukkan’ maka setiap minuman atau makanan yang memabukkan sama hukumnya dengan khomer, yaitu haram. Sebaliknya apabila makanan atau minuman itu tidak memabukkan, misalnya sekedar membuat orang pusing, baik karena faktor orang yang meminum atau faktor makanan atau minuman yang bersifat sementara selama tidak memabukkan, maka makanan atau minuman tersebut tidak haram, seperti khomer. Alasannya : tidak adanya kesamaan ‘illat. Makanan dan minuman jenis ini memanglah tidak memabukkan, berbeda dengan khomer yang mempunyai sifat yang memabukkan.
4.         ‘Illat
‘Illatadalah pokok yang menjadi landasan qiyas. Imam Fahrul Islam al-Bazdawi telah menegaskan bahwa ‘‘illat merupakan rukun qiyas dan landasan dari bangunan qiyas. Sebagian ulama mendefinisikan ‘illat sebagai suatu sifat lahir yang menetapkan dan sesuai dengan hukum.
Orang yang mengakui adanya ‘illat dalam nash, berarti ia mengakui adanya qiyas. Kami berpendapat, dalam memandang ‘illat, para ulama terbagi menjadi tiga golongan:
a.         Golongan yang pertama (mazhab Hanafiah dan Jumhur) berpendapat bahwa nash-nash hukum pasti memiliki ‘illat. Selanjutnya mereka mengatakan :”sesungguhnya sumber hukum asal adalah  ‘illat hukum itu sendiri, hingga ada petunjuk (dalil) yang menentukan lain.
b.         Golongan kedu beranggapan sebaliknya, bahwa nash-nash hukum itu tidak ber’illat, kecuali ada dalil yang menentukan adanya ‘illat.
c.         Golongan ketiga ialah ulama yang menentang qiyas (nufatul qiyas) yang menganggap tidak adanya ‘illathukum.
Lima syarat yang mensyahkan ‘illat manjadi dasar qiyas ialah sebagai berikut:
a.         ‘illat harus berupa sifat yang jelas dan tampak, sehingga ia menjadi sesuatu yang menentukan.
b.         ‘illat harus kuat, tidak terpengaruh oleh perubahan individu, situasi maupun keadaan lingkungan, dengan satu pengertian yang dapat mengakomodasi seluruh perubahan yang terjadi secara definitif.
c.         Harus ada kolerasi (hubungan yang sesuai) antara hukum dengan sifat yang menjadi ‘illat.
d.        Sifat-sifat yang menjadi ‘illat yang kemudian  melahirkan qiyas harus berjangkauan luas (muta’addy), tidak terbatas hanya pada satu hukum tertentu.
e.         Syarat yang terakhir bahwa sifat yang menjadi ‘illat itu tidak dinyatakan batal oleh suatu dalil.
2.3.    Macam-macam Qiyas
Qiyas mempunyai tingkatan yang berbeda-beda. Perbedaan tersebut didasarkan pada tingkat kekuatan hukum karena adanya ‘illah yang ada pada ashal dan furu’, adapun tingkatan tersebut pada umumnya dibagi 3 yaitu:
1.        Qiyas aula
Yaitu qiyas yang apabila ‘illahnya mewajibbkan adanya hukum. Dan antara hukum asal dan hukum yang disamakan (furu’) dan hukum cabang memiliki hukum yang lebih utama daripada hukum yang ada pada al-asal. Misalnya berkata kepada kedua orang tua dengan mengatakan “uh”, “eh”, “busyet” atau kata-kata lain yang semakna dan menyakitkan itu hukumnya haram, sesuai dengan firman allah SWT QS. Al-Isra’ (17): 23
Artinya: “Dan Tuhanmu Telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia
Lalu diqiyaskan memukul dengan perkataan “ah”, “busyet” dan sebagainya hukumnya lebih utama.
2.        Qiyas Musaway
Yaitu qiyas yang apabila ‘illahnya mewajibkan adanya hukum dan sama antara hukum yang ada pada al-ashlu maupun hukum yang ada pada al-far’u (cabang). Contohnya, keharaman memakan harta anak yatim berdasarkan firman allah Surah an-Nisa’ (4):10.

Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, Sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka).
Dapat mengqiyaskan bahwa segala bentuk kerusakan atau kesalahan pengelolaan atau salah menejemen yang menyebabkan hilangnya harta tersebut juga dilarang seperti memakan harta anak yatim tersebut.
3.        Qiyas Adna
Yang dimaksud dengan qiyas ini yaitu adanya hukum al-far’u lebih lemah bila dirujuk dengan hukum al-ashlu. Sebagai contoh, mengqiyaskan hukum apel kepada gandum dalam hal riba fadl (riba yang terjadi karena adanya kelebihan dalam tukar menukar antara dua bahan kebutuhan pokok atau makanan). Dalam masalah kasus ini ‘illah hukumnya adalah baik apel maupun gandum merupakan jenis makanan yang bisa dimakan dan ditakar.
4.        Qiyas Dalalah
Yaitu ‘illat yang ada pada qiyas menjadi dalil (alasan) bagi hukum tetapi tidak diwajibkan furu’ seperti mengqiyaskan wajib zakat pada harta anak-anak kepada harta orang dewasa yang telah sampai senisab, tetapi bagi anak-anak tidak wajib mengeluarkan zakatnya diqiyaskan pada haji tidak wajib bagi anak-anak.
5.        Qiyas Syabah
Adalah mengqiyaskan cabang yang diragukan diantara kedua pangkal kemana yang paling banyak menyamai. Seperti budak yang di bunuh mati, dapat diqiyaskan dengan orang yang merdeka karena sama-sama keturunan adam.
A. Pengertian qiyas
Qiyas menurut bahasa Arab berarti menyamakan, membandingkan atau mengukur, seperti menyamakan si A dengan si B, karena kedua orang itu mempunyai tinggi yang sama, bentuk tubuh yang sama, wajah yang sama dan sebagainya. Qiyas juga berarti mengukur, seperti mengukur tanah dengan meter atau alat pengukur yang lain. Demikian pula membandingkan sesuatu dengan yang lain dengan mencari persamaan-persamaannya.
Qiyas dalam istilah ushul, yaitu menyusul peristiwa yang tidak terdapat nash hukumnya dengan peristiwa yang terdapat nash bagi hukumnya. Dalam hal hukum yang terdapat nash untuk menyamakan dua peristiwa pada sebab hukum ini .
Menurut para ulama ushul fiqh, ialah menetapkan hukum suatu kejadian atau peristiwa yang tidak ada dasar nashnya dengan cara membandingkannya kepada suatu kejadian atau peristiwa yang lain yang telah ditetapkan hukumnya berdasarkan nash karena ada persamaan ‘illat antara kedua kejadian atau peristiwa itu.
Agar lebih mudah memahaminya perhatikan contoh berikut :
Minum narkotik adalah suatu perbuatan yang perlu diterapkan hukumnya, sedang tidak satu nashpun yang dapat dijadikan sebagai dasar hukumnya. Untuk menetapkan hukumnya dapat ditempuh cara qiyas dengan mencari perbuatan yang lain yang telah ditetapkan hukumnya berdasar nash, yaitu perbuatan minum khamr, yang diharamkan berdasar firman Allah SWT.
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (minum) khamr; berjudi, menyembah patung dan mengundi nasib dengan anak panah tidak lain hanyalah suatu yang kotor, termasuk perbuatan syaitan, karena itu hendaklah kamu jauhi agar kamu mendapat keberuntungan.” (al-Mâidah: 90)
Antara minum narkotik dan minum khamr ada persamaan, illatnya, yaitu sama-sama berakibat memabukkan para peminumnya, sehingga dapat merusak akal. Berdasarkan persamaan ‘illat itu ditetapkanlah hukum meminum narkotik itu yaitu haram, sebagaimana haramnya meminum khamr.
B. Dasar hukum qiyas
Sebagian besar para ulama fiqh dan para pengikut madzhab yang empat sependapat bahwa qiyas dapat dijadikan salah satu dalil atau dasar hujjah dalam menetapkan hukum dalam ajaran Islam. Hanya mereka berbeda pendapat tentang kadar penggunaan qiyas atau macam-macam qiyas yang boleh digunakan dalam mengistinbathkan hukum, ada yang membatasinya dan ada pula yang tidak membatasinya, namun semua mereka itu barulah melakukan qiyas apabila ada kejadian atau peristiwa tetapi tidak diperoleh satu nashpun yang dapat dijadikan dasar.
Mengenai dasar hukum qiyas bagi yang membolehkannya sebagai dasar hujjah, ialah al-Qur’an dan al-Hadits dan perbuatan sahabat.

