PERUMUSAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN
CIAMIS
PENELITIAN
Di
Ajukan Sebagai Salah Satu Tugas Kelompok Pada Mata Kuliah Ilmu
Perundang-Undangan
Dosen
: Drs H Uu Nurul Huda
Di
susun oleh :
Abdul
Rojak (1123030002)
Husna
Fathurrahman (1123030032)
Ihsan Taufik (1123030033)
PROGRAM STUDI SIYASAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI
SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG
2014
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pada
dasarnya pembentukan suatu PERDA di suatu Negara ataupun wilayah didasarkan
oleh suatu keinginan yang mendesak bagi pemerintah ataupun masyarakat itu
sendiri membutuhkannya, PERDA lahir seolah olah untuk menjadi jembatan kesukseskan
bangsa atau daerah tertentu, suatu PERDA akan sukses dan berhasil tergantung
dari aparatur pemerintahan dan masyarakat di dalamnya itu sendiri dalam
menyokong PERDA tersebut, baik aparatur pemerintahan maupun masyarakat harus
menjadi aktor dalam peraturan daerah ini dengan cara mensosialisasikan PERDA
tersebut kepada masyarakat yang memang kurang mengetahui, mengerti ataupun
apatis terhadap PERDA ini. Dalam mensosialisasika suatu PERDA tersebut, itu
bisa dilakukan dengan berbagai cara, supaya masyarakat mengerti dan tahu
tentang PERDA yang akan dijalankan, meskipun sebagian masyarakat ada yang pro
dan kontra terhadap kebijakan-kebijakan tersebut. Tentunya dalam menjalankan
PERDA ini di anjurkan bagi semua masyarakat atupun aparat memiliki rasa
kesadaran bahwasannya PERDA ini sangat memberi peran penting terhadap
wilayahnya yang dari kesadaran itu membuat masyarakat mengembangkan dan
mentaati aturan yang ada di dalamnya. Oleh karena itu kami di sini ingin
mengenal lebih jauh bagaimana mekanisme peraturan daerah khususnya yang ada di
wilayah kab.Ciamis.
Ini adalah merupakan dasar dari pembentukan
suatu hukum dari PERDA dan sumber hukum dari UUD 1945 yang merupakan dari
cerminan perilaku manusia, yang bersifat mengikat dan memaksa atau aturan bagi
manusia, supaya manusia bertingkah laku sesuai dengan norma, dan perilaku
manusia berprilaku selayaknya sebagai
manusia yang berada diwilayah kabutan ciamis tersebut.
Dalam
mengenai kebijakan ataupun sebuah peraturan yang harus disosialisaikan terhadap
masyarakat ini begitu penting, kareana apresiasi masyarakat untuk memajukan
sebuah kota atau kabupaten itu tidak terlepas dari rakyat.
Piksi
Hukum ( Bahwa setiap orang dianggap tau tentang hukum ) Kota atau Kabupaten
akan sukses jika piksi hukum ini tidak digembor-gemborkan secara aktual, karena
masyarakat akan merespon dengan benar tentang piksi hukum ini. Jadi
peraturan-peraturan daerah ini harus dan penting disosialisakian. Semua ini
akan besikap Distorsi Aparatur ataupun masyarakat jika peraturan dari PEMDA
tidak dijalankan bersama-sama. Peraturan memang menjadi penghabat bagi
segelintir orang tapi peraturan PERDA ini harus dijalankan dengan sepenuhnya
demi terbentuknya sebuah kabupaten atau kota yang ideal, maju, sukses dan
terbangun kalau kepastian peraturan ini berjalan dengan benar dan terarahkan.
Dengan
adanya pembentukan peraturan daerah ini supaya masyarakat mau mengikuti
peraturan-peraturan yang ditawarkan karena ini menyakut kesejahtraan bersama.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pembentukan produk hukum Daerah
Kabupaten Ciamis ?
2. Meliputi apa saja ruang lingkup
penyelenggaraan pemerintahan Daerah di kabupaten Ciamis ?
3. Asas apa yang di pakai dalam penyusunan
Produk Hukum dalam penyelenggaraan Pemerintahan Daerah ?
C. Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui bagaimana pembentukan
produk hukum Daerah Kabupaten Ciamis
2. Untuk mengetahui meliputi apa saja
ruang lingkup penyelenggaraan pemerintahan Daerah di kabupaten Ciamis
3. Untuk mengetahi asas apa yang di pakai
dalam penyusunan Produk Hukum dalam penyelenggaraan Pemerintahan Daerah di
kabupaten Ciamis
D. Kerangka Pemikiran
Peraturan daerah sebagaimana yang telah
di atur dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 18, 18a, 18b, UUD 1945 yang berbunyi
:
·
Pasal
18 UUD 1945 berisi :
(1) Negara Kesatuan Republik Indonesia
dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas
kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai
pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang.
(2) Pemerintahan daerah provinsi,
daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan
menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.
(3) Pemerintahan daerah provinsi,
daerah kabupaten, dan kota memiliki Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang anggota-anggotanya
dipilih melalui pemilihan umum.
(4) Gubernur, Bupati, dan Walikota
masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabu-paten, dan kota
dipilih secara demokratis.
(5) Pemerintahan daerah menjalankan
otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang
ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat.
(6) Pemerintahan daerah berhak
menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan
otonomi dan tugas pem-bantuan.
(7) Susunan dan tata cara penyelenggaraan
pemerintahan daerah diatur dalam undang-undang.
·
Pasal
18A UUD 1945 berisi :
(1) Hubungan wewenang antara pemerintah
pusat dan pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota, atau antara
provinsi dan kabupaten dan kota, diatur dengan undang-undang dengan
memperhati-kan kekhususan dan keragaman daerah.
(2) Hubungan keuangan, pelayanan umum,
pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara pemerintah pusat
dan pemerintahan daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras
berdasarkan undang-undang.
·
Pasal
18B UUD 1945 berisi :
(1) Negara mengakui dan menghormati
satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa
yang diatur dengan undang-undang.
(2) Negara mengakui dan menghormati
kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya
sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip
Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.
Selanjutnya peraturan daerah itu
sendiri di atur dalam pasal 7 ayat (1)
UU No 12 tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan.
Pasal 7 ayat (1) menyebutkan bahwa ”Jenis dan hierarki Peraturan
Perundang-undangan”
terdiri atas:
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
b. Ketetapan Majelis Permusyawarat an
Rakyat;
c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang;
d. Peraturan Pemerintah ;
e. Peraturan Presiden;
f. Peraturan Daerah Provinsi; dan
g. Peraturan Daerah Kabupaten/ Kota
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah, Peraturan Daerah mencakup Peraturan Daerah
Provinsi dan/atau Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Pedoman tentang materi
muatan Peraturan Daerah dan Peraturan Perundang-undangan tingkat daerah lainnya
(Peraturan Gubernur, Peraturan Bupati/Walikota),
juga diatur dalam Undang-Undang Nomor
32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan dalam Peraturan Pelaksanaannya.
Mengenai materi Peraturan Daerah perlu
memperhatikan asas materi muatan yang meliputi:
a. Pengayoman :
“bahwa setiap Materi Peraturan
Perundang-undangan harus berfungsi memberikan perlindungan dalam rangka
menciptakan ketentraman masyarakat.”
b. Kemanusiaan :
“bahwa setiap Materi Peraturan
Perundang-undangan harus mencerminkan
perlindungan dan penghormatan hak-hak
asasi manusia serta harkat dan martabat setiap warga Negara dan penduduk
Indonesia secara proporsional.”
c. Kebangsaan :
“bahwa setiap Materi Peraturan
Perundang-undangan harus mencerminkan sifat dan watak bangsa Indonesia yang
pluralistik (kebhinnekaan) dengan tetap menjaga prinsip Negara Kesatuan
Republik Indonesia.”
d. Kekeluargaan :
“bahwa setiap Materi Peraturan
Perundang-undangan harus mencerminkan
musyawarah untuk mencapai mufakat dalam
setiap pengambilan keputusan.”
e. Kenusantaraan :
“bahwa setiap Materi Peraturan
Perundang-undangan senantiasa memperhatikan kepentingan seluruh wilayah
Indonesia dan materi muatan Peraturan Perundang-undangan yang dibuat di daerah
merupakan bagian dari sistem hukum nasional yang berdasarkan Pancasila.”
f. Bhinneka Tunggal Ika :
“bahwa setiap Materi Peraturan Perundang-undangan
harus memperhatikan keragaman penduduk, agama, suku, dan golongan, kondisi
khusus daerah, dan budaya khususnya yang menyangkut masalah-masalah sensitif
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.”
g. Keadilan :
“bahwa setiap Materi Peraturan
Perundang-undangan harus mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap
warga Negara tanpa kecuali.”
h. Kesamaan kedudukan dalam hukum dan
pemerintahan :
“bahwa setiap Materi Peraturan
Perundang-undangan tidak boleh berisi hal-hal yang bersifat membedakan
berdasarkan latar belakang, antara lain: agama, suku, ras,
golongan, gender, atau status sosial.”
i. Ketertiban dan kepastian hukum:
“bahwa setiap Materi Peraturan
Perundang-undangan harus menimbulkan
ketertiban dalam masyarakat melalui
jaminan adanya kepastian hukum.”
j. Keseimbangan, keserasian, dan
keselarasan:
“ bahwa setiap materi peraturan
perundang-undangan harus mencerminkan
keseimbangan, keserasian, dan
keselarasan, antara kepentingan individu dan mayarakat dengan kepentingan
bangsa dan Negara.”
Selanjutnya materi Peraturan Daerah dilarang bertentangan dengan kepentingan
umum dan atau/ Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi. Hal tersebut sesuai
dengan ketentuan dalam Pasal 136 ayat (4) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah, yang menyatakan bahwa “Perda sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilarang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau Peraturan
Perundang-undangan yang lebih tinggi”.
E. Metode Penelitian
Spesifikasi yang digunakan adalah
deskriptif analisis yang berarti bahwa penelitian ini berusaha memberikan
gambaran secara menyeluruh, mendalam tentang suatu keadaan atau gejala yang
diteliti.[1]
Spesifikasi penelitian deskriptif analisis merupakan suatu penelitian yang
menggambarkan secara tepat sifat-sifat suatu individu, keadaan, gejala atau
kelompok tertentu, atau menentukan penyebaran suatu gejala atau untuk
menentukan ada atau tidaknya hubungan antara suatu gejala dengan gejala lain
dalam masyarakat. Kemudian dianalisa dengan peraturan-peraturan yang berlaku.[2]
Metode deskriptif menurut Endang Danial
adalah, “Metode yang bertujuan untuk menggambarkan secara sistematik suatu
situasi, kondisi, objek, bidang kajian pada suatu waktu secara akurat”.[3]
Fakta-fakta yang tampak tersebut
digambarkan sebagimana keadaan sebenarnya dan selanjutnya data maupun fakta
tersebut diolah dan ditafsirkan. Oleh karena itu penelitian ini dimasukkan
kedalam penelitian yuridis normatif yang dilakukan secara kualitatif melalui
kesimpulan yang ditarik oleh peneliti dari hasil penelitian yang dilakukan
dengan metode analisis normatif kualitatif. Secara normatif karena.Peraturan
perundang-undangan yang berlaku dan terkait sebagai hukum positif yang ada
merupakan sumber dalam penelitian ini. Sedangkan secara kualitatif karena
informasi-informasi yang didapat melalui wawancara yang disampaikan oleh
responden dan data-data yang berhubungan langsung dengan permasalahan.
BAB II
TEORI-TEORI
A. Teori Hierarki peraturan
perundang-undangan di Indonesia
Peraturan
perundang-undangan, dalam konteks negara Indonesia, adalah peraturan tertulis
yang dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang mengikat secara
umum. Hierarki maksudnya peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak
boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Jenis
dan hierarki Peraturan Perundang-undangan diatur dalam Pasal 7 Ayat (1)
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan.
