BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Peradilan
merupakan suatu bentuk usaha untuk mewujudkan kesejahteraan di tengah-tengah masyarakat, dan untuk mewujudkan
hal itu diperlukan peranan negara, namun untuk menciptakan dan mengerti dengan bentuk usaha negara
tersebut, tentu kita dituntut untuk tahu seperti apa peradilan menurut negara tersebut . Kita harus mengetahui mulai dari pengertian peradilan sampai pada bentuk-bentuk lembaga peradilan.
Berdasar pada teori trias
politika, konsep
pemisahan kekuasaan yang dikemukakan John Locke dikembangkan oleh Baron de Montesquieu dalam karyanya L’Espirit des Lois (The Spirit
of the Laws). Dalam uraiannya, Montesquieu membagi kekuasaan pemerintahan dalam tiga cabang, yaitu kekuasaan membuat
undang-undang (legislatif), kekuasaan untuk menyelenggarakan undang-undang yang
oleh Montesquieu diutamakan tindakan di bidang politik luar negeri (eksekutif)
dan kekuasaan mengadili terhadap pelanggaran undang-undang (yudikatif). Ketiga
kekuasaan itu harus terpisah satu sama lain, baik mengenai tugas (fungsi)
maupun mengenai alat perlengkapan (lembaga) yang menyelenggarakannya. Maka peranan peradilan
di Indonesia berada pada lembaga yudikatf.
Dengan bergulirnya era reformasi
yang mengarah pada terwujudnya konsep negara demokrasi, yaitu kedaulatan ada di
tangan rakyat, keadilan semakin menjadi tujuan yang ingin segera diwujudkan,
mengingat lembaga perwujudan rakyat tidak semuanya menciptakan keadilan bagi
masyarakat. Oleh karena itu konstitusi disepakati sebagai satu-satunya landasan
untuk mewujudkan hak dan kewajiban dalam konteks sistem ketatanegaraan
yang berlaku. Sehingga kaidah-kaidah utama konstitusi berfungsi sebagai rujukan
bersama guna menata kehidupan bernegara secara adil, demokratis dan
berkepastian hukum.
Keberadaan Peradilan Konstitusi
menjadi hal yang penting keberadaannya. Bagi Indonesia, tuntutan tersebut
diwujudkan dengan dibentuknya Mahkamah Konstitusi yang lahir berdasarkan
ketentuan pasal Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan bahwa:”Kekuasaan
kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung…dan oleh sebuah Mahkamah
Konstitusi”. Hal ini berarti Mahkamah Konstitusi terikat pada prinsip umum
penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka, bebas dari pengaruh kekuasaan
lembaga lainnya dalam menegakkan hukum
dan keadilan., di mana dalam menjalankan tugasnya berpedoman pada Undang Undang
Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Keberadaan dari Mahkamah Konstitusi merupakan
wujud nyata untuk mengoreksi kinerja antar lembaga Negara guna menghindari tindakan
yang sewenang-wewang maupun penyalahgunaan wewenang yang dapat merugikan
masyarakat.
1.2 Rumusan Masalah
1.
Definisi peradilan?
2.
Sejarah perkembangan peradilan di Indonesia?
3.
Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga peradilan?
4.
Hukum Acara Mahkamah Konstitusi?
1.3 Tujuan
1.
Dapat mengetahui pengertian peradilan
2.
Dapat mengetahui sejarah peradilan di Indonesia
3.
Dapat mengetahui dan memahami Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga tertinggi
peradilan di Indonesia
4.
Dapat mengetahui bagaimana tata cara Hukum Acara dalam Mahkamah Konstitusi
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Definisi Peradilan
Peradilan tata
negara terdiri dari dua kata, yakni peradilan dan tata negara. Secara etimologi kata peradilan berasal dari
kata adil, yang dalam KBBI peradilan berarti, segala sesuatu mengenai perkara pengadilan. Lebih jelasnya Sudikno
Mertokusumo menjelaskan bahwa: pengadilan di sini bukanlah diartikan
semata-mata sebagai badan untuk mengadili, melainkan sebagai pengertian yang
absrak, yaitu “hal memberikan keadilan”. hal memberikan keadilan berarti yang bertalian dengan tugas badan pengadilan
atau hakim dalam memberikan keadilan, yaitu memberikan kepada yang bersangkutan, kongritnya kepada yang mohon keadilan apa
yang menjadi hak atau apa hukumnya. Sedangkan tata negara berarti seperangkat
prinsip dasar yang mencakupi peraturan susunan pemerintah, bentuk negara,
sebagai yang menjadi dasar pengaturan suatu negara. Jadi, peradilan tata negara
adalah segala hal yang dapat memberikan keadilan yang dijalankan oleh
pemerintah.