a. Al-Qur’an
Allah SWT berfirman:
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan ulil amri kamu, kemudian jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah dan Rasul, jika kamu beriman kepada Allah dan hari akhirat. Yang demikian itu lebih baik (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (an-Nisâ': 59)

b. Al-Hadits.
Setelah Rasulullah SAW melantik Mu’adz bin Jabal sebagai gubernur Yaman, beliau bertanya kepadanya:
Artinya:
“Bagaimana (cara) kamul menetapkan hukum apabila dikemukakan suatu peristiwa kepadamu? Mu’adz menjawab: Akan aku tetapkan berdasar al-Qur’an. Jika engkau tidak memperolehnya dalam al-Qur’an? Mu’adz berkata: Akan aku tetapkan dengan sunnah Rasulullah. Jika engkau tidak memperoleh dalam sunnah Rasulullah? Mu’adz menjawab: Aku akan berijtihad dengan menggunakan akalku dengan berusaha sungguh-sungguh. (Mu’adz berkata): Lalu Rasulullah menepuk dadanya dan berkata: Segala puji bagi Allah yang telah memberi petunjuk petugas yang diangkat Rasulullah, karena ia berbuat sesuai dengan yang diridhai Allah dan Rasul-Nya.” (HR. Ahmad Abu Daud dan at-Tirmidzi)

C. Rukun qiyas
Ada empat rukun giyas, yaitu:
1.         Ashal, yang berarti pokok, yaitu suatu peristiwa yang telah ditetapkan hukumnya berdasar nash. Ashal disebut juga maqis ‘alaih (yang menjadi ukuran) atau musyabbah bih (tempat menyerupakan), atau mahmul ‘alaih (tempat membandingkan);
2.         Fara’ yang berarti cabang, yaitu suatu peristiwa yang belum ditetapkan hukumnya karena tidak ada nash yang dapat dijadikan sebagai dasar. Fara’ disebut juga maqis (yang diukur) atau musyabbah (yang diserupakan) atau mahmul (yang dibandingkan);
3.         Hukum ashal, yaitu hukum dari ashal yang telah ditetapkan berdasar nash dan hukum itu pula yang akan ditetapkan pada fara’ seandainya ada persamaan ‘illatnya; dan
4.         ‘IIIat, yaitu suatu sifat yang ada pada ashal dan sifat itu yang dicari pada fara’. Seandainya sifat ada pula pada fara’, maka persamaan sifat itu menjadi dasar untuk menetapkan hukum fara’ sama dengan hukum ashal.

D. Syarat-syarat qiyas
Telah diterangkan rukun-rukun qiyas. Tiap-tiap rukun itu mempunyai syarat-syarat sebagai berikut:
a. Ashal dan fara’, berupa kejadian atau peristiwa
b. Hukum ashal
Ada beberapa syarat yang diperlukan bagi hukum ashal, yaitu:
1.         Hukum ashal itu hendaklah hukum syara’ yang amali yang telah ditetapkan hukumnya berdasarkan nash.
2.         ‘Illat hukum ashal itu adalah ‘illat yang dapat dicapai oleh akal
3.         Hukum ashal itu tidak merupakan hukum pengecualian atau hukum yang berlaku khusus untuk satu peristiwa atau kejadian tertentu1.
c. ‘Illat
‘Illat ialah suatu sifat yang ada pada ashal yang sifat itu menjadi dasar untuk menetapkan hukum ashal serta untuk mengetahui hukum pada fara’ yang belum ditetapkan hukumnya, seperti menghabiskan harta anak yatim merupakan suatu sifat yang terdapat pada perbuatan memakan harta anak yatim yang menjadi dasar untuk menetapkan haramnya hukum menjual harta anak yatim.
‘IlIat merupakan sifat dan keadaan yang melekat pada dan mendahului peristiwa/perbuatan hukum yang terjadi dan menjadi sebab hukum, sedangkan hikmah adalah sebab positif dan hasil yang dirasakan kemudian setelah adanya peristiwa hukum.