Adapun jenis dan hierarki peraturan
perundang-undangan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembetukan
Peraturan Perundang-undangan ditegaskan dalam Pasal 7 Ayat (1) Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yang
menegaskan bahwa, jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas
:
Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
Ketetapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat;
Undang-Undang/Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang;
Peraturan Pemerintah;
Peraturan Presiden;
Peraturan Daerah Provinsi; dan
Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
a.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Definisi Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1994 sebagaimana diatur dalam Pasal 3 Ayat (1)
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan meyebutkan :
”Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 merupakan hukum dasar dalam Peraturan Perundang-undangan.”
Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) merupakan
hukum dasar tertulis Negara Republik Indonesia dalam Peraturan
Perundang-undangan, memuat dasar dan garis besar hukum dalam penyelenggaraan
negara. UUD 1945 ditempatkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. UUD1945
mulai berlaku sejak 18 agustus 1945 sampai 27 desember 1949. Setelah itu
terjadi perubahan dasar negara yang mengakibatkan UUD 1945 tidak berlaku, namun
melalui dekrit presiden tanggal 5 juli tahun 1959, akhirnya UUD 1945 berlaku
kembali sampai dengan sekarang.
b.
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
TAP MPR merupakan putusan Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai pengemban kedaulatan rakyat yang
ditetapkan dalam sidang-sidang MPR atau bentuk putusan Majelis Permusyawaratan
Rakyat yang berisi hal-hal yang bersifat penetapan (beschikking). Dimasukkannya
kembali TAP MPR dalam tata urutan perundang-undangan berdasarkan apa yang
tertuang dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan, hanya merupakan bentuk penegasan saja bahwa produk hukum
yang dibuat berdasarkan TAP MPR, masih diakui dan berlaku secara sah dalam
sistem perundang-undangan Indonesia.
c.
Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Definisi ”Undang-Undang” sebagaimana
diatur dalam Pasal 1 angka 3 UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan:
”Undang-Undang adalah Peraturan
Perundangundangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan persetujuan
bersama Presiden. ”
Undang-Undang dibuat oleh Dewan Perwakilan
Rakyat dengan persetujuan bersama Presiden. Perlu diketahui bahwa undang-undang
merupakan produk bersama dari presiden dan DPR (produk legislatif), dalam
pembentukan undang-undang ini bisa saja presiden yang mengajukan RUU yang akan
sah menjadi Undang-undang jika DPR menyetujuinya, dan begitu pula sebaliknya.
Undang-Undang memiliki kedudukan
sebagai aturan main bagi rakyat untuk konsolidasi posisi politik dan hukum,
untuk mengatur kehidupan bersama dalam rangka mewujudkan tujuan dalam bentuk
negara
d.
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu)
Definisi ”Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang” diatur dalam Pasal 1 angka 4 UU Nomor 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan:
”Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang adalah Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden
dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa.”
Peraturan Perundang-undangan yang
ditetapkan oleh Presiden dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa (negara dalam
keadaan darurat), dengan ketentuan sebagai berikut:
1)
Perpu dibuat oleh presiden saja, tanpa adanya keterlibatan DPR.
2)
Perpu harus diajukan ke DPR dalam persidangan yang berikut.
3)
DPR dapat menerima atau menolak Perpu dengan tidak mengadakan perubahan.
4)
Jika ditolak DPR, Perpu tersebut harus dicabut.
e.
Peraturan Pemerintah (PP)
Definisi ”Peraturan Pemerintah” diatur
dalam Pasal 1 angka 5 UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan:
“Peraturan Pemerintah adalah Peraturan
Perundang undangan yang ditetapkan oleh Presiden untuk menjalankan
Undang-Undang sebagaimana mestinya.”
Peraturan Pemerintah adalah Peraturan
Perundang-undangan di Indonesia yang ditetapkan oleh Presiden untuk menjalankan
Undang-Undang sebagaimana mestinya. Materi muatan Peraturan Pemerintah adalah
materi untuk menjalankan Undang-Undang. Di dalam UU No.12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dinyatakan bahwa Peraturan Pemerintah
sebagai aturan organik daripada Undang-Undang menurut hirarkinya tidak boleh
tumpangtindih atau bertolak belakang.
”Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang adalah Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden
dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa.” Peraturan Perundang-undangan yang
ditetapkan oleh Presiden dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa (negara dalam
keadaan darurat), dengan ketentuan sebagai berikut:
5)
Perpu dibuat oleh presiden saja, tanpa adanya keterlibatan DPR.
6)
Perpu harus diajukan ke DPR dalam persidangan yang berikut.
7)
DPR dapat menerima atau menolak Perpu dengan tidak mengadakan perubahan.
8)
Jika ditolak DPR, Perpu tersebut harus dicabut.
f.
Peraturan Presiden (Perpres)
Peraturan Presiden merupakan Peraturan
Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden untuk menjalankan
Undang-Undang sebagaimana mestinya. Peraturan Presiden adalah Peraturan
Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden untuk menjalankan perintah
Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dalam menyelenggarakan
kekuasaan pemerintahan.
g.
Peraturan Daerah Provinsi
Peraturan Daerah Provinsi atau Perda
Provinsi merupakan Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi dengan persetujuan bersama Gubernur.
Peraturan daerah dan keputusan kepala daerah Negara Indonesia adalah Negara
yang menganut asas desentralisasi yang berarti wilayah Indonesia dibagi dalam
beberapa daerah otonom dan wilayah administrasi. Daerah otonom ini dibagi
menjadi daerah tingkat I dan daerah tingkat II. Dalam pelaksanaannya kepala
daerah dengan persetujuan DPRD dapat menetapkan peraturan daerah. Peraturan
daerah ini tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundangan diatasnya.
h.
Peraturan Daerah Kabupaten/Kota
Peraturan Perundang-undangan yang
dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten atau Kota dengan
persetujuan bersama Bupati atau Walikota.[4]
B. Teori Negara Hukum
Teori Negara Hukum Rechtstaat
Pasal
1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945 menyebutkan,
bahwa “Negara Indonesia negara hukum”. Negara hukum dimaksud adalah negara yang
menegakan supermasi hukum untuk menegakan kebenaran dan keadilan dan tidak ada
kekuasaan yang tidak dipertanggungjawabkan.[5]
Berdasarkan uraian di atas yang
dimaksud dengan Negara Hukum ialah negara yang berediri di atas hukum yang
menjamin keadilan kepada warga negaranya. Keadilan merupakan syarat bagi
terciptanya kebahagiaan hidup untuk warga negaranya, dan sebagai dasar dari
pada keadilan itu perlu diajarkan rasa susila kepada setiap manusia agar ia
menjadi warga negara yang baik. Demikian pula peraturan hukum yang sebenarnya
hanya ada jika peraturan hukum itu mencerminkan keadilan bagi pergaulan hidup
antar warga negaranya.[6]
Menurut Aristoteles yang memerintah
dalam negara bukanlah manusia sebenarnya, melainkan fikiran yang adil,
sedangkan penguasa sebenarnya hanya pemegang hukum dan keseimbangan saja.
Kesusilaan yang akan menentukan baik tidaknya suatu peraturan undang-undang dan
membuat undang-undang adalah sebagian dari kecakapan menjalankan pemerintahan
negara. Oleh karena itu Menurut, bahwa yang pentinng adalah mendidik manusia
menjadi warga negara yang baik, karena dari sikapnya yang adil akan terjamin
kebahagiaan hidup warga negaranya.[7]
Secara umum, dalam setiap negara yang
menganut paham negara hukum, selalu berlakunya tiga prinsip dasar, yakni
supermasi hukum (supremacy of law), kesetaraan di hadapan hukum (equality
before the law), dan penegakan hukum dengan cara tidak bertentangan dengan
hukum (due process of law).
Prinsip penting dalam negara hukum
adalah perlindungan yang sama (equal protection) atau persamaan dalam hukum
(equality before the law). Perbedaan perlakuan hukum hanya boleh jika ada
alasan yang khusus, misalnya, anak-anak yang di bawah umur 17 tahun mempunyai
hak yang berbeda dengan anak-anak yang di atas 17 tahun. Perbedaan ini ada
alasan yang rasional. Tetapi perbedaan perlakuan tidak dibolehkan jika tanpa
alasan yang logis, misalnya karena
perbedaan warna kulit, gender agama dan kepercayaan, sekte tertentu dalam
agama, atau perbedaan status seperti antara tuan tanah dan petani miskin.
Meskipun demikian, perbedaan perlakuan tanpa alasan yang logis seperti ini
sampai saat ini masih banyak terjadi di berbagai negara, termasuk di negara
yang hukumnya sudah maju sekalipun.[8]
Menurut Dicey, Bahwa berlakunya
Konsep kesetaraan dihadapan hukum
(equality before the law), di mana semua orang harus tunduk kepada hukum, dan
tidak seorang pun berada di atas hukum (above the law).[9]
Istilah due process of law mempunyai
konotasi bahwa segala sesuatu harus dilakukan secara adil. Konsep due process
of law sebenarnya terdapat dalam konsep hak-hak fundamental (fundamental
rights) dan konsep kemerdekaan/kebebasaan yang tertib (ordered liberty).[10]
BAB III
PEMBAHASAN
LEMBARAN DAERAH Kabupaten Ciamis
TAHUN
: 2013 NOMOR : 29
PERATURAN
DAERAH KABUPATEN CIAMIS
NOMOR 29
TAHUN 2013
TENTANG
PEMBENTUKAN
PRODUK HUKUM DAERAH
DENGAN
RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
BUPATI
CIAMIS,
Menimbang : a. bahwa
produk hukum merupakan landasan dalam penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
sesuai dengan tugas dan wewenang setiap unsur penyelenggara Pemerintahan
Daerah, sehingga pembentukannya harus selaras dengan kebutuhan penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah;
b.
bahwa
untuk mewujudkan pembentukan produk hukum dalam penyelenggaraan Pemerintahan
Daerah yang baik dan berkualitas, perlu
diatur ketentuan mengenai
tata cara pembentukan produk hukum daerah dimulai dari perencanaan,
persiapan, perumusan, pembahasan, pengesahan, pengundangan, dan penyebarluasan;
c.
bahwa
berdasarkan Pasal 17 ayat (1) huruf g Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Peraturan Daerah merupakan hierarki
perundang-undangan;
d.
bahwa
guna kepentingan sebagaimana dimaksud pada huruf a dan b, berdasarkan
pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf c, perlu menetapkan Peraturan
Daerah tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah;
Mengingat : 1. Pasal 18 ayat
(6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2.
Undang-Undang Nomor 14
Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah-daerah Kabupaten dalam Lingkungan
Provinsi Jawa Barat (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 1950) sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1968 tentang Pembentukan
Kabupaten Purwakarta dan Kabupaten Subang dengan mengubah Undang-Undang Nomor
14 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah-Daerah Kabupaten Dalam Lingkungan
Provinsi Jawa Barat (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1968 Nomor 31,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2851);
3.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah
diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844);
4.
Undang-Undang
Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 123, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5043);
5.
Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5234);
6.
Peraturan Pemerintah Nomor
79 Tahun 2005 tentang Pedoman Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 165,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4593);
7.
Peraturan
Pemerintah Nomor 16 Tahun 2010 tentang Pedoman Penyusunan Peraturan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah tentang Tata Tertib Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 22, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5104);
8.
Peraturan Pemerintah
Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah,
Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4737);
9.
Peraturan Pemerintah
Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2007 Nomor 89, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4741);
10.
Peraturan Presiden Nomor
61 Tahun 2005 tentang Program Legislasi Nasional;
11.
Peraturan Presiden Nomor 1
Tahun 2007 tentang Pengesahan, Pengundangan dan Penyebarluasan Peraturan
Perundang-undangan;
12.
Peraturan Menteri Dalam
Negeri Nomor 28 Tahun 2008 tentang tentang Tata Cara Evaluasi Rancangan
Peraturan Daerah tentang Rencana
Tata Ruang Daerah;
13.