Sedangkan Prof. DR.
Jimly Ashshiddiqie SH mengatakan: Bidang kajian hukum tata negara memiliki lahan
praktik yang sangat luas, tergantung dari mana sudut pandang yang digunakan. Jika
hukum tata negara dilihat secara luas mencakup bidang
hukum administrasi negara,
maka sebenarnya lahan praktik peradilan
tata negara
itu mencakup
peradilan tata negara di Mahkamah
Konstitusi dan peradilan tata usaha negara di Mahkamah Agung serta badan-badan peradilan
tata usaha negara
yang ada di
bawahnya. Namun, apabila peradilan
tata negara
itu kita
persempit maknanya dengan tidak mencakup peradilan tata usaha
negara yang dilembagakan secara
tersendiri di dalam lingkungan
Mahkamah Agung,
maka peradilan tata negara dimaksud dapat kita kaitkan dengan fungsi Mahkamah
Konstitusi dan fungsi tertentu
dari Mahkamah
Agung. Oleh
sebab itu, peradilan tata negara itu sendiri dapat kita bedakan
dalam tiga
pengertian, yaitu:
1.
peradilan
tata negara dalam arti yang paling luas di mana mencakup peradilan tata
Negara (constitutional
adjudication) yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi dan peradilan tata usaha
negara (administrative adjudication)
yang dilakukan oleh Mahkamah Agung serta badan – badan peradilan tata usaha
negara;
2.
peradilan
tata negara dalam arti yang lebih sempit tetapi masih tetap luas adalah peradilan tata
negara (constitutional adjudication)
yang dilakukan oleh
Mahkamah Konstitusi
ditambah peradilan pengujian peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang
yang dilakukan oleh Mahkamah
Agung menurut Pasal 24A ayat (1) UUD 1945. Pengujian peraturan
perundang-undangan itu juga
termasuk lingkup peradilan tata negara
dalam arti
luas;
3.
peradilan
tata negara dalam arti yang paling sempit, yaitu peradilan yang dilakukan di dan oleh Mahkamah Konstitusi menurut
ketentuan Pasal 24C ayat (1) dan Pasal 7B khususnya ayat
(4) UUD 1945.
Dalam
rangka peradilan
tata negara dalam pengertian
yang kedua, maka proses pengujian peraturan
perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang dapat
dikategorikan sebagai bentuk
peradilan tata negara juga. Demikian
pula dalam
pengertian yang pertama, peradilan tata usaha negara juga termasuk ke
dalam pengertian peradilan tata negara.
Dengan demikian,
peradilan tata negara itu tidak
hanya berkaitan
dengan Mahkamah
Konstitusi. Hanya
saja, dalam pengertiannya yang lebih khusus dan
spesifik, lahan praktik yang
khas terkait
dengan bidang kajian hukum tata negara
(constitutional law) dalam arti yang sempit adalah peradilan yang dilakukan di dan
oleh Mahkamah Konstitusi
sebagai lembaga pengadilan konstitusi. Dalam UUD 1945 dan UU No. 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi, kewenangan mengadili
yang dikaitkan
dengan mahkamah
ini ada 5 (lima), yaitu:
1.
perkara pengujian konstitusionalitas
undang-undang,
2.
perkara sengketa kewenangan konstitusional lembaga
negara,
3.
perkara perselisihan atas hasil pemilihan umum,
4.
perkara pembubaran partai
politik, dan;
5.
perkara dakwaan pemberhentian atau
pemakzulan Presiden dan/atau
Wakil Presiden.
2.2 Sejarah
Perkembangan Peradilan Di
Indonesia
Indonesia telah melalui banyak perkembangan dalam sistem
peradilan tata negara, di mulai dari zaman Hindia Belanda sampai sekarang ini
yang akan dipaparkan sebagai berikut:
1.
Masa
Penjajahan Hindia-Belanda.
Sebagaimana
kita ketahui, pada waktu
pemerintahan Hindia Belanda masih menguasai
Indonesia, penduduk di
Indonesia dibagi ke dalam beberapa golongan. Yang mendasarinya adalah Pasal 131 dan 163 Indische Staatsregeling
disingkat IS. Berdasarkan IS tersebut
ditetapkan bahwa bagi golongan Eropa dan mereka yang
disamakan berlaku hukum
negeri Belanda
yang juga dapat disebut hukum Barat,
sedangkan bagi golongan Bumi Putera dan mereka
yang disamakan
berlaku hukum adatnya masing- masing.