E. Pembagian qiyas
Qiyas dapat dibagi kepada tiga macam, yaitu:
a. Qiyas ‘illat
Qiyas ‘illat, ialah qiyas yang mempersamakan ashal dengan fara’ karena keduanya mempunyai persamaan ‘illat. Qiyas ‘illat terbagi:
1. Qiyas jali
Ialah qiyas yang ‘illatnya berdasarkan dalil yang pasti, tidak ada kemungkinan lain selain dari ‘illat yang ditunjukkan oleh dalil itu.

2. Qiyas khafi
Ialah qiyas yang ‘ilIatnya mungkin dijadikan ‘illat dan mungkin pula tidak dijadikan ‘illat,
b. Qiyas dalalah
Qiyas dalalah ialah qiyas yang ‘illatnya tidak disebut, tetapi merupakan petunjuk yang menunjukkan adanya ‘illat untuk menetapkan sesuatu hukum dari suatu peristiwa.

c. Qiyas syibih
Qiyas syibih ialah qiyas yang fara’ dapat diqiyaskan kepada dua ashal atau lebih, tetapi diambil ashal yang lebih banyak persamaannya dengan fara’.

F. Kehujjahan Qiyas
Menurut ulama-ulama kenamaan, bahwa kias itu merupakan hujah syar’i terhadap hokum akal. Qiyas ini menduduki tingkat keempat, hujah syar’i. sebab apabila dalam suatu peristiwa tidak terdapat hokum yang berdasarkan nash, maka peristiwa ini diqiyaskan kepada peristiwa yang bersamaan sebelum sanksi hokum itu dijatuhkan kepadanya. Disamakan dengan peristiwa-peristiwa yang diqiyaskan itu. Begini yang diatur oleh syari’at. Mukallaf memperluas pendirian, mengikut dan mengamalkan qiyas ini. Dibangsakan kepada peristiwa yang berdasarkan nash. Qiyas ini diakui oleh hkum. Ulama ushul fiqih berbeda pendapat terhadap kehujjahan qiyas dalam menetapkan hukum syara’. Jumhur ulama ushul fiqih berpendirian bahwa qiyas bisa dijadikan sebagai metoda atau sarana untuk mengistinbathkan hukum syara’.
QIYAS


Pengertian
¨  Qiyas adalah mempersamakan suatu kasus yang tidak ada nash hukumnya dengan suatu kasus yang ada nash hukumnya, dalam hukum yang ada nash hukumnya, karena persamaan keduanya dalam illat hukumnya.

Contoh Qiyas
Meminum khamar adalah kasus yang ditetapkan hukumnya oleh nash, yaitu keharaman yang ditunjuki oleh nash (Al-Maidah 90). Karena suatu illat yaitu memabukkan, maka semua miras yang terdapat illat memabukan disamakan hukumnya dengan khamar.
Pembunuhan ahli waris terhadap orang yang mewariskan. Hadis: “orang yang membunuh tidak memperoleh bagian harta pusaka”, karena illat menyegerakan sesuat sebelum waktunya, maka ia dihukum tidak dapat bagian. Pembunuhan penerima wasiat terhadap orang yang memberi wasiat dihukum sama.
Makruhnya Jual beli waktu adzan. Karena illat melalaikan salat, maka gadai, sewa dll. makruh, diqiyaskan dengan jual beli.

Ilustrasi Contoh Qiyas
¨  Asl                   : Khamr (Haram)
¨  Far’u                : Bir
¨  Hukum Asal    : Haram
¨  Illat                  : Memabukkan

Rukun-rukun Qiyas
Al-Ashlu/maqis alaih/mahmul alaih/musyabbah bih: sesuatu yngg ada nash hukumnya.
Al-far’u/maqis/al-mahmul/al-musyabbah: sesuatu yang tidak ada nash hukumnya.
Hukum asl: hukum syara’ yang ada nasnya pada al-asl, dan ia dimaksudkan untuk menjadi hukum pada al-far’u.
Al-Illat: suatu sifat yang dijadikan dasar untuk membentuk hukum pokok, dan berdasarkan adanya keberadaan sifat itu pada cabang, maka ia disamakan dengan pokoknya dari segi hukumnya.