Peraturan Menteri Hukum
dan HAM Nomor M.HH-01.PP.01.01 Tahun 2008 tentang Pedoman Penyusunan Naskah
Akademik Rancangan Peraturan Perundang-undangan;
14.
Peraturan Menteri Dalam
Negeri Nomor 53 Tahun 2011 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah (Berita
Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 694);
15.
Peraturan Daerah Kabupaten
Ciamis Nomor 13 Tahun 2008 tentang Urusan Pemerintahan yang Menjadi Kewenangan
Pemerintah Kabupaten Ciamis (Lembaran Daerah Kabupaten Ciamis Tahun 2008 Nomor
13);
16.
Peraturan Daerah Kabupaten
Ciamis Nomor 17 Tahun 2008 tentang Organisasi Perangkat Daerah Kabupaten Ciamis
(Lembaran Daerah Kabupaten Ciamis Tahun 2008 Nomor 17) sebagaimana telah diubah
beberapa kali terakhir dengan Peraturan Daerah Kabupaten Ciamis Nomor 14 Tahun
2013 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Daerah Kabupaten Ciamis Nomor 17
Tahun 2008 tentang Organisasi Perangkat Daerah Kabupaten Ciamis (Lembaran
Daerah Kabupaten Ciamis Tahun 2013 Nomor 14).
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH
KABUPATEN CIAMIS
dan
BUPATI CIAMIS
MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
PERATURAN DAERAH TENTANG PEMBENTUKAN
PRODUK HUKUM DAERAH.
BAB I
KATENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam
Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan :
1.
Daerah
adalah Kabupaten Ciamis.
2.
Pemerintahan
Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh Pemerintah Daerah dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah menurut azas otonomi dan tugas pembantuan dengan
prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan
Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
3.
Pemerintah
Daerah adalah Bupati dan Perangkat Daerah sebagai unsur penyelenggara
Pemerintahan Daerah.
4.
Bupati
adalah Bupati Ciamis.
5.
Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disebut DPRD adalah lembaga
perwakilan rakyat daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah
Kabupaten Ciamis.
6.
Badan
Legislasi Daerah yang selanjutnya disebut Balegda adalah alat kelengkapan DPRD
Kabupaten Ciamis yang bersifat tetap, menjalankan tugas dan fungsi legislasi
DPRD.
7.
Sekretaris
Daerah adalah Sekretaris Daerah Kabupaten Ciamis.
8.
Sekretaris
DPRD adalah Sekretaris DPRD Kabupaten Ciamis.
9.
Satuan
Organisasi Perangkat Daerah yang selanjutnya disingkat SOPD adalah unsur
pembantu Bupati dalam penyelenggaraan Pemerintahan Daerah.
10.
Bagian
Hukum adalah Bagian Hukum Sekretariat Daerah Kabupaten Ciamis.
11.
Tim
Anggaran Pemerintah Daerah yang selanjutnya disebut TAPD adalah Tim Anggaran
Pemerintah Daerah Kabupaten Ciamis.
12.
Pembentukan
Produk Hukum dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah adalah proses pembuatan
perundang-undangan di Daerah dalam rangka penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
yang dimulai dari perencanaan, persiapan, teknik penyusunan, perumusan, pembahasan,
pengesahan, pengundangan dan penyebarluasan.
13.
Program
Legislasi Daerah yang selanjutnya disebut Prolegda adalah instrumen perencanaan
program pembentukan Peraturan Daerah yang disusun secara terencana, terarah,
terpadu, dan sistematis.
14.
Produk
Hukum dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah adalah produk hukum yang
diterbitkan oleh Bupati atau DPRD dalam rangka pengaturan penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah.
15.
Naskah
Akademik adalah naskah hasil penelitian atau pengkajian hukum dan hasil penelitian
lainnya terhadap suatu masalah tertentu yang dapat dipertanggungjawabkan secara
ilmiah mengenai pengaturan masalah tersebut dalam suatu Rancangan Peraturan
Daerah sebagai solusi terhadap permasalahan dan kebutuhan hukum masyarakat.
16.
Kebijakan
Umum APBD yang selanjutnya disingkat KUA adalah dokumen yang memuat kebijakan
bidang pendapatan, belanja, dan pembiayaan serta asumsi yang mendasarinya untuk
periode 1 (satu) tahun.
17.
Prioritas
dan Plafon Anggaran Sementara yang selanjutnya disingkat PPAS adalah rancangan
program prioritas dan patokan batas maksimal anggaran yang diberikan kepada
SKPD untuk setiap program sebagai acuan dalam penyusunan RKA-SKPD sebelum
disepakati dengan DPRD.
18.
Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah yang selanjutnya disebut APBD adalah rencana
keuangan tahunan Pemerintahan Daerah yang dibahas dan disetujui bersama oleh
Pemerintah Daerah dan DPRD, dan ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
19.
Tim
Legislasi adalah Tim yang dibentuk dan ditetapkan dengan Keputusan Bupati untuk
melaksanakan pembahasan Rancangan Peraturan Daerah inisiatif DPRD, yang
dikoordinasikan oleh Bagian Hukum.
BAB II
RUANG LINGKUP
Pasal 2
Ruang
lingkup produk hukum dalam penyelenggaraan Pemerintahan Daerah meliputi :
a.
Peraturan
Daerah;
b.
Peraturan
Bupati;
c.
Peraturan
Bersama Bupati; dan
d.
Keputusan
Bupati.
BAB III
MAKSUD DAN TUJUAN
Pasal 3
(1)
Pedoman
pembentukan produk hukum dalam penyelenggaraan Pemerintahan Daerah dimaksudkan
agar pembentukan produk hukum dalam penyelenggaraan Pemerintahan Daerah dapat
dilaksanakan dengan baik dan berkualitas.
(2)
Tujuan penyusunan
pedoman pembentukan produk
hukum dalam penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah adalah sebagai pedoman pembentukan produk hukum dalam
penyelenggaraan Pemerintahan Daerah secara terencana, terpadu dan sistematis.
BAB IV
ASAS
Pasal 4
Dalam
setiap penyusunan Produk Hukum dalam penyelenggaraan Pemerintahan Daerah harus
berdasarkan pada asas :
a.
kejelasan
tujuan;
b.
kelembagaan
atau pejabat pembentuk yang tepat;
c.
kesesuaian
antara jenis, hierarki dan materi muatan;
d.
dapat
dilaksanakan;
e.
kedayagunaan
dan kehasilgunaan;
f.
kejelasan
rumusan; dan
g.
keterbukaan.
Pasal 5
Materi
muatan produk hukum dalam penyelenggaraan Pemerintahan Daerah harus mengandung
asas:
a.
pengayoman;
b.
kemanusiaan;
c.
kebangsaan;
d.
kekeluargaan;
e.
kenusantaraan;
f.
bhinneka
tunggal ika;
g.
keadilan;
h.
kesamaan
kedudukan dalam hukum dan pemerintahan;
i.
ketertiban
dan kapastian hukum; dan/atau
j.
keseimbangan,
keserasian, dan keselarasan.
BAB V
JENIS, SIFAT DAN MATERI MUATAN PRODUK
HUKUM
Bagian Kesatu
Jenis Produk Hukum Daerah
Pasal 6
Produk hukum
daerah bersifat:
a.
pengaturan; dan
b.
penetapan.
Pasal 7
(1)
Produk hukum daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal
6 huruf a berbentuk:
a.
Peraturan
Daerah;
b.
Peraturan
Bupati; dan
c.
Peraturan
Bersama Bupati.
(2)
Produk hukum daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf b berupa Keputusan Bupati.
Pasal 8
(1)
Peraturan
Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf a bersifat pengaturan
yang disetujui bersama antara Bupati dan DPRD, ditetapkan dan ditandatangani
oleh Bupati.
(2)
Peraturan
Bupati sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf b bersifat pengaturan,
ditetapkan dan ditandatangani oleh Bupati.
(3)
Peraturan
Bersama Bupati sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf c bersifat
pengaturan, ditetapkan dan ditandatangani oleh Bupati dan Bupati/Walikota
lainnya.
(4)
Keputusan
Bupati sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) bersifat penetapan
ditandatangani oleh Bupati dan/atau pejabat lain berdasarkan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Bagian Kedua
Materi Muatan Produk Hukum
Pasal 9
(1)
Materi muatan Peraturan Daerah meliputi seluruh materi
muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan,
menampung kondisi khusus daerah, serta penjabaran lebih lanjut atas peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi dan/atau yang setingkat.
(2)
Materi
muatan Peraturan Bupati meliputi seluruh materi muatan dalam rangka
penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan serta pelaksanaan tugas
dekonsentrasi atau yang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang
lebih tinggi.
(3)
Materi
muatan Peraturan Bersama Bupati meliputi seluruh materi muatan dalam rangka
penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan serta pelaksanaan tugas
dekonsentrasi secara bersama-sama dengan daerah lainnya atau yang diperintahkan
oleh peraturan perundang- undangan yang lebih tinggi.
(4)
Materi
muatan Keputusan Bupati meliputi seluruh materi muatan yang berbentuk keputusan
untuk melaksanakan kebijakan Bupati dalam rangka penyelenggaraan otonomi
daerah, dan tugas pembantuan serta tugas dekonsentrasi atau yang diperintahkan
oleh peraturan perundang- undangan yang lebih tinggi atau setingkat dan
bersifat penetapan.
BAB VI
TATA CARA PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM
Bagian Kesatu
Pembentukan Peraturan Daerah
Paragraf 1
Perencanaan Pembentukan Peraturan
Daerah
Pasal 10
(1)
Perencanaan
penyusunan Peraturan Daerah ditetapkan dalam Prolegda.
(2)
Prolegda
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat program pembentukan Peraturan Daerah
dengan judul Rancangan Peraturan Daerah, materi yang diatur, dan keterkaitannya
dengan peraturan perundang-undangan lainnya.
(3)
Penyusunan Daftar
Rancangan Peraturan Daerah
dalam Prolegda didasarkan atas :
a.
perintah
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi;
b.
rencana
pembangunan daerah;
c.
penyelenggaraan
otonomi daerah dan tugas pembantuan; dan
d.
aspirasi
masyarakat daerah.
Pasal 11
(1)
Penyusunan
Prolegda dilaksanakan oleh DPRD dan Pemerintah Daerah.
(2)
Prolegda
ditetapkan untuk jangka waktu 1 (satu) tahun berdasarkan skala prioritas
pembentukan Rancangan Peraturan Daerah.
(3)
Penyusunan dan
penetapan Prolegda dilakukan
setiap tahun sebelum penetapan Rancangan Peraturan Daerah
tentang Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah.
Pasal 12
Prolegda
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 pada ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan
DPRD dalam Rapat Paripurna DPRD.
Pasal
13
(1)
Prolegda usulan
Bupati disusun dan dipersiapkan oleh Bagian Hukum.
(2)
Dalam menyusun
Prolegda, Bagian Hukum menerima
usulan rencana Prolegda dari SKPD pengusul.
(3)
SKPD pengusul
menyampaikan rencana Prolegda
disertai Rancangan Peraturan
Daerah, dengan alasan yang memuat :
a.
urgensi dan tujuan penyusunan;
b.
sasaran yang ingin diwujudkan;
c.
pokok pikiran,
lingkup, atau obyek yang akan diatur; dan
d.
jangkauan serta arah pengaturan.
Pasal 14
(1)
Prolegda
usulan DPRD disusun dan dipersiapkan oleh Balegda.
(2)
Dalam
menyusun rencana Prolegda, Balegda menerima usulan rencana Prolegda dari
anggota DPRD, Fraksi dan/atau alat kelengkapan DPRD.