Terhadap golongan Bumi putera
ini dapat
juga berlaku hukum Barat jika ada kepentingan umum dan
kepentingan sosial
yang dibutuhkan. Bagi
golongan Cina dan Timur
asing lainnya sejak tahun 1925 telah ditetapkan bahwa bagi mereka berlaku hukum Barat dengan
beberapa pengecualian. Karena adanya perbedaan
perlakuan hukum
tersebut, konsekuensinya
adalah adanya
perbedaan pula dalam badan-badan peradilan
berikut hukum acaranya.
Peradilan untuk Golongan Eropa
dan mereka
yang disamakan
kedudukannya dengan golongan tersebut
adalah Raad van Justitie
dan Residentie-gerecht sebagai peradilan
sehari-hari. Untuk
golongan Bumi putera
dan mereka
yang disamakan kedudukannya dengan
golongan tersebut adalah
Landraad sebagai peradilan sehari-hari dan beberapa peradilan lainnya seperti peradilan kabupaten,
peradilan distrik
dan sebagainya.
Hukum acara yang dipergunakan
adalah yang termuat dalam Herziene
Inlandscb Reglement
disingkat HIR, sedangkan untuk daerah-daerah di luar
Pulau Jawa dan Madura
diatur menjadi satu dengan Rechtsgelement
Buitengewesen atau Rbg. Tata peradilan pada
waktu Zaman Hindia
Belanda diatur sebagai berikut:
a. Untuk Pulau Jawa dan
Madura berlaku
Peraturan Organisasi Peradilan dan Kebijaksanaan Kehakiman di Hindia
Belanda (
Regelement op de Rechterlijke Organisatie
en bet Beleid der Justitie
disingkat R.O).
b. Untuk luar pulau Jawa
dan Madura
berlaku Peraturan Peradilan dengan
seberang laut (
Rechtsreglemen, Buitengewesten/ Rbg
).
Sedangkan dasar hukum berlakunya arbitrase pada zaman kolonial Belanda ini adalah Pasal 377 HIR
atau Pasal 705 RBg yang
berbunyi: Jika
orang Indonesia dan
orang Timur
asing menghendaki perselisihan mereka
diputuskan oleh juru pisah,
maka mereka
wajib menuruti peraturan
pengadilan perkara
yang berlaku bagi
bangsa Eropa. Jadi
pasal ini jelas memberi kemungkinan
bagi pihak-pihak yang bersengketa untuk
menyelesaikan di luar pengadilan.
Namun demikian HIR maupun RBg tidak membuat
aturan tentang arbitrase.
Untuk mengisi
kekosongan tersebut, pasal 377 HIR
atau Pasal 705 RBg langsung
menunjuk aturan pasal-pasal yang terdapat dalam
Reglement Hukum
Acara Perdata
( Reglement op de Bergerlijke Rechtsvordering disingkat Rv, S.
1847-52 jo 1849-63). Dengan mengacu kepada adanya politik hukum yang
membedakan tiga kelompok penduduk tersebut di atas,
bagi golongan
Bumi putera,
hukum material yang berlaku
pada dasarnya
diterapkan hukum adat. Pengadilannya
tunduk pada pengadilan Landraad sebagai
peradilan tingkat pertama. Hukum
acara yang dipergunakan adalah HIR untuk daerah Pulau Jawa
dan Madura dan RBg untuk daerah di luar pulau
Jawa dan Madura
(tanah seberang). Bagi
Golongan Timur Asing
dan Eropa,
Hukum Perdata material
yang berlaku adalah
Burgerlijk Wetboek-BW
(Kitab Undang-undang
Hukum Perdata) dan Wetboek
van Kophandel-Wvk
(Kitab Undang-undang
Hukum Dagang). Hukum acaranya adalah Reglement Acara Perdata (Rv). Pada zaman Hindia
Belanda, arbitrase dipakai oleh para pedagang baik
sebagai eksportir
maupun importir dan pengusaha lainnya. Pada waktu itu
ada tiga badan arbitrase
tetap yang dibentuk oleh Pemerintah Belanda ,
yaitu: (1) Badan arbitrase bagi badan ekspor hasil bumi Indonesia; (2) Badan arbitrase
tentang kebakaran; (3) Badan arbitrase bagi asuransi kecelakaan.
2.