Syarat Hukum Asl
Ia merupakan hukum yang berkenaan dengan amal manusia yang ditetapkan berdasar syara’. Jika ditetapkan berdasar ijma’ maka ada 2 pendapat, yaitu, hukum tidak bisa dijangkaukan kepada kejadian lain dan sah menjangkaukan hukumnya.
Hukum pokok termasuk sesuatu yang ada jalan bagi akal untuk menjangkau illatnya. Semua hukum ada illatnya, hanya saja ada hukum yang illatnya hanya dimonopoli Allah seperti bilangan rakaat, ukuran nisab zakat dll. Ada juga hukum yang illatnya dapat diketahui oleh manusia.
Hukum itu tidak khusus baginya. Hukum pokok tidak khusus kecuali dalam 2 kondisi, yaitu apabila hukumnya tidak tergambarkan keberadaannya pada selain pokok, misalnya qasar salat bagi musafir, dan jika ada dalil yang menunjukkan terhadap pengkhususan hukum pokok kepadanya, misalnya Nabi menikahi lebih dari 4 perempuan.

Illat
Definisi
Syarat-Syarat
Macam-macam
Jalannya

Definisi Ilat
¨  Illat ialah suatu sifat yang terdapat pada suatu pokok yang menjadi dasar dari hukumnya, dan dengan sifat itulah dapat diketahui adanya hukum itu pada cabang. Illat ialah sesuatu yang memberitahukan adanya hukum.
¨  Hikmah hukum merupakan motivator atas pembentukan hukumnya dan sasaran yang hendak dicapai: yaitu kemaslahatan (menarik manfaat/menolak bahaya).
¨  Illat hukum adalah hal yang jelas dan pasti, yang dijadikan dasar hukum, dan hukum itu dikaitkan dengannya baik keberadaannya/ketidakadaannya. Qasar salat 4 rakaat menjadi 2, hikmahnya adalah meringankan dan menghilangkan kesulitan.
¨  Masing-masing illat dan sebab merupakan pertanda hukum. Masing-masing keduanya menjadi dasar hukum. Masing-masing terdapat hikmah bagi syari’ dalam mengkaitkan hukum dengannya dan mendasarkan hukum atasnya. Tetapi bila persesuaian dalam hubungan tsb termasuk hal yang dapat ditangkap oleh akal kita, ia disebut dengan illat, dan juga disebut sebab. Sebaliknya jika persesuaian itu termasuk hal yang tidak dapat ditangkap oleh akal kita, ia disebut dengan sebab dan tidak disebut illat. Misalnya, bepergian  mengqasar salat adalah illat dan sebab, terbenamnya matahari yang mewajibkan kefarduan salat magrib adalah sebab bukan illat.

Syarat-syarat Illat
Berupa suatu sifat yang jelas. Artinya kejelasan sifat adalah bahwa sifat tsb haruslah berupa sesuatu yang dapat dijangkau oleh panca indera lahir. Misalnya mabuk dapat ditemukan keberadaannya pada khamr, dan dengan penginderaan dapat ditemukan keberadaannya pada minuman keras lainnya.
Sifat harus pasti. Artinya, ia memiliki suatu hakikat yang tertentu yang terbatas, yang memungkinkan untuk dibuktikan keberadaannya pada cabang dengan tepat karena sebenarnya asas qiyas adalah persamaan cabang dan pokok pada aspek illat hukum pokok. Misal, pembunuhan sengaja yang dilakukan ahli waris terhadap orang yang mewariskannya.
Sifat merupakan hal yang  sesuai. Maksud adalah kesesuaian sifat itu menjadi tempat dugaan untuk mewujudkan hikmah daripada hukum. Misalnya memabukkan adalah sesuai bagi pengharaman khamr, karena dalam pendasaran pengharaman atas memabukkan itu terdapat upaya memelihara akal.
Sifat yang tidak terbatas pada asl. Artinya, sifat yang memungkinkan untuk dibuktikan pada sejumlah individu dan ditemukan pada selain pokok. Misalnya Hukum-hukum tidak bisa diberikan illat dengan berbagai kekhususan Rasul.

Pembagian Illat
Munasib Muatsir (sifat yang sesuai yang memberikan pengaruh). Misalnya  haid adalah kotoran sebagai illat diharamkannya suami mendekati istri.
Munasib Mulaim (Sifat yangs sesuai dan cocok). Misalnya keadaan masih kecil bagi tetapnya kewalian ayah dalam mengawinkan anak perempuan yang masih kecil dan perawan.
Munasib Mursal (sifat yang sesuai lagi bebas). Misalnya kebijakan sahabat dalam membukukan al-Qur’an, pembuatan mata uang.
Munasib mulgha (Sifat sesuai yang sia-sia). Misalnya persamaan anak laki-laki dan perempuan dalam kekerabatan untuk mempersamakan mereka dalam bagian harta waris.