(3)
Usulan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan secara tertulis dengan
menyebutkan judul Rancangan Peraturan Daerah disertai dengan alasan yang
memuat:
a.
urgensi
dan tujuan penyusunan;
b.
sasaran
yang ingin diwujudkan;
c.
pokok
pikiran, lingkup, atau obyek yang akan diatur; dan
d.
jangkauan
serta arah pengaturan.
Pasal 15
(1)
Prolegda usulan Bupati dan DPRD dikoordinasikan dan
disinkronisasikan dalam rapat kerja antara Balegda dengan Bagian Hukum serta
SOPD terkait.
(2)
Koordinasi
dan Sinkronisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), menghasilkan Rancangan
Prolegda.
(3)
Hasil
koordinasi dan sinkronisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dibawa menjadi
agenda Bamus untuk menjadi bahan pertimbangan dalam Keputusan Pimpinan DPRD.
(4)
Rancangan
Prolegda sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ditetapkan dengan Keputusan DPRD
dalam Rapat Paripurna.
(5)
Keputusan
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disampaikan oleh Pimpinan DPRD kepada
Bupati.
Pasal 16
(1)
Penyusunan
daftar Prolegda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 dilakukan oleh Balegda.
(2)
Dalam
menyusun Prolegda, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Balegda dapat mengundang
Pimpinan alat kelengkapan DPRD dan perwakilan dari masyarakat.
(3)
Rancangan
Prolegda disampaikan oleh Balegda pada Rapat Paripurna untuk mendapat
kesepakatan menjadi Prolegda DPRD.
Pasal 17
(1)
Dalam Prolegda di lingkungan Pemerintah Daerah dan DPRD dapat dimuat Daftar
Kumulatif Terbuka yang terdiri atas:
a.
akibat Putusan Mahkamah Agung;
b.
APBD;
c.
pembatalan atau klarifikasi dari Menteri Dalam Negeri; dan
d.
perintah dari
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi setelah Prolegda ditetapkan.
(2)
Selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Prolegda Kabupaten dapat memuat Daftar Kumulatif
Terbuka mengenai:
a.
pembentukan, pemekaran dan penggabungan kecamatan atau
nama lainnya; dan/atau
b.
pembentukan, pemekaran dan penggabungan desa atau nama
lainnya.
Pasal 18
(1)
Dalam
keadaan tertentu DPRD atau Bupati dapat mengajukan Rancangan Peraturan Daerah
di luar Prolegda.
(2)
Rancangan
Peraturan Daerah yang diajukan di luar Prolegda sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) disertai dengan konsepsi pengaturan Rancangan Peraturan Daerah yang
meliputi:
a.
untuk
mengatasi keadaan luar biasa, keadaan konflik, atau bencana alam;
b.
akibat
kerja sama dengan pihak lain; dan/atau
c.
keadaan
tertentu lainnya.
(3)
Rancangan
Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c, untuk memastikan
adanya urgensi atas Rancangan Peraturan Daerah tersebut harus dapat disetujui
bersama oleh Balegda, SOPD teknis dan Bagian Hukum sebagai koordinator
legislasi Daerah.
(4)
Persetujuan
atas Rancangan Peraturan Daerah yang diajukan di luar Prolegda sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), dikoordinasikan dalam Rapat Kerja Balegda bersama SOPD
melalui koordinasi Bagian Hukum.
(5)
Persetujuan
bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dibawa menjadi bahan musyawarah
untuk menjadi bahan pertimbangan dalam Keputusan Pimpinan DPRD.
Paragraf 2
Penyusunan Naskah Akademik
Pasal 19
(1)
Setiap
pengajuan Rancangan Peraturan Daerah disertai dengan penjelasan atau keterangan
dan/atau naskah akademik.
(2)
Naskah
Akademik adalah hasil penelitian atau pengkajian hukum dan hasil penelitian
lainnya terhadap suatu masalah tertentu yang dapat dipertanggungjawabkan secara
ilmiah mengenai pengaturan masalah tersebut dalam suatu Rancangan Peraturan
Daerah sebagai solusi terhadap permasalahan dan kebutuhan hukum masyarakat.
(3)
Penyusunan
naskah akademik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat melibatkan Tenaga Ahli
atau Konsultan yang mempunyai kapasitas di bidangnya.
(4)
Pembiayaan
penyusunan naskah akademik/materi teknis dibebankan kepada Anggaran Pendapatan
dan Belanja Daerah sesuai dengan bobot teknis, kelayakan dan kepatutan.
(5)
Naskah
akademik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilampiri dengan konsep awal
Rancangan Peraturan Daerah.
(6)
Sistematika
konsep awal Rancangan Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (5)
merujuk pada ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 20
Terhadap
Rancangan Peraturan Daerah tertentu yang telah dilengkapi kajian teknis tidak
perlu disertai dengan Naskah Akademik sesuai peraturan perundang-undangan.
Pasal 21
(1)
Rancangan
Peraturan Daerah yang disertai naskah akademik sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 19
ayat (1) telah melalui pengkajian dan
penyelarasan, yang terdiri atas:
a.
latar belakang dan
tujuan penyusunan;
b.
sasaran yang akan
diwujudkan;
c.
pokok pikiran,
ruang lingkup, atau objek yang akan diatur; dan
d.
jangkauan dan arah
pengaturan.
(2)
Naskah
akademik sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
dengan sistematika
sebagai berikut:
a.
judul
b.
kata pengantar
c.
daftar isi terdiri
dari:
1.
BAB I : Pendahuluan
2.
BAB II : Kajian teoritis dan praktik
empiris
3.
BAB III : Evaluasi dan analis peraturan
perundang- undangan terkait
4.
BAB IV : Landasan filosofis, sosiologis
dan yuridis
5.
BAB V : Jangkauan, arah pengaturan dan
ruang lingkup materi muatan Peraturan Daerah
6.
BAB VI : Penutup
d.
daftar pustaka
e.
lampiran Rancangan Peraturan Daerah, jika diperlukan.
Paragraf 3
Persiapan Pembentukan Peraturan Daerah
Pasal 22
(1)
Rancangan
Peraturan Daerah dapat berasal dari DPRD atau Bupati.
(2)
Apabila dalam
satu masa sidang,
DPRD dan Bupati
menyampaikan Rancangan Peraturan Daerah mengenai materi yang sama, maka
yang dibahas adalah Rancangan Peraturan Daerah yang disampaikan oleh DPRD,
sedangkan Rancangan Peraturan Daerah yang disampaikan Bupati digunakan sebagai
bahan untuk dipersandingkan.
Pasal 23
(1)
Pengharmonisasian,
pembulatan, dan pemantapan konsepsi Rancangan Peraturan Daerah usul Bupati
dikoordinasikan oleh Bagian Hukum.
(2)
Konsepsi
Rancangan Peraturan Daerah yang telah memperoleh keharmonisan, kebulatan, dan
kemantapan konsepsi disampaikan kepada DPRD.
Pasal 24
(1)
Rancangan
Peraturan Daerah usul Bupati sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1)
beserta penjelasan atau keterangan dan/atau naskah akademik, disampaikan secara
tertulis kepada Pimpinan DPRD dengan Surat Pengantar Bupati.
(2)
Pimpinan
DPRD setelah menerima Rancangan Peraturan Daerah usul Bupati sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), memberitahukan kepada Badan Musyawarah untuk keperluan
penjadwalan dan menyampaikan Rancangan Peraturan Daerah kepada seluruh anggota
DPRD.
Pasal 25
(1)
Rancangan
Peraturan Daerah yang berasal dari DPRD dapat diusulkan oleh anggota DPRD,
Komisi, Gabungan Komisi, atau Balegda.
(2)
Pengusul
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempersiapkan konsepsi Rancangan Peraturan
Daerah yang akan diajukan.
(3)
Konsepsi Rancangan Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) disampaikan secara tertulis kepada Pimpinan DPRD disertai dengan
penjelasan atau keterangan dan/atau naskah akademik, daftar nama dan
tandatangan pengusul, dan diberikan nomor pokok oleh Sekretariat DPRD.
(4)
Konsepsi
Rancangan Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) oleh Pimpinan
DPRD disampaikan kepada Balegda untuk dilakukan pengkajian.
(5)
Rancangan
Peraturan Daerah hasil kajian Balegda sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
disampaikan oleh Pimpinan DPRD kepada semua anggota DPRD selambat-lambatnya 7
(tujuh) hari sebelum Rapat Paripurna DPRD.
Pasal 26
(1)
Rancangan
Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (5) disampaikan oleh
pengusul dalam rapat paripurna DPRD.
(2)
Pembahasan
Rancangan Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) dalam
Rapat Paripurna meliputi:
a.
pengusul
memberikan penjelasan;
b.
Fraksi
dan Anggota DPRD lainnya memberikan pandangan; dan
c.
pengusul
memberikan jawaban atas pandangan Fraksi dan anggota DPRD lainnya.
(3)
Pengusul
berhak mengajukan perubahan dan/atau mencabut Rancangan Peraturan Daerah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) sebelum Rancangan Peraturan Daerah ditetapkan sebagai
usul inisiatif DPRD.
Pasal 27
(1)
Rancangan
Peraturan Daerah yang diajukan oleh pengusul diputuskan menjadi Rancangan
Peraturan Daerah usul inisiatif DPRD dalam rapat paripurna, setelah terlebih
dahulu Fraksi memberikan pendapatnya.
(2)
Keputusan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa :
a.
persetujuan
tanpa pengubahan;
b.
persetujuan
dengan pengubahan; atau
c.
penolakan.
(3)
Dalam
hal Fraksi menyatakan persetujuan dengan pengubahan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) huruf b, usul pengubahan tersebut dengan tegas dimuat dalam pendapat
Fraksi.
(4)
Pengubahan
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dimaksudkan untuk penyempurnaan rumusan
Rancangan Peraturan Daerah.
(5)
Dalam
hal persetujuan dengan pengubahan, Pimpinan DPRD menugaskan kepada pengusul
untuk menyempurnakan Rancangan Peraturan Daerah.
(6)
Pengusul
sebagaimana dimaksud pada ayat (5) melakukan penyempurnaan Rancangan Peraturan
Daerah dalam jangka waktu paling lama 15 (lima belas) hari dalam masa sidang.
(7)
Apabila
jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (6) tidak dapat dipenuhi, Badan
Musyawarah dapat memperpanjang waktu penyempurnaan Rancangan Peraturan Daerah
berdasarkan permintaan tertulis dari pengusul, untuk jangka waktu paling lama
15 (lima belas) hari dalam masa sidang.
(8)
Rancangan
Peraturan Daerah hasil penyempurnaan pengusul, disampaikan oleh pimpinan DPRD
kepada Bupati sekurang-kurangnya 7 (tujuh) hari sebelum dilakukan pembahasan
pada pembicaraan tingkat I.
(9)
Dalam
hal Rancangan Peraturan Daerah yang diajukan oleh pengusul disetujui tanpa
pengubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, maka Rancangan Peraturan
Daerah tersebut disampaikan oleh pimpinan DPRD kepada Bupati sekurang-kurangnya
7 (tujuh) hari sebelum dilakukan pembahasan pada pembicaraan tingkat I.
Paragraf 4
Pembahasan Peraturan Daerah
Pasal 28
(1)
Rancangan Peraturan Daerah yang berasal dari DPRD atau
Bupati dibahas oleh DPRD dan Bupati untuk mendapatkan persetujuan bersama.
(2)
Dalam
pembahasan Rancangan Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
masyarakat berhak memberikan masukan baik secara lisan maupun tertulis dapat
disampaikan dalam:
a.
rapat
dengar pendapat umum;
b.
kunjungan
kerja;
c.
sosialisasi;
dan/atau
d.
seminar,
lokakarya, dan/atau diskusi.
Pasal 29
Untuk
kepentingan pembahasan Rancangan Peraturan Daerah, Bupati membentuk Tim
Legislasi Daerah yang bersifat ad-Hoc.
Pasal 30
(1)
Pembahasan
Rancangan Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1)
dilakukan melalui 2 (dua) tingkat pembicaraan, yaitu:
a.
pembicaraan
tingkat I;
b.
pembicaraan
tingkat II.