Zaman
Penjajahan Jepang
Pada waktu Jepang masuk menggantikan kedudukan
penjajahan Belanda, Peradilan Raad van Justitie dan Residentie-gerecht dihapuskan. Jepang membentuk satu macam
peradilan yang
berlaku bagi semua orang yang diberi nama Tiboo Hooin . Badan peradilan ini merupakan peradilan
kelanjutan dari
Landraad. Hukum acaranya tetap mengacu
pada HIR dan RBg. Dengan
demikian pada
waktu penjajahan
Jepang penyelesaian kasus arbitrase
juga mengacu pada Buku
III Rv. Yang
berjudul Rechtspleging
van onderscheiden
aard (peradilan bentuk lainnya), Titel I di
bawah judul van de uitspraken
van scheidsmannen (keputusan - keputusan yang
dijatuhkan juru pemisah) dan
diatur dalam Pasal 615 sampai
dengan 651. Mengenai berlakunya
arbitrase ini, pemerintah
Jepang pernah mengeluarkan Peraturan
Pemerintah Bala tentara
Jepang yang
menentukan bahwa:
semua badan-badan Pemerintahan dan kekuasaan hukum dan Undang-undang dari Pemerintah dahulu, Pemerintahan
Hindia Belanda tetap diakui sah untuk sementara asal tidak bertentangan dengan
aturan Pemerintah Militer
Jepang.
3.
Zaman
Indonesia Merdeka
Untuk mencegah terjadinya kevakuman hukum, pada
waktu Indonesia
merdeka, diberlakukanlah Pasal 11 Aturan
Peralihan Undang-Undang Dasar 1945 tertanggal 18 Agustus 1945 yang menyatakan: "Segala Badan
Negara dan peraturan
yang ada langsung berlaku, selama
belum diadakan yang baru menurut Undang- undang Dasar
ini". Pada
tanggal 10 Oktober 1945 Presiden
juga telah mengeluarkan Peraturan Nomor 2 yang
dalam pasal 1 menyatakan
"segala badan‑badan Negara dan peraturan-peraturan
yang ada sampai
berdirinya Negara Republik Indonesia pada tanggal
17Agustus 1945 selagi belum diadakan yang baru menurut UUD masih
berlaku, asal saja tidak
bertentangan dengan Undang- Undang
Dasar tersebut". Maka
demikianlah pada waktu itu,
untuk penyelesaian sengketa
melalui arbitrase
tetap berlaku ketentuan HIR, RBg
dan RVJ Mengenai badan peradilannya di
beberapa bagian Republik
Indonesia yang dikuasai Belanda sebagai pengganti
peradilan zaman
Jepang, diadakan
landrechter untuk semua orang sebagai peradilan
sehari-hari dan
Appelraad sebagai peradilan dalam perkara
perdata tingkat kedua. Selanjutnya
pada waktu terjadinya Republik Indonesia Serikat, landrechter
ini menjadi Pengadilan
Ncgeri, sedangkan Appelraad menjadi
Pengadilan Tinggi,
sesuai dengan ketentuan yang berlaku
di daerah-daerah
yang tidak pernah
dikuasai oleh Pemerintah Belanda. Ketika berlakunya
Undang-undang Darurat Nomor 1 tahun 1951 tanggal 14 Januari 1951, maka pada dasarnya di seluruh
Indonesia hanya ada tiga
macam badan peradilan
yaitu Pengadilan
Negeri sebagai peradilan tingkat
pertama, Pengadilan Tinggi sebagai peradilan tingkat
kedua atau banding,
dan Mahkamah Agung sebagai peradilan tingkat
kasasi.
Namun diluar itu ternyata masih
dikenal peradilan
adat dan
swapraja. Pada
zaman Repuhlik Indonesia Serikat,
menurut konstitusi
yang berlaku saat
itu (konstitusi RIS), dalam pasal 192 konstitusi RIS tersebut dinyataka bahwa: Peraturan-peraturan,
undang-undang dan
ketentuan-ketentuan
tata usaha yang sudah
ada pada saat konstitusi ini mulai berlaku (menurut pasal 197 Konstitusi RIS pada saat pemulihan
kedaulatan, yaitu
pada tanggal
27 Desember 1949) tetap
berlaku dengan tidak berubah sebagai
peraturan peraturan
dan ketentuan-ketentuan
RIS sendiri, selama ada
sekedar peraturan peraturan
dan ketentuan-ketentitan
itu tidak di cabut, ditambah
atau diubah oleh undang-undang
dan ketentuan-ketentuan tata usaha atas kuasa konstitusi
ini. Pelanjutan
peraturan-peraturan undang-undang
dan ketentuan-ketentuan tata
usaha yang sudah ada
sebagai diterangkan dalam ayat 1
hanya berlaku, sekedar peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan ini
tidak bertentangan
dengan ketentuan
Piagam Pemulihan
Kedaulatan Status UNI, Persetujuan
peralihan ataupun persetujuan-persetujuan
yang lain yang berhubungan
dengan pemulihan kedaulatan
dan peraturan-peraturan dan
ketentuan-ketentuan konstitusi ini tidak memerlukan peraturan-peraturan undang-undang atau
tindakan menjalankan.