Jalur Illat
Nash: keillatan suatu sifat bagi suatu hukum ditetapkan berdasar nash. Misalnya firman Allah (al-baqarah: 222): “Mereka bertanya kepadamu tentang haid, katakanlah! Haid ini adalah kotoran, oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid….”
Ijma’: keillatan suatu sifat bagi suatu hukum ditetapkan berdasar ijma’. Misalnya illat kewalian kehartabendaan atas anak kecil adalah keadaannya yg masih kecil.
AS-Sibr wat-Taqsim
            AS-SIBR: percobaan. Wat-Taqsim: pembatasan sifat-sifat yang layak untuk menjadi illat pada pokok. Misalnya pengharaman khamr, illatnya bisa memabukkan, terbuat dari anggur, keadaannya sebagai benda cair.

Kehujjahan Qiyas
An-Nisa’ 59: “hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat mengenai sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Quran) dan Rasul (sunnahnya)”.
Hadis muadz bin jabal yang berisi pertanyaan Rasul ketika Rasul mengutus Muaz ke negeri Yaman. Hadis tentang Umar yang menanyakan ciuman orang puasa tanpa mengeluarkan mani.
Allah mensyariatkan hukum tidak lain untuk kemaslahatan.
       Nash ada habisnya sedangkan kejadian tidak ada habisnya
            dikuatkan oleh fitrah yang sehat dan logika yang benar                




Pengertian Hukum Wadh’i

         Hukum wadh’I ialah, firman Allah yang berbentuk ketentuan yang menjadikan sesuatu sebagai sebab atau syarat atau halanganb dari suatu ketetapan hukum taklifi. Oleh karena itu, pada hakikatnya, hukum wadh’I sangat erat kaitannya dengan hukum taklifi, baik dalam bentuka sebab(sabab), sehingga melahirkan akibat (musabbab) suatu huum taklifi. Atau dalam bentuk syarat (syarat), sehingga di mungkinkan berlakunya (masyruth) suatu hukum taklifi, ataupun dalam bentuk halangan (mani), sehingga suatu hukum taklifi menjadi tidak terlaksana (mamnu’). Di samping itu, termasuk pula dalam pembahasan hukum wadh’I pembahsan yangber kaitan dengan’azimah (hukum yang berlaku umum dan keadaan normal) dan rukhsah (keringanan). Ash-shihhah (sah) dan al-buthlan(batal) . Degan demikian, pembahasa tentang hukum wadh’iberkaiatan dengan tujuh hal utama yaitu, sabab, syarth, mani, azimah, rukhsah, ash-shihhah. Dan al-buthlan. Untuk jelasnya. Dibawah ini diuraikan secara lebih terperinci.[1]

a.    Sabab
         sebab (al_sabab) menurut Jumhur Ulama adalah : Sesuatu yang lahir dan jelas batas-batasnya , yang oleh Allah (al-syari, Pembuat hukum)) dijadikan sebagau tanda bagi wujudnya hukum. Berdasarkan define ini, ada dua esensi yang terkandung didalamnya.
       Pertama suatu tidak sah dijadikan sebagai sabab kecuali Allah (Syari’) sendiri yang menjadikannya saebagai sebab. Karena hukum-taklifi merupakanpembebanan dari Allah SWT, maka yang membebani adalah Allah SWT. Dan jika yang membebani adalah penmbuat hukum (Syari), maka Dialah menjadikan sebab-sebab sebagai dasar hukum-hukumnya.
     


Kedua: bahwa sebab-sebab itu bukanlah yang mempengaruhi terhadap wujudnya hukum-hukum taklifi, akan tetapi meruapakan tanda bagi lahirnya hukum-hukum itu. Dalam hal ini Asy-Syathiby mengatakan, bahwa “sebab” bukanlah  pelaku aktif denngan sendirinya, ia hanyalah menyertai terjadinya akibat (musabbab atau hukum), bukan yang menyebabkannya.[2]
       
Pembaagin sabab

1)Sabab hukum yang bukan pembuatan mukallaf
       Sabab yang merupakan membuatatan mukallaf ialah pembuatan mukallaf yang ditetapkan asy Syari sebagai pengenal/penanda adaaanya musabbab akibat dalam bentuk hukum syara.