(2)
Pembicaraan tingkat
I sebagaimana dimaksud
pada ayat (1)
huruf a meliputi:
a.
dalam
hal Rancangan Peraturan Daerah berasal dari Bupati dilakukan dengan kegiatan
sebagai berikut:
1.
penjelasan Bupati
dalam rapat paripurna
DPRD mengenai Rancangan
Peraturan Daerah;
2.
pemandangan
umum Fraksi terhadap rancangan Peraturan Daerah; dan
3.
tanggapan
dan/atau jawaban Bupati terhadap pemandangan umum Fraksi.
b.
dalam
hal Rancangan Peraturan Daerah berasal dari DPRD dilakukan dengan kegiatan
sebagai berikut:
1.
penjelasan
pimpinan Panitia Khusus dalam rapat paripurna mengenai Rancangan Peraturan
Daerah;
2.
pendapat
Bupati terhadap Rancangan Peraturan Daerah; dan
3.
tanggapan
dan/atau jawaban Fraksi terhadap pendapat Bupati.
c.
pembahasan
dalam rapat Panitia Khusus dilakukan bersama dengan Bupati atau pejabat yang
ditunjuk untuk mewakilinya.
(3)
Pembicaraan tingkat
II sebagaimana dimaksud
pada ayat (1)
huruf b meliputi:
a.
pengambilan
keputusan dalam rapat paripurna DPRD yang didahului dengan:
1.
penyampaian
laporan Pimpinan Panitia Khusus yang berisi
proses pembahasan, pendapat Fraksi dan hasil pembicaraan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf c; dan
2.
permintaan
persetujuan dari anggota secara lisan oleh pimpinan rapat paripurna.
b.
pendapat
akhir Bupati.
(4)
Apabila
persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a angka 2 tidak dapat
dicapai secara musyawarah untuk mufakat, keputusan diambil berdasarkan suara
terbanyak.
(5)
Apabila
Rancangan Peraturan Daerah tidak mendapat persetujuan bersama antara DPRD dan
Bupati, Rancangan Peraturan Daerah tersebut tidak boleh diajukan
lagi dalam persidangan DPRD pada
masa sidang yang sama.
Pasal 31
(1)
Apabila
Rancangan Peraturan Daerah berasal dari DPRD, maka pimpinan Panitia Khusus
memberikan penjelasan atau keterangan atas Rancangan Peraturan Daerah serta
tanggapan atas pertanyaan dari SOPD yang mewakili Bupati, pada rapat kerja
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (2) huruf c.
(2)
Apabila
Rancangan Peraturan Daerah berasal dari Bupati, maka SKPD yang mewakili
Bupati untuk membahas Rancangan Peraturan Daerah, memberikan penjelasan atau keterangan
atas Rancangan Peraturan Daerah serta tanggapan atas pertanyaan Panitia Khusus,
pada rapat kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (2) huruf c.
Pasal 32
(1)
Pembahasan
Rancangan Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 dijadwalkan oleh
Badan Musyawarah untuk jangka waktu paling lama 2 (dua) bulan sejak pembicaraan
tingkat I.
(2)
Badan
Musyawarah dapat memperpanjang waktu pembahasan sesuai dengan permintaan
tertulis dari Pimpinan Panitia Khusus untuk jangka waktu paling lama 1 (satu)
bulan.
(3)
Perpanjangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan berdasarkan pertimbangan materi
muatan Rancangan Peraturan Daerah yang bersifat kompleks serta beratnya beban
tugas Panitia Khusus.
(4)
Pimpinan
Panitia Khusus memberikan laporan perkembangan pembahasan Rancangan Peraturan
Daerah kepada Badan Musyawarah paling sedikit 2 (dua) kali dengan tembusan
kepada Balegda.
Pasal 33
(1)
Panitia
Khusus mengundang SOPD yang mewakili Bupati untuk menghadirkan Kepala SOPD
dan/atau lembaga Pemerintah non SOPD lainnya untuk membahas Rancangan Peraturan
Daerah.
(2)
SOPD
yang mewakili Bupati sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihadiri Kepala SOPD
yang didampingi oleh Kepala Bidang atau yang berkompeten di bidangnya.
(3)
Panitia
Khusus dan Pemerintah Daerah dapat mengadakan konsultasi ke Pemerintah Pusat
dan/atau kunjungan kerja ke DPRD dan/atau Pemerintah Daerah lain atau lembaga
terkait dalam rangka mendapatkan tambahan referensi dan masukan sebagai bahan
penyempurnaan materi Rancangan Peraturan Daerah.
(4)
Konsultasi
dan/atau kunjungan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (3), wajib diikuti oleh
SOPD terkait dan Bagian Hukum.
(5)
Usulan
rencana konsultasi dan/atau kunjungan kerja disampaikan kepada Pimpinan DPRD
sekurang-kurangnya memuat :
a.
urgensi;
b.
kemanfaatan;
dan
c.
keterkaitan
daerah tujuan dengan materi Rancangan Peraturan Daerah.
Pasal 34
(1)
Dalam
rapat kerja pengambilan keputusan atas Rancangan Peraturan Daerah dilakukan
berdasarkan musyawarah untuk mencapai mufakat.
(2)
Pengambilan
keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilaksanakan apabila
dihadiri oleh lebih dari separuh jumlah anggota Panitia Khusus, yang terdiri
atas lebih dari separuh unsur Fraksi.
(3)
Apabila
dalam rapat kerja tidak dicapai kesepakatan atas Rancangan Peraturan Daerah,
pengambilan keputusan dilakukan dalam rapat paripurna.
Paragraf 5
Penetapan Peraturan Daerah
Pasal 35
(1)
Rancangan
Peraturan Daerah yang telah disetujui bersama oleh DPRD dan Bupati disampaikan
oleh Pimpinan DPRD kepada Bupati untuk ditetapkan menjadi Peraturan Daerah.
(2)
Penyampaian
Rancangan Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan dalam
jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal persetujuan
bersama.
Pasal 36
(1)
Rancangan Peraturan
Daerah sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 35, ditetapkan oleh Bupati dengan membubuhkan
tanda tangan dalam jangka waktu paling lambat
30 (tiga puluh)
hari sejak Rancangan
Peraturan Daerah tersebut disetujui bersama oleh DPRD dan Bupati.
(2)
Dalam
hal Rancangan Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tidak
ditandatangani oleh Bupati dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak
Rancangan Peraturan Daerah tersebut disetujui bersama, maka Rancangan Peraturan
Daerah tersebut sah menjadi Peraturan
Daerah dan wajib diundangkan.
(3)
Dalam
hal sahnya Rancangan Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2), maka
kalimat pengesahannya berbunyi : Peraturan Daerah ini dinyatakan sah.
(4)
Kalimat
pengesahan yang berbunyi sebagaimana dimaksud pada ayat (3), harus dibubuhkan
pada halaman terakhir Peraturan Daerah sebelum pengundangan naskah Peraturan
Daerah ke dalam Lembaran Daerah.
Pasal 37
Peraturan
Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 berlaku setelah diundangkan dalam
Lembaran Daerah.
Paragraf 6
Penarikan Rancangan Peraturan Daerah
Pasal 38
(1)
Bupati
dapat menarik kembali Rancangan Peraturan Daerah usul Bupati, sebelum
pembicaraan tingkat I dimulai, melalui surat pengantar Bupati yang diajukan
kepada pimpinan DPRD.
(2)
Rancangan
Peraturan Daerah yang sedang dibicarakan pada pembicaraan tingkat I hanya dapat
ditarik kembali berdasarkan persetujuan bersama Bupati dan DPRD.
(3)
Rancangan
Peraturan Daerah yang telah ditarik, tidak dapat diajukan kembali pada masa
sidang yang sama.
Pasal 39
(1)
Pimpinan
DPRD dapat menarik kembali Rancangan Peraturan Daerah usul inisiatif DPRD,
sebelum pembicaraan tingkat I dimulai, melalui surat pengantar pimpinan DPRD
yang diajukan kepada Bupati.
(2)
Rancangan
Peraturan Daerah yang sedang dibicarakan pada pembicaraan tingkat I hanya dapat
ditarik kembali berdasarkan persetujuan bersama DPRD dan Bupati.
(3)
Rancangan
Peraturan Daerah yang telah ditarik, tidak dapat diajukan kembali pada masa
sidang yang sama.
Paragraf 7
Pembentukan Peraturan Daerah Tentang
APBD
Pasal 40
(1)
Pembahasan Peraturan
Daerah tentang APBD
didahului dengan pembahasan KUA
dan PPAS.
(2)
DPRD
menyusun pokok-pokok pikiran DPRD sebagai saran dan pendapat atau masukan untuk
pembahasan Rancangan KUA dan PPAS dari Bupati.
(3)
Pokok-pokok
pikiran DPRD sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat bersumber dari hasil
reses DPRD, hasil dengar pendapat umum DPRD, dan sumber lain.
(4)
Pembahasan
KUA dan PPAS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan tahapan
sebagai berikut :
a.
penghantaran
rancangan KUA dan PPAS oleh Bupati dalam rapat paripurna;
b.
penjajagan
rancangan KUA dan PPAS oleh Badan Anggaran;
c.
penjajagan PPAS
oleh Komisi-Komisi bersama
mitra kerja masing-masing;
d.
penyampaian
hasil penjajagan PPAS oleh juru bicara Komisi dalam rapat Badan Anggaran;
e.
pembahasan,
harmonisasi dan finalisasi Rancangan KUA dan PPAS dalam rapat kerja Badan
Anggaran bersama TAPD;
f.
hasil
pembahasan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf e dikonsultasikan ke
Gubernur;
g.
penyampaian
laporan, saran dan pendapat Badan Anggaran dengan lampiran pendapat Fraksi,
dalam rapat paripurna; dan
h.
pengambilan
keputusan berupa kesepakatan bersama tentang KUA dan PPAS antara Bupati dan
DPRD dalam rapat paripurna.
(5)
Pembahasan
KUA dan PPAS sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan dalam jangka waktu
paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak penghantaran.
Pasal 41
(1)
Setelah
KUA dan PPAS disepakati bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (4)
huruf h, Bupati mengajukan rancangan Peraturan Daerah tentang APBD disertai
penjelasan dan dokumen-dokumen pendukungnya kepada DPRD untuk memperoleh
persetujuan bersama.
(2)
Rancangan Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dibahas oleh Pemerintah Daerah bersama DPRD berdasarkan KUA dan PPAS.
(3)
Pengambilan
keputusan DPRD untuk menyetujui Rancangan Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) dilakukan selambat- lambatnya 1 (satu) bulan sebelum tahun
anggaran dilaksanakan.
(4)
Atas
dasar persetujuan DPRD sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Bupati menyiapkan
Rancangan Peraturan Bupati tentang penjabaran APBD dan rancangan dokumen
pelaksanaan anggaran SKPD.
Pasal 42
(1)
RKA-SKPD yang telah disusun oleh Kepala SKPD disampaikan
kepada PPKD.
(2)
RKA-SKPD
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), selanjutnya dibahas oleh Tim Anggaran
Pemerintah Daerah.
(3)
Pembahasan
oleh tim anggaran Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dilakukan untuk menelaah kesesuaian antara RKA-SKPD dengan kebijakan umum APBD,
prioritas dan plafon anggaran sebelumnya, dan
dokumen perencanaan lainnya,
serta capaian kinerja,
indikator kinerja, analisis standar belanja, standar satuan harga, dan
standar pelayanan minimal.
(4)
Dalam hal hasil pembahasan RKA-SKPD terdapat
ketidaksesuaian sebagaimana dimaksud pada ayat (3) Kepala SKPD melakukan
penyempurnaan.
(5)
RKA-SKPD
yang telah disempurnakan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dihimpun oleh PPKD
dan selanjutnya disampaikan oleh Bupati kepada DPRD untuk dibahas dalam
pembahasan pendahuluan RAPBD.