"Selanjutnya jika kita lihat ketentuan
dalam Undang-Undang Dasar Sementara
1950, pasal 142 menyatakan
bahwa: "Peraturan
undang-undang dan ketentuan-ketentuan
tata usaha yang sudah ada pada tangal
17 Agustus 1950 tetap berlaku dengan tidak
berubah sebagai
peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan Republik
Indonesia sendiri, selama dan sekedar
peraturan- peraturan dan ketentuan-ketentuan
ini tidak
dicabut, ditambah atau
diubah oleh undang-undang
dan ketentuan-ketentuan tata
usaha atas kuasa Undang-undang Dasar
ini. Dari
penjelasan diatas dapat disimpulkan
bahwa semua peraturan- peraturan
yang sudah
ada sejak zaman penjajahan
Hindia Belanda dulu selama belum
diubah, ditambah
atau diganti masih
tetap berlaku. Jadi ketentuan tentang
arbitrase yang diatur
dalam Rv juga
tetap berlaku. Keadaan
ini terus berlanjut sampai dikeluarkannya Undang-undang Nomor 30
Tahun 1999 tentang
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
2.3
Mahkamah Konstitusi Sebagai Lembaga Peradilan
Sebagaimana telah
disebutkan dalam Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 bahwa:”Kekuasaan kehakiman
dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung…dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”,
dengan demikian jelas bahwa sekarang Indonesia sudah memiliki lembaga peradilan
konstitusi dalam rangka untuk mencegah tindakan yang sewenang-wenang ataupun penyalahgunaan
wewenang dari aparat pemerintah yang berujung pada pencapaian keadilan bagi
masyarakat melalui pemenuhan hak-hak konstitusi masyarakat. Istilah konstitusi
berasal dari “constituer” (bahasa Perancis) yang berarti membentuk. Kini yang
dibentuk ialah suatu negara, maka konstitusi mengandung permulaan dari segala
peraturan mengenai suatu negara. Maka dapat dimengerti, bahwa bahasa Belanda
mempergunakan perkataan “Grondwet” yang berarti suatu undang-undang yang menjadi dasar (grond) dari
segala hokum dan bahwa Indonesia mempergunakan perkataan Undang Undang Dasar
seperti “Grondwet” tadi. Sedangkan istilah Undang Undang Dasar merupakan
terjemahan istilah yang dalam bahasa
Belandanya “Grondwet”. Perkataan “wet” diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia
undang-undang, dan “grond” berarti tanah/dasar. Beberapa ahli hukum ada yang
membedakan dan ada pula yang menyamakan arti konstitusi dan Undang Undang
Dasar, yaitu:
1. Herman Heller membagi pengertian konstitusi menjadi
tiga, yaitu:
a. Die Politische verfassung als gesellschaftlich
wirklichkeit.
Konstitusi adalah
mencerminkan kehidupan politik di dalam masyarakat sebagai suatu kenyataan.
Jadi mengandung pengertian politis dan sosiologis.
b. Die Verselbstandigte rechtsverfassung.
Konstitusi
merupakan suatu kesatuan kaidah yang hidup dalam masyarakat. Jadi mengandung
pengertian yuridis.
c. Die geshereiben verfassung.
Konstitusi yang
ditulis dalam suatu naskah sebagai undang- undang yang tertinggi yang berlaku
dalam suatu negara.
Dari pendapat
Herman Heller tersebut dapatlah disimpulkan bahwa jika pengertian undang-
undang itu harus dihubungkan dengan pengertian konstitusi, maka artinya Undang
Undang Dasar itu baru merupakan sebagaian dari pengertian konstitusi yaitu
konstitusi yang tertulis saja. Disamping itu konstitusi itu tidak hanya
bersifat yuridis, tetapi mengandung pengertian logis dan politis.
2. F Lassalle dalam bukunya “Uber Verfassungswesen”
membagi konstitusi dalam dua pengertian, yaitu:
a. Pengertian sosiologis atau politis (sosiologische atau
politische begrip).
Konstitusi adalah
sintetis factor-faktor kekuatan yang nyata (dereele machtsfactoren) dalam
masyarakat. Jadi konstitusi menggambarkan hubungan antara kekuasaan-kekuasaan
yang terdapat dengan nyata dalam suatu Negara. Kekuasaan tersebut
diantaranya:raja, parlemen, cabinet, pressure group, partai politik dan
lain-lain; itulah yang sesungguhnya konstitusi.
b. Pengertian yuridis, (yuridische begrip). Konstitusi
adalah suatu naskah yang memuat semua bangunan Negara dan sendi-sendi
pemerintahan.
