“ PENAFSIRAN
DAN ANALOGI HUKUM PIDANA“
MAKALAH
Diajukan
Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata
Kuliah Hukum Pidana
Program
Studi siyasah Semester III
Di Susun Oleh :
Asikin Abdul Aziz
PROGRAM STUDI SIYASAH
FAKULTAS
SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG
2013
KATA PENGANTAR
اَلْحَمْدُاِللهِ
الَّذِيْ أَنْزَلَ السَّكِيْنَةَ فِي قُلُوْبِ اْلمُؤْمِنِيْنَ, لِيَزْدَادُوْا
إِيْمَانًا مَعَ إِيْمَانِهِمْ وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى أَشْرَافِ
اْلَأنْبِيَاءِ وَاْلمُرْسَلِيْنَ وَعَلَى أَلِهِ وَصَحْبِهِ اَجْمَعِيْنَ.
اَلْحَمْدُلِّلِه بِفَضْلِ الله وَكَرَامَهُ نَسْتَطِعُ اِنْ نُئَادِى وَنَعْمَلُ
هَذِهِ اْلوَظِيْفَةِ تَحْتَ اْلمَوْضُوْعِ"قِرَاءَةُاْلقُرْاَنَ".
Segala puji dan
kemuliaan hanyalah milik Rabb semata, atas segala rahmat dan ni’mat-Nya yang
telah dikaruniakan kepada segenap hamba-Nya. Shalawat dan salam semoga selamanya
tercurah atas junjungan alam yang menajadi penuntun umatnya ke jalan shirotol
mustaqim.
Atas berkat rahmat dan hidayah Allah SWT,
alhamdulillah kami dapat menyusun dan menyelesaikan sebuah kajian ilmiah
tentang “Lafadz Al’aam” dengan wasilah tugas disertai bimbingan dan dorongan
dari dosen mata kuliah Ushul Fiqih II .Disamping itu, kami sadari sepenuhnya bahwa kajian makalah yang
kami sajikan ini masih jauh dari
kesempurnaan, maka kami selalu berharap atas kritik dan sarannya yang membangun,
guna peningkatan di masa yang akan datang.
Akhirnya kami
berharap, semoga sekecil apapun untaian kata yang kami sajikan sebagai rangkaian ilmu dalam makalah
ini senantiasa menjadi bongkahan-bongkahan ilmu yang senantiasa bermafaat dunia
dan akhirat. Amin
Bandung
18 Februari 2014
Penyusun
DAFTAR
ISI
KATA
PENGANTAR..........................................................................................
DAFTAR
ISI........................................................................................................
BAB
I PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang.......................................................................................... 1
B. Rumusan
Masalah..................................................................................... 1
C. Maksud
Dan Tujuan.................................................................................. 2
BAB
II PEMBAHASAN
A. Definisi
Al-Aam........................................................................................ 4
B. Dzalalah
Lafadz Aam............................................................................... 5
C. Macam
Macam Al-aam............................................................................. 6
D. Macam-
Macam Lafadz Aam Dan Contohmya........................................ 7
BAB
III PENUTUP
A. Kesimpulan................................................................................................ 9
DAFTAR
PUSAKA............................................................................................. 11
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Difalam
titel IX buku ke satu KUHP terdapat pasal-pasal yang menerapkanarti beberapa
istilah misalnyaapa yang di sebut dengan kejahatan, pejabat, hari, bulan, malam
hari adanya makar dan lain-lain
Penasiran
dalam KUHP belum cukup untuk menjelaskan seluruh isi peraturan tyng terdapat di
dalamnya, maka dari itu kami membawakan makalah yang berjudul
B. Rumusan Masalah
Dalam
makalah ini tentu banyak rumusan masalah yang akan kami bahas yaitu :
1.
Apa yang di
maksud dengan penafsiran Hukum Pidana dan macam-macam penafsiran serta fungsinya
terhadap hukum pidana
2.
Apa yag dimaksud
dengan analogi penafsiran dan perbedaannya dengan penafsiran eksternal?
3.
Bagaimana
batas-batas Berlakunya perundang-undangan hukum menurut waktu dan tempatnya
C. Maksud dan
Tujuan
1.
Mahasiswa mampu
menetahui apa yang di maksud dengan penafsiran hukum pidana
2.
Mahasiswa mampu
mengetahui apa yang di maksud dengan analogi hukum pidana
3.
Mampu menerapkan
fungsi dari penafsiran anologi hukum ini
4.
Selain itu juga
mahasiswa bisa memahami dengan luas tentang batas batas berlakunya
perundang-undangan hukum menurut waktu dan tempanya.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Penafsiran Hukum
Pidana
Pengertian
panafsiran menurut R.Soeroso, SH adalah mencari dan menetapkan pengertian atas
dalil-dalil yang tercantum dalam Undang-Undang sesuai dengan yang di kehendaki
serta yang dimaksud oleh pembuat Undang-Undang. Menurut Prof.J.H.A Logeman
Penafsiran adalah mencari maksud dan kehendak pembuat Undang-Undang sedimikian
rupa sehingga tidak enyimpang dari apa yang di kehendaki oleh pembuat
Undang-Undang itu.