(6)
Pembahasan
pendahuluan RAPBD sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilakukan bersama
Komisi-Komisi.
(7)
Hasil
pembahasan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) disampaikan oleh Komisi kepada
Pimpinan DPRD melalui Badan Anggaran, dan selanjutnya pimpinan DPRD
menyampaikan kepada Bupati sebagai bahan penyusunan rancangan APBD tahun
berikutnya.
(8)
RKA-SKPD
hasil pembahasan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) di sempurnakan oleh Kepala
SKPD dan disampaikan kepada PPKD.
Pasal
43
(1)
Pembahasan Rancangan
Peraturan Daerah tentang
APBD, dilakukan melalui 2 (dua)
tingkat pembicaraan, yaitu :
a.
pembicaraan
tingkat I; dan
b.
pembicaraan
tingkat II.
(2)
Pembicaraan tingkat I
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi:
a.
penjelasan
Bupati dalam rapat paripurna mengenai Rancangan Peraturan Daerah tentang APBD;
b.
penjajagan
Rancangan Peraturan Daerah tentang APBD oleh Badan Anggaran;
c.
pemandangan
umum Fraksi terhadap Rancangan Peraturan Daerah tentang APBD;
d.
tanggapan dan/atau jawaban Bupati terhadap pemandangan
umum Fraksi;
e.
penjelasan
lebih lanjut atas pemandangan umum Fraksi oleh Bupati disampaikan dalam rapat
dengar pendapat;
f.
pembahasan
Rancangan Peraturan Daerah tentang APBD oleh Komisi- Komisi bersama mitra kerja
masing-masing;
g.
pembahasan, harmonisasi dan finalisasi Rancangan
Peraturan Daerah tentang APBD dalam rapat kerja Badan Anggaran bersama dengan
TAPD;
h.
hasil pembahasan
sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) huruf g dikonsultasikan ke Gubernur; dan
i.
pendapat
akhir Fraksi terhadap Rancangan Peraturan Daerah tentang APBD dalam rapat Badan
Anggaran.
(3)
Pembicaraan tingkat II sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b meliputi:
a.
pengambilan keputusan dalam rapat paripurna yang
didahului dengan:
1. penyampaian laporan,
saran dan pendapat
Badan Anggaran yang berisi tentang proses pembahasan, saran dan
pendapat Badan Anggaran, pendapat Fraksi dan hasil pembicaraan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2);
2. permintaan persetujuan dari anggota
secara lisan oleh pimpinan rapat paripurna; dan
3. pengambilan keputusan berupa
persetujuan bersama DPRD dengan Bupati dalam rapat paripurna.
b.
pendapat akhir Bupati.
(4)
Dalam hal Rancangan Peraturan Daerah tentang APBD tidak
mendapat persetujuan dari DPRD, maka penyelesaiannya diserahkan kepada
Gubernur.
(5)
Dalam
hal Rancangan Peraturan Daerah tentang APBD disetujui bersama oleh DPRD dengan
Bupati, maka dalam waktu selambat-lambatnya 3 (tiga) hari setelah disetujui,
Bupati mengirimkan Rancangan Peraturan Daerah tentang APBD kepada Gubernur
untuk dievaluasi.
(6)
Hasil
evaluasi Gubernur terhadap Rancangan Peraturan Daerah tentang APBD
ditindaklanjuti oleh Badan Anggaran bersama TAPD.
(7)
Hasil
tindak lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dituangkan dalam Keputusan
Pimpinan DPRD.
Paragraf 8
Pembentukan Peraturan Daerah
Tentang Pertanggungjawaban Pelaksanaan
APBD
Pasal 44
(1)
Bupati
menyampaikan Rancangan Peraturan Daerah tentang pertanggungjawaban pelaksanaan
APBD kepada DPRD berupa laporan keuangan yang telah diperiksa oleh Badan
Pemeriksa Keuangan paling lambat 6 (enam) bulan setelah tahun anggaran
berakhir.
(2)
Laporan
keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang- kurangnya meliputi
laporan realisasi APBD, neraca, laporan arus kas, dan catatan atas laporan
keuangan, yang dilampiri dengan laporan keuangan Badan Usaha Milik Daerah.
(3)
Laporan
keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun dan disajikan sesuai dengan
Standart Akuntansi Pemerintahan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pasal 45
(1)
Pembahasan
Rancangan Peraturan Daerah tentang Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBD,
dilakukan melalui 2 (dua) tingkat pembicaraan, yaitu:
a.
pembicaraan
tingkat I; dan
b.
pembicaraan
tingkat II.
(2)
Pembicaraan
tingkat I sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi:
a.
penjelasan
Bupati dalam rapat paripurna mengenai Rancangan Peraturan Daerah tentang
Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBD;
b.
penjajagan
Rancangan Peraturan Daerah tentang Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBD oleh
Badan Anggaran;
c.
pemandangan
umum Fraksi terhadap Rancangan Peraturan Daerah tentang Pertanggungjawaban
Pelaksanaan APBD;
d.
tanggapan
dan/atau jawaban Bupati terhadap pemandangan umum Fraksi;
e.
penjelasan
lebih lanjut atas pemandangan umum Fraksi oleh Bupati disampaikan dalam rapat
dengar pendapat;
f.
pembahasan
Rancangan Peraturan Daerah tentang Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBD oleh
Komisi-Komisi bersama mitra kerja masing- masing;
g.
pembahasan,
harmonisasi dan finalisasi Rancangan Peraturan Daerah tentang
Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBD dalam rapat
kerja Badan Anggaran bersama TAPD;
h.
hasil
pembahasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf g dikonsultasikan ke
Gubernur; dan
i.
pendapat
akhir Fraksi terhadap Rancangan Peraturan Daerah tentang Pertanggungjawaban
Pelaksanaan APBD yang disampaikan dalam rapat Badan Anggaran.
(3)
Pembicaraan
tingkat II sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi:
a.
pengambilan
keputusan dalam rapat paripurna yang didahului dengan :
1. penyampaian laporan, saran dan pendapat Badan Anggaran
yang berisi tentang proses pembahasan, saran dan pendapat Badan Anggaran,
pendapat Fraksi dan hasil pembicaraan sebagaimana dimaksud pada ayat (2);
2. permintaan persetujuan dari anggota
secara lisan oleh pimpinan rapat paripurna; dan
3. pengambilan keputusan berupa
persetujuan bersama DPRD dengan Pemerintah Daerah dalam rapat paripurna.
b.
pendapat
akhir Bupati.
(4)
Dalam
hal Rancangan Peraturan Daerah tentang Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBD
tidak mendapat persetujuan dari DPRD, maka penyelesaiannya diserahkan kepada
Gubernur.
Paragraf 9
Pembentukan Peraturan Daerah Tentang
Perubahan APBD
Pasal 46
(1)
Perubahan
APBD dapat dilakukan apabila terjadi:
a.
perkembangan yang tidak sesuai dengan asumsi kebijakan
umum APBD;
b.
keadaan
yang menyebabkan harus dilakukan pergeseran anggaran antar unit organisasi,
antar kegiatan, dan antar jenis belanja; dan
c.
keadaan
yang menyebabkan sisa
lebih perhitungan anggaran
tahun sebelumnya harus digunakan untuk pembiayaan dalam tahun anggaran
berjalan.
(2)
Pemerintah
Daerah mengajukan Rancangan Peraturan Daerah tentang Perubahan APBD, disertai
penjelasan dan dokumen-dokumen pendukungnya kepada DPRD.
(3)
Pengambilan
keputusan mengenai Rancangan Peraturan Daerah tentang Perubahan APBD sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh DPRD paling lambat 3 (tiga) bulan sebelum
tahun anggaran yang bersangkutan berakhir.
Pasal 47
Mekanisme
pembentukan Peraturan Daerah tentang Perubahan APBD mutatis mutandis dengan
mekanisme pembentukan Peraturan Daerah tentang APBD.
Paragraf 10
Pembentukan Peraturan Daerah
Tentang Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah
Pasal 48
(1)
Mekanisme
pembahasan Peraturan Daerah tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah mutatis
mutandis dengan mekanisme pembahasan Peraturan Daerah.
(2)
Rancangan
Peraturan Daerah tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang telah disetujui
bersama oleh DPRD sebelum ditetapkan menjadi Peraturan Daerah, disampaikan
kepada Gubernur untuk mendapatkan evaluasi.
(3)
Hasil
evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ditindaklanjuti oleh Balegda
bersama Bupati.
(4)
Hasil
tindak lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan oleh Pimpinan DPRD.
(5)
Keputusan Pimpinan
DPRD sebagaimana dimaksud
pada ayat (4) dilaporkan dalam Rapat Paripurna
berikutnya.
Paragraf 11
Pembentukan Peraturan Daerah
Tentang Tata Ruang Daerah
Pasal 49
(1)
Bupati
dibantu Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah (BKPRD) Kabupaten
mengkoordinasikan penyusunan Rancangan Peraturan Daerah tentang Rencana Tata
Ruang.
(2)
Bupati
mengkonsultasikan substansi teknis atas Rancangan Peraturan Daerah tentang
Rencana Tata Ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Instansi Pusat
yang membidangi urusan tata ruang yang dikoordinasikan oleh Badan Koordinasi
Tata Ruang Nasional (BKTRN).
(3)
Konsultasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) guna mendapatkan persetujuan dari Instansi
Pusat yang membidangi urusan tata ruang.
(4)
Konsultasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan setelah Rancangan Peraturan Daerah
tentang Rencana Tata Ruang dibahas di Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah
(BKPRD) Provinsi dan mendapatkan rekomendasi Gubernur.
(5)
Konsultasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menyangkut substansi teknis rancangan
Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang untuk disesuaikan dengan Rencana
Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP).
(6)
Materi konsultasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
meliputi Rancangan Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang beserta
lampirannya.
(7)
Lampiran Rancangan Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud
pada ayat (6), berupa dokumen Rencana Tata Ruang dan album peta.
Pasal 50
Konsultasi
atas substansi teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (2), dilakukan
sebelum Rancangan Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang disetujui bersama
DPRD.
Pasal 51
Rancangan
Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang yang telah disetujui bersama DPRD
sebelum ditetapkan oleh Bupati, paling lambat 3 (tiga) hari kerja disampaikan
kepada Gubernur untuk dievaluasi.
Pasal 52
(1)
Penyampaian
Rancangan Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 dilengkapi
dengan Lampiran Rancangan Peraturan Daerah, surat rekomendasi
Gubernur dan surat persetujuan dari Instansi
Pusat yang membidangi urusan tata ruang.
(2)
Bupati
menindaklanjuti hasil evaluasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51.
(3)
Bupati
melaporkan hasil tindak lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (4) kepada
Gubernur paling lambat 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak diterimanya
Keputusan Gubernur.
Paragraf 12
Pembentukan Peraturan Daerah
tentang Organisasi Perangkat Daerah
Pasal 53
(1)
Rancangan
Peraturan Daerah tentang Organisasi Perangkat Daerah sebelum disampaikan ke DPRD,
terlebih dahulu dikonsultasikan kepada Gubernur.
(2)
Mekanisme
pembahasan Rancangan Peraturan Daerah tentang Organisasi Perangkat Daerah
mutatis mutandis dengan mekanisme pembahasan Rancangan Peraturan Daerah.
(3)
Rancangan
Peraturan Daerah tentang Organisasi Perangkat Daerah yang telah mendapatkan
persetujuan bersama DPRD, sebelum ditetapkan oleh Bupati disampaikan kepada
Gubernur untuk mendapatkan fasilitasi.
(4)
Hasil
fasilitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3), ditindaklanjuti oleh Balegda
bersama Bupati.
(5)
Hasil
tindak lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditetapkan oleh Pimpinan DPRD.
(6)
Keputusan
Pimpinan DPRD sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilaporkan dalam rapat
paripurna berikutnya.