Dari pengertian
sosiologis dan politis, ternyata Lassalle menganut faham bahwa konstitusi
sesungguhnya mengandung pengertian yang lebih luas dari sekedar Undang Undang
Dasar. Namun dalam pengertian yuridis, Lassalle terpengaruh pula oleh faham
kodifikasi yang menyamakan konstitusi dengan Undang Undang Dasar.
Secara sederhana,
menurut Soetandyo Wignyosoebroto kostitusi dapat didefinisikan sebagai sejumlah
ketentuan hukum yang disusun sicara sistematis untuk menata dan mengatur pada
pokok-pokoknya struktur dan fungsi lembaga-lembaga pemerintahan, termasuk dalam
ihwal kewenangan dan batas kewenangan lembaga-lembaga itu. Dalam arti yang
lebih sempit, konstitusi bahkan “cuma” diartikan sebagai dokumen yang memuat
ketentuan-ketentuan hukum tersebut di muka ini.Dalam praktik ketatanegaraan dan
polemik-polemik hukum tata Negara, perhatian orang acapkali hanya tertuju
secara terbatas pada ihwal konstitusi saja baik dalam makna substantifnya
sebagai ketentuan-ketentuan hukum maupun dalam makna formilnya sebagai
rumusan-rumusan perundang-undangan, sebagaimana termuat dan terbaca ( sebagai
pasal-pasal ) dalam dokumen Undang Undang Dasar, dan kurang mengajukan lebih
dalam lagi. Sebenarnya konstitusi itu hanyalah raga atau wadah saja, dan
bukanlah jiwa atau semangatnya. Dari beberapa pendapat para ahli dapat ditarik
kesimpulan bahwa pengertian konstitusi meliputi konstitusi tertulis dan tidak
tertulis. Undang Undang Dasar merupakan konstitusi yang tertulis. Adapu
batasan-batasannya dapat dirumuskan ke dalam pengertian sebagai berikut:
1.
Suatu kumpulan kaidah yang mmberikan pembatasan-pembatasan kekuasaan kepada
para penguasa.
2.
Suatu dokumen tentang pembagian tugas dan sekaligus petugasnya dari suatu
system politik.
3.
Suatu deskripsi dari lembaga-lembaga Negara.
4.
Suatu deskripsi yang menyangkut masalah hak-hak asasi manusia.
Konstitusi sebagai
landasar bertindak dari pemerintah pembuatannya memang harus didasarkan pada
latar belakang masyarakat sebuah negara dan dikaitkan dengan tujuan jangkaa
panjang yang hendak dicapai negra tersebut. Dengan demikian landasan
filosofisnya harus jelas dan sesuai keinginan pemerintah atas dasar kehendak
rakyat, karena merupakan cerminan keinginan yang akan dicapai yang nantinya
akan harus diikuti tahapan-tahapan usaha untuk pencapaiannya.
Pembahasan tentang
konstitusi, tidak akan mungkin melupakan isi yang harus termuat dalam
konstitusi tersebut.
Menurut Miriam Budihardjo, setiap Undang Undang Dasar
mengandung ketentuan-ketentuan mengenai:
1. Organisasi negara, misalnya pembagian kekuasaan antara
badan legislative, eksekutif, dan yudikatif; pembagian kekuasaan antara
pmerintah federal dan pemerintah negara bagian; prosedur menyelesaikan masalah
pelanggaran yurisdiksi oleh salah satu badan pemerintah dan sebagainya.
2. Hak-hak asasi manusia.
3. Prgosedur mengubah Undang Undang Dasar.
4. Ada kalanya memuat larangan untuk mengubah sifat
tertentu dari Undang Undang Dasar.
Pembentukan
Mahkamah Konstitusi yang mendasarkan pada Pasal 42 ayat (2) UUD 1945
dimaksudkan tidak lain sebagai perwujudan dari sebuah negara hukum, yang
berfungsi sebagai pengawas konstitusional agar terwujuh perlindungan bagi
hak-hak asasi manusia.