2) Sabab hukum yang bukan merupakan pembuatan mukallaf
       Sebab hukum yang bukan pembuatan mukallaf ialah, sesuatu yang asy-Syari  menjadikannya sebagai penanda pengenal adanya hukum syara’, dalam bentuk sabab. Sedangkan ia bukan pembuatan mukallaf. Pada umumnya, sabab yang kedua ini merpaka fenomena alam yang dijadikan sebagai sabab bagi waktu-waktupelaksaan ibadah.[3]

b.   Asy-Syarth

1)     Pengertian Asy-Syarth

       Asy-Syarth (syarat) adalah sesuatu yang menjadi tempat bergantung wujudnya hukum. Tidak adanya syarat berarti tidak adanya hukum, tetapi wujudnya syarat tidak pasti wujudnya hukum. Adappun perbedaan antara syarat dengan sabab adalah :  bahwa ditemukan adanya (syarat)  itu tidak memastikan adanya hukum. Oleh karenanya, adanya wudhu’ yang merupakan syaratnya shalat menentukan/ tidak mengakibatkan wajibnya shalat. Dan adanya dua orang saksi tidak menentukan /tidak  mengakibatkan adanya akad nikah, meskipun keadaannya dua orang saksi meruapakan syarat sanya akad nikah. Akan tetapi shalat menjadi tidak sah tanpa adanya wudhu’, dan akad nikah menjadi tidak sah tanpa adanya dua orang saksi.[4]

2)    Pembagian syarth

a)     syarth asy-syar’iyyah
       Yang dimaksud dengan syarth asy-syar’iyyah ialah, syarth yang ditetapkan oleh asy syari(pembuat  hukum) dijadikan sebagai syarat untuk memenuhi sebab, atau untuk memenuhi musabbab.

b)     Syarth ja’liyyah

         Adapun yang di maksud dengan Syarth ja’liyyah ialah, syarth yang ditetapkan oleh muhallaf  sebaga hubungan kausal yang diakui oleh syara memilki efek hukum syara’, Syarth bentuk kedua ini tidak boleh bertentangan engan hukum syara’ agar efek (akibat ; musabbab)-nya dapat diakui oleh asy-Syari sebagai hukum syara’. Contohnya , seorang suaami yang mengaitkan kejtuhan talaknya dengan suatu syarat, dengan mengatakan kepada istrinya: “jika engkau mengulangi perkataan dusta itu, maka taakmu jatuh   satu”.

c. Al-Mani

1)   Pengetian al-Mani
       Al-Mani ( penghalang) ialah perkara syara’ yang keberadaannya menafikan tujuan yang dikehendaki  oleh sebab atau hukum. Oleh karena itu asy-Syathiby menganggapnya sebagai sebab yang merintangi ter hadap sebab yang meruapakan tanda ujudnya hukum, atau sebai sebab yang merintangi zat hukum. Karena asy-Asyathiby mendefinisikan mani’ sebagai : sebab yang metetapkan hukum lain karena adanya ‘illa yamg menafikan hikmahnya hukum.[5]

2)     Pembagian Al-Mani’
Sebagaimana halnya syarth, ulama ushul fiqih juga membagi mani’ dengan meninjaunya dari beberapa segi, tetapi tinjauan yang terpenting ialah penbagian mani ditinjau dari segi objeknya. Dalan hal ini, mani’ dibagi menjadi dua, yaitu :

A)    Mani’ yang menghalangi adanya hukum:
b)    Mani’ yang menghalangi adanya hubungan kausal sabab.

       Yang dimaksud dengan mani’ yang menghalangi adannya hukum ialah, ketetapan asy-Syari’ yang menegaskan bahwa sesuatu menjadi penghalang berlakunya hukum syara’ yang umum.
     
       Sebagai Contoh hukum Syara’ yang umunm menyatakan, wajib shalat bagi setiap mukallaf, baik laki-laki maupum wanita. Akan tetapi,syara’ juga menetapakan, haid dan nifas menjadi penghalang bagi wanita untuk dikenakan kewajiban meng-qadha’ shalt yang tidak dilaksanakan selama haid dan nifas.