(7)
Peraturan Daerah tentang organisasi perangkat
daerah harus disampaikan kepada gubernur paling lama 15 (lima belas) hari kerja
setelah ditetapkan, dengan tembusan Menteri.
Bagian Kedua
Pembentukan Peraturan Bupati
Pasal 54
(1)
Peraturan
Bupati merupakan peraturan yang dibentuk Bupati sebagai penjabaran lebih lanjut
dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi sesuai kewenangannya.
(2)
Pimpinan
SKPD menyusun Rancangan Peraturan Bupati sesuai dengan bidang tugasnya.
(3)
Dalam
penyusunan rancangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dibentuk Tim
Antar SKPD.
(4)
Tim
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diketuai oleh Kepala SKPD pemrakarsa atau
pejabat yang ditunjuk oleh Bupati, dan Kepala Bagian Hukum berkedudukan sebagai
Sekretaris.
(5)
Rancangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan
pembahasan bersama Bagian Hukum dengan menitikberatkan pada permasalahan yang
bersifat prinsip mengenai objek yang diatur, jangkauan, dan arah pengaturan.
(6)
Sekretaris
Daerah dapat melakukan perubahan dan/atau penyempurnaan terhadap rancangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (5).
(7)
Rancangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (5) ditetapkan menjadi Peraturan Bupati dengan
ditandatangani oleh Bupati.
Bagian Ketiga
Pembentukan Peraturan Bersama Bupati
Pasal 55
(1)
Peraturan
Bersama Bupati merupakan peraturan yang dibentuk oleh Bupati dengan Kepala
Daerah lain untuk mengatur suatu urusan yang menyangkut kepentingan bersama.
(2)
Rancangan
Peraturan Bersama Bupati sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun oleh SKPD
pemrakarsa bersama pihak yang menetapkan kesepakatan bersama.
(3)
Pembahasan
Rancangan Peraturan Bersama Bupati sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan
bersama instansi terkait dari pihak yang mengadakan kesepakatan bersama melalui
rapat kerja dan/atau rapat koordinasi teknis.
(4)
Penyusunan
Rancangan Peraturan Bersama Bupati sebagaimana dimaksud pada ayat (2) didahului
dengan penetapan kesepakatan bersama untuk membuat Peraturan Bersama.
(5)
Rancangan Peraturan
Bersama Bupati untuk
kerja sama daerah
yang membebani APBD dan masyarakat
serta belum tersedia
anggarannya dalam APBD pada tahun anggaran berjalan, terlebih dahulu
harus mendapat persetujuan DPRD.
(6)
Rancangan
Peraturan Bersama Bupati ditetapkan menjadi Peraturan Bersama Bupati dengan
ditandatangani oleh Bupati dan Kepala Daerah lain yang mengadakan kesepakatan
bersama.
Pasal 56
Peraturan
Bersama Bupati yang telah ditandatangani disampaikan kepada pihak yang
mengadakan kesepakatan bersama.
Bagian Keempat
Pembentukan Keputusan Bupati
Pasal 57
(1)
Keputusan Bupati merupakan keputusan yang ditetapkan oleh
Bupati dalam rangka menjalankan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
(2)
Pimpinan
SKPD menyusun Rancangan Keputusan Bupati sesuai dengan tugas dan fungsinya
masing-masing.
(3)
Rancangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diajukan kepada Sekretaris Daerah setelah
mendapat paraf koordinasi dari Kepala Bagian Hukum.
(4)
Rancangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditandatangani
oleh Bupati.
(5)
Penandatanganan
Rancangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat didelegasikan kepada
Sekretaris Daerah sesuai kewenangannya yang diatur dalam peraturan
perundanng-undangan.
Pasal 58
Produk
Hukum yang telah ditandatangani Bupati disampaikan kepada DPRD dalam rangka
pelaksanaan fungsi pengawasan, paling lama 7 (tujuh) hari setelah
ditandatangani.
Bagian Kelima
Penomoran dan Pengundangan Produk Hukum
Paragraf 1
Penomoran dan Pengundangan Peraturan
Daerah
Pasal 59
Penomoran
Peraturan Daerah yang telah ditetapkan dilakukan oleh Kepala Bagian Hukum
dengan menggunakan nomor bulat dan tahun penetapan.
Pasal 60
(1)
Pengundangan Peraturan
Daerah yang telah
ditetapkan dan diberikan nomor sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 58 dilakukan oleh Sekretaris Daerah.
(2)
Pengundangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditempatkan dalam Lembaran Daerah dengan
dibubuhi tahun dan nomor.
(3)
Apabila
Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai dengan penjelasan,
pengundangannya ditempatkan dalam Tambahan Lembaran Daerah dengan dibubuhi
nomor.
(4)
Sekretaris
Daerah menandatangani pengundangan Peraturan Daerah dengan membubuhkan tanda
tangan pada naskah Peraturan Daerah.
(5)
Naskah
Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disimpan oleh Bagian Hukum.
Paragraf 2
Penomoran dan Pengundangan Peraturan
Bupati
Pasal 61
Peraturan
Bupati yang telah ditetapkan, diberikan nomor oleh Kepala Bagian Hukum dengan
menggunakan nomor bulat dan tahun penetapan.
Pasal 62
(1)
Pengundangan
Peraturan Bupati sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ditempatkan dalam Berita
Daerah dengan dibubuhi tahun dan nomor.
(2)
Apabila
Peraturan Bupati sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ada penjelasannya, maka
penjelasan tersebut pengundangannya ditempatkan dalam Tambahan Berita Daerah
dengan dibubuhi nomor.
(3)
Sekretaris
Daerah menandatangani pengundangan Peraturan Bupati dengan membubuhkan tanda
tangan pada naskah Peraturan Bupati.
(4)
Naskah
Peraturan Bupati sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disimpan oleh Bagian Hukum.
Paragraf 3
Penomoran dan Pengundangan Peraturan
Bersama Bupati
Pasal 63
Peraturan
Bersama Bupati yang telah ditetapkan, diberikan nomor oleh Kepala Bagian Hukum
dengan menggunakan nomor bulat dan tahun penetapan.
Pasal
64
(1)
Pengundangan
Peraturan Bersama Bupati
yang telah diberikan
nomor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ditempatkan dalam Berita Daerah
oleh Sekretaris Daerah dengan dibubuhi tahun dan nomor.
(2)
Apabila
Peraturan Bersama Bupati sebagaimana dimaksud ayat (1) ada penjalasannya, maka
penjelasan tersebut pengundangannya ditempatkan dalam Tambahan Berita Daerah
dengan dibubuhi nomor.
(3)
Sekretaris
Daerah menandatangani pengundangan Peraturan Bersama Bupati dengan membubuhkan
tanda tangan pada naskah Peraturan Bersama Bupati.
(4)
Naskah
Peraturan Bersama Bupati sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disimpan oleh
Bagian Hukum.
Paragraf 4
Penomoran Keputusan Bupati
Pasal 65
Keputusan
Bupati yang telah ditetapkan, diberikan nomor oleh Kepala Bagian Hukum dengan
menggunakan nomor kode klasifikasi dan tahun penetapan.
BAB VII
PENDOKUMENTASIAN
DAN PENYEBARLUASAN
Bagian
Kesatu
Pendokumentasian
Pasal 66
(1)
Pendokumentasian
produk hukum yang diterbitkan oleh Bupati dilakukan oleh Sekretariat Daerah.
(2)
Pendokumentasian
produk hukum yang diterbitkan oleh DPRD dilakukan oleh Sekretariat DPRD.
Bagian Kedua
Penyebarluasan
Pasal 67
(1)
Penyebarluasan
terhadap Prolegda dilakukan oleh Sekretariat DPRD.
(2)
Penyebarluasan
terhadap Rancangan Peraturan Daerah atas usul Bupati dilakukan oleh Sekretariat
Daerah.
(3)
Penyebarluasan
terhadap Rancangan Peraturan Daerah atas usul inisiatif DPRD dilakukan oleh
Sekretariat DPRD.
(4)
Penyebarluasan
terhadap Peraturan Daerah, Peraturan Bupati, Peraturan Bersama, dan Keputusan
Bupati dilakukan oleh Sekretariat Daerah.
Pasal 68
Penyebarluasan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 dapat
dilakukan melalui media masa, tatap muka atau diskusi terbuka, ceramah,
dialog, seminar, public hearing, lokakarya, pertemuan ilmiah, konferensi
pers, website dan bentuk lainnya yang dapat melibatkan masyarakat
umum secara langsung.
BAB
VIII
PEMBIAYAAN
Pasal 69
Pembiayaan pembentukan produk hukum dalam penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.
BAB IX
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 70
Peraturan
Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar
setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini
dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Kabupaten Ciamis.
Ditetapkan di Ciamis
pada tanggal 27 Nopember 2013
BUPATI
CIAMIS,
Cap/ttd
H.
ENGKON KOMARA
Diundangkan
di Ciamis
pada
tanggal 27 Nopember 2013
SEKRETARIS
DAERAH KABUPATEN CIAMIS,
Cap/ttd
H.
HERDIAT S.
LEMBARAN DAERAH KABUPATEN CIAMIS TAHUN
2013 NOMOR 29
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN
DAERAH KABUPATEN CIAMIS
NOMOR 29
TAHUN 2013
TENTANG
PEMBENTUKAN
PRODUK HUKUM DAERAH
I.
UMUM
Ditetapkannya
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah
diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2008, telah mengubah sistem
Pemerintahan dari yang semula bersifat sentralistik menjadi desentralistik.
Dalam penyelenggaraan otonomi daerah yang luas, nyata dan bertanggungjawab
Bupati diberikan kewenangan untuk mengatur kelembagaan yang diperlukan dalam
penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan di Daerah, dengan memperhatikan
kewenangan Pemerintahan yang dimiliki oleh daerah, karakteristik, potensi dan
kebutuhan daerah, kemampuan keuangan Daerah, ketersediaan sumber daya aparatur
serta pengembangan pola kerjasama antar daerah dan/atau dengan pihak ketiga.
Disamping itu
dengan ditetapkannya Undang-Undang
Nomor 27 Tahun 2009 tentang
Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan peraturan pelaksananya yang
berkaitan dengan pelaksanaan fungsi dan tugas DPRD, khususnya fungsi legislasi,
maka sinergi antara Pemerintah Daerah dan DPRD dalam menyelenggarakan
Pemerintahan, pembangunan dan pemberdayaan masyarakat harus dilakukan secara
kolaboratif, terutama yang terkait dengan penyusunan kebijakan publik di
daerah.
Perubahan
paradigma Pemerintahan yang ditandai dengan peningkatan peran lembaga DPRD
sebagai lembaga yang paling strategis dan memiliki beberapa kewenangan
tertentu, dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Dalam
proses Pembentukan Produk Hukum dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, pada
saat ini telah ditetapkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang- undangan, sehingga agar mampu meningkatkan kinerja
Pemerintah Daerah dan DPRD dalam Pembentukan Produk Hukum dalam Penyelenggaraan Pemerintahan
Daerah Di Kabupaten
Ciamis, perlu diatur lebih lanjut
dalam peraturan perundangan yang lebih rinci yaitu Peraturan Daerah.
II.
PASAL
DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup
jelas.
Pasal 2
Cukup
jelas.
Pasal 3
Cukup
jelas.
Pasal 4
Huruf a
Yang
dimaksud dengan “asas kejelasan tujuan”, adalah bahwa setiap pembentukan produk
hukum dalam penyelenggaraan Pemerintahan Daerah harus mempunyai tujuan jelas
yang hendak dicapai.
Huruf b
Yang dimaksud
dengan “asas kelembagaan
atau pejabat pembentuk yang
tepat” adalah bahwa
setiap jenis produk hukum dalam penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah harus dibuat oleh lembaga/pejabat pembentuk peraturan
perundang-undangan yang berwenang, peraturan perundangan tersebut dapat
dibatalkan atau batal demi hukum apabila dibuat oleh lembaga/pejabat yang tidak
berwenang.