Prinsipnya, setiap
warga negara berhak atas perlindunngan dari pemerintah di dalam segenap
aktifitas dalam memenuhi hak hidupnya. Untuk itu , maka setiap tindakan yang
dilakukan oleh pemerintah harus sesuai dengan isi yang terkandung dalam aturan
yang berlaku dan tersedia lembaga peradilan konstitusi. Dasar berpijak bagi
hakim-hakim di Mahkamah Konstitusi adalah undang-undang Nomor 24 tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi. Berdasarkan Pasal 24C ayat (1), (2) UUD 1945 hasil
amandemen ketiga, yang ditegaskan lagi dalam Pasal 10 ayat (1), (2) Undang
Undang Mahkamah Konstitusi, mahkamah Konstitusi mempunyai kewenangan mengadili
pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk:
1. Menguji
undang-undang terhadap Undang Undang Dasar
2. Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang
kewenangannya diberikan oleh Undang Undang Dasar
3. Memutus pembubaran partai politik
4. Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
5. Memberi putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan
pelanggaran oleh Presiden dan / atau Wakil Presiden menurut Undang Undang Dasar. Secara
konseptual gagasan pembentukan Mahkamah Konstitusi adalah untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
2.4
Hukum Acara Mahkamah Konstitusi
Dalam proses
peradilan di Mahkamah Konstitusi, hukum acara yang berlaku adalah hukum acara
Mahkamah Konstitusi yang bersifat umum dan khusus. Hukum acara yang bersifat
umum berlaku untuk semua kewenangan Mahkamah Konstitusi, sedangkan hukum acara
yang bersifat khusus hanya berlaku khusus untuk masing-masing kewenangan
Mahkamah Konstitusi, sebagaimana diatur dalam Pasal 28 – 85 Undang Undang
mahkamah Konstitusi.
1. Hukum Acara Umum.
Hukum acara umum
Mahkamah Konstitusi yang dimuat dalam Pasal 28 – 49 Undang Undang Mahkamah
Konstitusi mencakup pengaturan sebagai berikut:
a.
Susunan hakim dan sifat persidangan.
Dalam keadaan biasa, Mahkamah Konstitusi
memeriksa, mengadili, dan memutus dalam Sidang Pleno dengan ( seorang hakim,
namun dalam keadaan luar biasa dapat dilakukan oleh 7 orang hakim.
b. Pengajuan Permohonan.
Semua perkara yang
diajukan ke Mahkamah Konstitusi dilakukan secara tertulis, dalam bahasa
Indonesia, dengan uraian perkara yang dimohonkan secara jelas dan memuat
identitas pemohon.
c. Pendaftaran Permohonan dan penjadualan sidang.
Panitera Mahkamah
Konstitusi memeriksa kelengkapan permohonan, bagi yang belum lengkap wajib
melengkapi dalam jangka waktu paling lambat 7 hari kerja sejak pemberitahuan.
Permohonan dapat ditarik kembali oleh pemohon, sebelum atau selama masih dalam
pemeriksaan mahkamah Konstitusi yang berakibat permohonan tidak dapat diajukan
kembali oleh Pemohon.
d. Alat Bukti.
Alat bukti yang
dapat diajukan oleh para pihak adalah:
1) Surat atau tulisan
2) Keterangan saksi
3) Keterangan ahli
4) Keterangan para pihak
5) Petunjuk
6) Alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan,
dikirimkan, diterima atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau
serupa itu.
e. Pemeriksaan Pendahuluan.
Sebelum pemeriksaan
pokok perkara, mahkamah Konstitusi mengadakan siding Pemeriksaan Pendahuluan
untuk memeriksa kelengkapan dan kejelasan materi permohonan.
f. Pemeriksaan Persidangan.
Persidangan
Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum. Pemohon dan/atau Termohon dapat didampingi
atau diwakili oleh kuasanya berdasar surat kuasa khusus, apabila didampingi
bukan oleh kuasanya, harus ada surat keterangan khusus yang diserahkan kepada
hakim Konstitusi dalam persidangan.
g. Putusan.
1) Prosedur
pembuatan putusan adalah sebagai berikut:
-
Mahkamah Konstitusi memutus
berdasarkan UUD 1945, sesuai alat bukti dan keyakinan hakim.
-
Putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan minimal didasarkan 2 alat
bukti.
-
Putusan mahkamah Konstitusi wajib memuat fakta yang terungkap dalam
persidangan dan pertimbangan hukum yang menjadi dasar putusan.
-
Putusan diambil dalam Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) secara musyawarah
untuk mufakat.
-
Dalam RPH setiap hakim wajib menyampaikan pendapat hukum (legal opinion).
-
Dalam hal musyawarah RPH tidak mencapai mufakat, diadakan RPH berikutnya.
-
Dalam hal RPH setelah berusaha sungguh-sungguh tetap tidak dapat dicapai
mufakat bulat, putusan diambil dengan suara terbanyak.