       Adapun yang dimaksud dengan mani’ yang menghalangi hubungan kausal sabab ialah , ketetapan Asy-Syari’ yang menegaskan bahwa sesuatu menjadi penghalang bagi lahirnya musabbab/akibat hukum dari suatu sabab syara’ yang berlaku umum. Sebagai Contoh, ketentuan syara’ yang umum menyatakan, jumlah harta yang mencapai kadar nishab dan telah dimiliki selama sestahun  (haul) merupakan sabab bagi kewajiban mengeluarkan zakat. Akan tetapi ketetapan syara’ juga menyatakan bahwa keadaan berhutang merupakan menghalang bagi seseorang untuk dikenakan kewajiban zakat.[6]

d.   Al-‘Azimah dan ar-rukhshah

1)     Pengertian Al-‘Azimah dan ar-rukhshah

         Al-‘Azimah dan ar-rukhshah adalah dua ketentuan yang oleh sebagian besar ulama ushul fiqih dimasukan kepada  kelompok pembahasan hukum wadh’I Alasan mereka. Pada hakikatnya ketentuan azimah berkaitan erat dengan keadaan yang normal yang menjadi sebab diberlakukannya hukum-hukum syara’ uyang  umum bagi mukallaf. Sementara kireteria rukhshah pada umumnya berkaitan ert dengan keadaan tertentu yang menjadi sebab berlakunya keringanan bagi mukallaf dalam melaksanakan huhum.
       Dalam pada hali itu, sebagian ulama menbicarakan ‘azimah dan rukhshah dalam kelompok hukum taklfi. Alasan mereka, pembicaraan ‘azimah dan rukhshah berkaitan langsung dengan cara penerapan hukum taklifi.
Bagaimanapun juga, penulis cenderung pada alasan ulama kelompok pertama, sehingga dalam uruusan ini, pembahasan ‘Azimah dan Rukhshah ditempatkan dalam hukum wadh’i.
       Kedua definisi tersebut diatas hanya berbeda dari segi redaksinya saja, namun maksudnya sama, bahwa yang dmaksuud dengan ‘azimah dan adalah, ketentuan syariat yang ditetapkan untukberlaku secara umum, dalam keadaan normal, bukan dalam keadaan dan situasi tertentu yang bersifat khusus, bagi seluruh mukallaf, bukan untuk mukallaf tertentu yang bersifat khusus.

2)     Pembagian ar-Rukhshah

a)    Berdasarkan segi bentuk hukum yang berlaku umum
       Ditinjau dari segi bentuk hukum yang berlaku umum, rukhshah dibagi kepada dua bagian, yaitu sebagai berikut.
  (1)`Ar-rukhshah untuk melakukan perbuatan yang menuurut ketentuan syariat yang umum diharamkan, karena darurat atau hajah.
  (2)Ar-rukhshah untuk meninggalkan perbuatan yang menurut aturan syariat yang umum diwajibkan, Karena kesulitan melaksanakannya.
b)    Berdasarkan segi bentuk rukhshah (keinginan)

e.   Ash-Shihhah, aaal-Buthlan, dan Al-Fasad
       
         Yang dimaksud dengan ash-shihhah ialah, suastu perbuatan yang telah memiliki sabab, memenuhi berbagai rukun dan perssyaratan syara’, Dan terdapat mani’ padanya.
Dalam pada itu, suatu sabab yang disebut suatu sah ialah, sabab yang menimbulkan musabab atau dampak hukum. Adapun yang dimaksud dengan Albuthlan(batal) ialah, kebalikan dari pengertian sah, yaitu, suatu perbuatan yang tidak memenuhi semua kireteria yang dituntut oleh syara’. Dan syarat-syarat ja’liyyah yang rusak (fasad) akan menjadikan sebab rusaknya akad pada pembagian keadaan. Sepeti halnya akad-akad maliyah (transaksi barang) menjadi rusak disebabkan rusaknya syarat pada saat tukar-menukar. Tapi dalam keadaan syarat-syarat yang rusak (fasad ) tidak menjadikan rusaknya suatu akad.

Share on Google Plus

About Unknown

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.
    Blogger Comment
    Facebook Comment

2 komentar:

  1. kalau boleh tau biografi dari ulama yang bernama "al-human" apakah ada?
    karena saya mencari di google tidak menemukan siapa itu al human

    ReplyDelete
  2. sangat membantu buat referensi

    ReplyDelete

luvne.com ayeey.com cicicookies.com mbepp.com kumpulanrumusnya.com.com tipscantiknya.com