Huruf c
Yang
dimaksud dengan “asas kesesuaian antara jenis, hierarkhi dan materi muatan”,
adalah bahwa dalam pembentukan produk hukum dalam penyelenggaraan Pemerintahan
Daerah harus benar-benar memperhatikan materi muatan yang tepat sesuai dengan
jenis dan hierarkhi perundang-undangannya.
Huruf d
Yang
dimaksud dengan “asas dapat dilaksanakan”, yaitu bahwa setiap pembentukan
produk hukum dalam penyelenggaraan Pemerintahan Daerah harus memperhitungkan
efektifitas peraturan perundang-undangan tersebut di dalam masyarakat, baik
secara filosofis, yuridis maupun sosiologis.
Huruf e
Yang
dimaksud dengan “asas kedayagunaan dan kehasilgunaan”, adalah bahwa
setiap produk hukum
dalam penyelenggaraan Pemerintahan Daerah dibuat karena memang
benar-benar dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara.
Huruf f
Yang
dimaksud dengan “asas kejelasan rumusan”, adalah bahwa setiap produk hukum
dalam penyelenggaraan Pemerintahan Daerah harus memenuhi persyaratan teknis
penyusunan peraturan perundang-undangan, sistematika dan pilihan kata atau
terminologi, serta bahasa hukumnya jelas dan mudah dimengerti, sehingga tidak
menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya.
Huruf g
Yang dimaksud
dengan “asas keterbukaan”,
adalah bahwa dalam proses
pembentukan produk hukum dalam penyelenggaraan Pemerintahan Daerah mulai dari
perencanaan, persiapan, penyusunan, dan pembahasan bersifat transparan dan
terbuka, sehingga seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang
seluas-Iuasnya untuk memberikan masukan dalam proses pembuatan Produk Hukum
Daerah.
Pasal 5
Huruf a
Yang
dimaksud dengan “asas pengayoman”, adalah bahwa setiap materi muatan produk
hukum dalam penyelenggaraan Pemerintahan Daerah harus berfungsi memberikan
perlindungan dalam rangka menciptakan ketentraman masyarakat.
Huruf b
Yang
dimaksud dengan “asas kemanusiaan”, adalah bahwa setiap materi muatan produk
hukum dalam penyelenggaraan Pemerintahan Daerah harus mencerminkan perlindungan
dan penghormatan hak-hak azasi manusia serta harkat dan martabat setiap warga
negara dan penduduk daerah secara proporsional.
Huruf c
Yang
dimaksud dengan “asas kebangsaan”, adalah bahwa setiap materi muatan produk
hokum dalam penyelenggaraan Pemerintahan Daerah harus mencerminkan sifat dan
watak bangsa Indonesia yang pluralistik (kebhinekaan) dengan tetap menjaga
prinsip negara kesatuan Republik Indonesia.
Huruf d
Yang
dimaksud dengan “asas kekeluargaan”, adalah bahwa setiap materi muatan produk
hukum dalam penyelenggaraan Pemerintahan Daerah harus mencerminkan musyawarah
untuk mencapai mufakat dalam setiap pengambilan keputusan.
Huruf e
Yang
dimaksud dengan “asas kenusantaraan”, adalah bahwa setiap materi muatan produk
hukum dalam penyelenggaraan Pemerintahan Daerah harus senantiasa memperhatikan
kepentingan seluruh wilayah daerah dan materi muatan peraturan
perundang-undangan yang dibuat di daerah merupakan bagian dari sistem
hukum nasional yang berdasarkan
Pancasila.
Huruf f
Yang dimaksud dengan “asas
bhinneka tunggal ika”, adalah bahwa setiap materi muatan produk
hukum dalam penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
harus memperhatikan keragaman
penduduk, agama, suku dan golongan, kondisi khusus daerah, dan budaya khususnya
yang menyangkut masalah-masalah sensitif dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara.
Huruf g
Yang
dimaksud dengan “asas keadilan” adalah bahwa setiap materi muatan produk hukum
dalam penyelenggaraan Pemerintahan Daerah harus mencerminkan keadilan secara
proporsional bagi setiap warga negara tanpa kecuali.
Huruf h
Yang
dimaksud dengan “asas kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan” adalah
bahwa setiap materi muatan produk hukum dalam penyelenggaraan Pemerintahan
Daerah tidak boleh berisi
hal-hal yang bersifat
membedakan berdasarkan latar belakang, antara lain, agama, suku, ras,
golongan, gender, atau status sosial.
Huruf i
Yang
dimaksud dengan “asas ketertiban dan kepastian hukum” adalah bahwa setiap
materi muatan produk hukum dalam penyelenggaraan Pemerintahan Daerah harus
dapat menimbulkan ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan adanya kepastian
hukum.
Huruf j
Yang
dimaksud dengan “asas keseimbangan, keserasian, dan keselarasan” adalah bahwa
setiap materi muatan produk hukum dalam penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
harus mencerminkan keseimbangan, keserasian, dan keselarasan antara kepentingan
individu dan masyarakat dengan kepentingan bangsa dan negara.
Pasal 6
Cukup
jelas.
Pasal 7
Cukup
jelas.
Pasal 8
Cukup
jelas.
Pasal 9
Cukup
jelas.
Pasal
10
Cukup
jelas.
Pasal
11
Cukup
jelas.
Pasal
12
Cukup
jelas.
Pasal
13
Cukup
jelas.
Pasal
14
Cukup
jelas.
Pasal
15
Cukup
jelas.
Pasal
16
Cukup
jelas.
Pasal
17
Cukup
jelas.
Pasal
18
Ayat
(1)
Yang
dimaksud dengan “keadaan tertentu” adalah untuk menindaklanjuti keputusan
pejabat atau lembaga yang berwenang mengenai pembatalan suatu Peraturan Daerah
atau adanya kebutuhan untuk menindaklanjuti suatu kebijakan nasional atau
peraturan perundang-undangan yang bersifat segera.
Ayat
(2)
Cukup
jelas.
Ayat
(3)
Cukup jelas.
Ayat
(4)
Cukup jelas.
Ayat
(5)
Cukup jelas.
Pasal
19
Cukup
jelas.
Pasal
20
Cukup
jelas.
Pasal
21
Cukup
jelas.
Pasal
22
Cukup jelas.
Pasal
23
Cukup
jelas.
Pasal
24
Cukup
jelas.
Pasal
25
Cukup
jelas.
Pasal
26
Cukup
jelas.
Pasal
27
Cukup
jelas.
Pasal
28
Ayat
(1)
Cukup
jelas.
Ayat
(2)
Masukan
masyarakat secara tertulis disampaikan kepada Bupati atau pimpinan
DPRD dengan disertai
identitas yang jelas.
Masukan masyarakat
secara lisan disampaikan
dalam forum jaring aspirasi,
rapat dengar pendapat atau forum public hearing yang diselenggarakan
dalam rangka pembahasan Rancangan Peraturan Daerah.
Pasal
29
Cukup
jelas.
Pasal
30
Ayat
(1)
Cukup
jelas.
Ayat
(2)
Dalam
hal pembahasan atas rancangan peraturan daerah usul Bupati ditugaskan kepada
Panitia Khusus, pembentukan panitia khusus dilakukan setelah penyampaian
jawaban Bupati terhadap pemandangan umum fraksi-fraksi.
Ayat
(3)
Cukup
jelas.
Ayat
(4)
Cukup
jelas.
Ayat
(5)
Cukup
jelas.
Pasal
31
Cukup
jelas.
Pasal
32
Cukup
jelas.
Pasal
33
Cukup
jelas.
Pasal
34
Cukup
jelas.
Pasal
35
Cukup
jelas.
Pasal
36
Cukup
jelas.
Pasal
37
Cukup
jelas.
Pasal
38
Cukup
jelas.
Pasal
39
Cukup
jelas.
Pasal
40
Ayat
(1)
Cukup
jelas.
Ayat
(2)
Cukup
jelas.
Ayat
(3)
Cukup
jelas.
Ayat
(4)
Huruf a
Cukup
jelas.
Huruf b
Cukup
jelas.
Huruf c
Cukup
jelas.
Huruf d
Cukup
jelas
Huruf e
Cukup
jelas.
Huruf f
Cukup
jelas.
Huruf g
Penyampaian Laporan,
Saran dan pendapat
Badan Anggaran dapat disampaikan
oleh Pimpinan Badan Anggaran atau Anggota Badan Anggaran
yang ditunjuk.
Huruf h
Cukup jelas.
Ayat
(5)
Cukup jelas.
Pasal 41
Cukup jelas.
Pasal
42
Cukup
jelas.
Pasal
43
Ayat
(1)
Cukup
jelas.
Ayat
(2)
Cukup
jelas.
Ayat
(3)
Huruf a
Angka 1
Penyampaian Laporan, Saran dan pendapat Badan Anggaran
dapat disampaikan oleh Pimpinan Badan Anggaran atau anggota Badan Anggaran yang
ditunjuk.
Angka 2
Cukup
jelas.
Angka 3
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Ayat
(4)
Cukup
jelas.
Ayat
(5)
Cukup
jelas.
Ayat
(6)
Cukup
jelas.
Ayat
(7)
Cukup jelas.
Pasal
44
Cukup
jelas.
Pasal
45
Cukup
jelas.
Pasal
46
Cukup
jelas.
Pasal
47
Cukup
jelas.
Pasal
48
Ayat
(1)
Cukup
jelas.
Ayat
(2)
Balegda
dalam membahas tindak lanjut hasil evaluasi Gubernur mengikutsertakan Komisi
DPRD yang membidangi
Ayat
(3)
Cukup
jelas.
Ayat
(4)
Cukup
jelas.
Ayat
(5)
Cukup jelas.
Pasal
49
Cukup
jelas.
Pasal
50
Cukup
jelas.
Pasal
51
Cukup jelas.
Pasal
52
Cukup jelas.
Pasal
53
Cukup jelas.
Pasal
54
Cukup jelas.
Pasal
55
Cukup jelas.
Pasal
56
Cukup jelas.
Pasal
57
Cukup jelas.
Pasal
58
Cukup jelas.
Pasal
59
Cukup jelas.
Pasal
60
Cukup jelas.
Pasal
61
Cukup jelas.
Pasal
62
Cukup jelas.
Pasal
63
Cukup
jelas.
Pasal
64
Cukup
jelas.
Pasal
65
Cukup
jelas.
Pasal
66
Rancangan
Peraturan Daerah dimuat dalam website Pemerintah Daerah paling lambat 1
(satu) hari setelah penyampaian Nota Pengantar Rancangan Peraturan Daerah.
Prolegda, Peraturan Daerah, Peraturan
Bupati, Peraturan Bersama Bupati, dan
Keputusan Bupati tertentu dimuat dalam website Pemerintah Daerah.
Pasal
67
Cukup
jelas.
Pasal
68
Cukup jelas.
Pasal
69
Cukup jelas.
Pasal
70
Cukup jelas.
TAMBAHAN
LEMBARAN DAERAH KABUPATEN CIAMIS NOMOR 29
BAB IV
PENUTUP
A.
kesimpulan
[1] Soerjono Soekanto,
Sri Mamudji,Penelitian Hukum Normatif,
Suatu Tinjaun Singkat, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001, hlm. 10
[2]Amiruddin, Zainal
Asikin,Pengantar Metodelogi Penelitian
Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004, hlm. 25
[3] Endang Danial, Metoda
Penulisan Karya Ilmiah, Alumni,
Bandung, 2009, hlm.62
[5] Majelis
Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia,Panduan Pemasyarakatan Undang-Undang
Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 (Sesuai dengnan Urutan Bab, Pasal dan
ayat), Sekertaris Jendral MPR RI, Jakarta, 2010, hlm, 46
[9] Ibid., hlm 3
[10] Ibid., Hlm 46
0 komentar:
Post a Comment