-
Apabila pengambilan putusan dengan suara terbanyak tidak tercapai, suara
terakhir ketua sidang RPH menentukan.
-
Putusan Mahkamah Konstitusi dapat dijatuhkan pada hari itu jua atau hari
lain yang harus diberitahukan kepada para pihak.
-
Dalam hal putusan tidak tercapai dengan mufakat bulat, pendapat hakim yang
berbeda dimuat dalam putusan (dissenting opinion)
2) Putusan Mahkamah Konstitusi ditandatangani oleh hakim
yang memeriksa, mengadili, dan memutus, dan panitera.
3) Putusan mahkamah Konstitusi memperoleh kekuatan hokum
tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum.
4) Mahkamah Konstitusi member putusan “Demi Keadilan
Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
5) Struktur putusan Mahkamah Konstitusi harus memuat:
-
Kepala putusan berbunyi: “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA
ESA”.
-
Identitas para pihak.
-
Ringkasan permohonan.
-
Pertimbangan terhadap fakta yang terungkap dalam persidangan.
-
Pertimbangan hokum yang menjadi dasar putusan.
-
Amar putusan.
-
Hari, tanggal putusan, nama hakim konstitusi dan panitera.
6) Mahkamah Konstitusi wajib mengirimkan salinan putusan
kepada para pihak dalam tenggang 7 hari kerja sejak putusan diucapkan.
2. Hukum Acara Khusus
Hukum acara umum
pada dasarnya berlaku untuk semua perkara konstitusi sesuai dengan kewenangan
mahkamah Konstitusi, namun di samping itu Mahkamah Konstitusi juga mempunyai
hukum acara khusus untuk masing-masing kewenangan Mahkamah Kostitusi tersebut,
maka sesuai Pasal 86 Undang Undang Mahkmah Konstitusi, diterbitkanlah PMK
tentang prosedur acara untuk setiap kewenangan Mahkamah Konstitusi. Pengaturan terkait hukum acara khusus
Mahkamah Konstitusi adalah:
Prosedur Pengujian
Konstitusionalitas Undang Undang Prosedur Pengujian Konstitusionalitas Undang
Undang mencakup hal-hal sebagai berikut:
1) Undang-undang yang dapat dimohonkan pengujian /
wewenang Mahkamah Konstitusi.
2) Kedudukan hukum (legal standing) pemohon.
3) Jenis pengujian undang-undang, yaitu:
-
Pengujian formal (formele toetsings) Yaitu pengujian mengenai apakah
pembentukan sebuah undang-undang tidak memenuhi ketentuan UUD 1945.
-
Pengujian materiil (materiele toetsings) Yaitu pengujian apakah materi
muatan dalam pasal, ayat, dan/atau bagian dari undang-undang bertentangan
denagn UUD 1945.
4) Proses pengujian, yang dijelaskan sebagai berikut:
-
Permohonan yang telah diregistrasi disampaikan kepada DPR dan Presiden
dalam jangka waktu paling lambat 7 hari kerja setelah diregistrasi dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi.
-
Mahkamah Konstitusi memberitahu Mahkamah Agung tentang adanya undang-
undang yang dimohonkan pengujian dalam jangka waktu paling lambat 7 hari
setelah permohonan diregistrasi.
-
Selain DPR dan Presiden, MPR juga dapat didengar keterangannya terutama
terkait dengan risalah rapat mengenai maksud perubahan pasal dalam UUD.
-
Keterangan pihak terkait dapat di dengar, dan pihak terkait dapat
mengajukan saksi.
-
Pemohon, DPR, Pemerintah dan pihak terkait juga diberi kesempatan mengajukan kesimpulan akhir.
5) Putusan
-
Permohonan tidak dapat diterima
-
Permohonan dikabulkan, dan Mahkamah Konstitusi menyatakan dengan tegas
materi muatan pasal,ayat, dan/atau bagian dari undang-undang yang dimohonkan
pengujian bertentangan dengan UUD 1945, serta menyatakan tidak mempunyai
kekuatan hukum.
-
Permohonan dikabulkan dan menyatakan bahwa undang-undang dimaksud tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat.
-
Permohonan ditolak
-
Mengabulkan permohonan.
-
Putusan disampaikan kepada DPR, DPD, Presiden, Mahkamah Agung.
6) Tidak mengenal putusan sela.
-
Berlaku asas nebis in idem.
-
Prosedur untuk Sengketa Kewenangan Konstitusional Lembaga Negara
-
Prosedur Pembubaran Partai politik
-
Prosedur untuk Perselisihan Hasil Pemilu.
-
Prosedur Impeachment.
0 komentar:
Post a Comment