Pentingnya
penafsiran dalam hukum pidana itu salah satunya kerena hukum tertulis tidak
dapat dengan segera mengikuti arus, hukum tertulis terlihat baku, tidak dengan
mudah mengikuti perkembangan dan kemajuan masyarakat. Untuk mengikuti
perkembangan itu makaprakrik hukum mengunakan sautu penafsiran.[1]
Penafsiran
dalam KUHP belum cukup menjelaskan seluruh isi peraturan yang terdapat di
dalamnya, dan di luar KUHP pun terdapat pula UUD hukum pidana yang memuat hukum
pidana khusus, yang memerlukan penjelasan tersendiri dan memerlukan penfsiran yang di kenal melalui
ilmu pengetahuan.
1. Macam-Macam
Penafsiran Hukum Pidana
a.
Penafsiran
Autentik
Penafsiran
autentik di sebut juga penafsiran resmi, dalam pembentukan undang undang telah
di masukan banyak keterangan resmi mengenai beberapa istilah atau kata dalam
perundang-undangan yang bersangkutan. Di sebut penafsiran autentik juga karena
tertulis secara jelas dalam undang-undang, artinya berasal dari pembentuk UU itu
sendiri, bukan dari sudut pelaksana hukum yakni hakim.
b.
Penafsiran
Historis
Penafsiran
Historis yaitu cara penafsiran suatu norma dalam suatu undang-undang, yang di
dasarkan pada sejarah ketika perturan perundang-undangan itu di susun di
bicarakan di tingkat badan-badan pembentukan perundang-undangan. Mencari
pengertian dilakukan dengan meneliti atau mempelajari pendapat-pendapat para
anggota parlemen dan pemerintah dalam pembentukan undang-undang tersebut.
c.
Penafsiran
Sistematis
Mencari
pengertian dari suatu rumusan norma hukum dengan cara melihat hubungan bagian
atau rumussan satu dengan yang lainnya dari suatu undang-umdamg, sehingga dapat
di tarik pengertian tertentu. Secara sistematis artinya dari urut-urutan
pemuatan atau bidang-bidang pengaturan dalam undang-undang ada keterkaitan atau
hubungan antara satu dengan yang lainnya.
d.
Penafsiran Logis
Adapun
yang ke empat itu ada penafsiran logis yang artinya yaitu, suatu macam
penafsiran dengan cara menyelidiki untuk mencari dari sebnarnya dari di
bentuknya sutu rumusan norma dalam undang-undang degan menghubungkan (Mencari
Hubungannya)dengan urusan norma yang lain yang masih ada sangkut paut nya
dengan norma tersebut.
e.
Penafsiran
Gramatikal
Kit
etahui bahwasanya penafsiran gramatikal tersebut juga penafsiran menurut atau
atas dasar bahasa sehari-hari yang digunakan oleh masyarakat yang bersangkutan.
f.
Penafsiran
teleologis
Penafsiran
teleologis ialah suatu penafsiran terhadap suatu runusab norma dalam
undang-undang berdasarkan maksud pembentuk undang-undang dalam merumuskan norma
tersebut.
g.
Penafsiran
Analogis
Penafsiran
analogis adalah macam penafsiran terhadap suatu rumusan norma atau bagian/unsur
norma tertentu dalam undang-undang, dengan cara memperluas cara berlakunya
suatu norma dengan meng abstrakan rasio tertentu itu sedimikian rupa luasnya
pada suatu kejadian kongkrit tertentu yang sesungguhnya tidak termasuk dalam
isi dan pngertian norma itu. Dengan cara demikian, kejadian kongkrit tadi
menjadi masuk kedalam isi dan pengertian norma tersebut.
h.
Penafsiran
ekstensif
Penafsiran
ekstensid yaitu penafsiran dengan memperluas dari kata-kata dalam peraturan
sehingga suatu peristiwa dapat di masukin.
i.
Penafsiran
Acontrario
Penafsiran
acontrario adalah penafsiran dengan cara mempersembit berlakunya norma
undang-undang, jadi bertolak belakang dengan penafsiran analogi dan ekstensi.
Adapun
urutan-urutan menggunakan penafsiran adalah sebagai berikut:
1.
Penafsiran
secara otentik, yaitu mencari pasal-pasal dari undang-undang :
2.
Penafsiran
menurut penjelasan undang-undang (memorie van teorictiching)
3.
Penafsiran
sesuai dengan jurisprudensi, terutama dalam mencari putusan-putusan MA, Fatwa
MA, putusan-putusan banding, atau pengadilan/mahkamah, pada tingkat pertama
yang telah mempunyai ketentuan tetap dan lazim di ikuti pengadilan lain.
4.
Penghasilan
menurut doktrin (ilmu pengetahuan hukum).[2]
2. Fungsi
Penafsiran Dalam Hukum Pidana
Menurut van
Apeldoorn menjelaskan hakikat dari kegiatan penafsiran itu sebagai suatu usaha
mencari kehendak pembuat undang-undang yang pernyataannya kurang jelas.
Fungsi dari [enafsiran
pada dasarnya yaitu :
a.
Memaknai kaidah
atau asas hukum
b.
Menghubungkan
suatu fakta hukum dengan kaidah hukum.
c.
Menjamin
penindakan atau penerapan hukum dapat di lakukan secara tepat, benar dan adail.
d.
Mempertemukan kaidah
hukum dengan perubahan-perubahan sosial agar kaidah hukum tetap aktua; mam[u
memenuhi kebutuhan-kebutuhan sesuai dengan perubahan sosial.[3]
B. Analogi Dalam
Hukum Pidana
1. Pengertian
Penafsiran Analogi
Penafsiran
analogi adalah memberi penafsiran pada suatu peraturan hukum dengan memberi
kiyas pada kata-kata dalam peraturan tersebut sesuai dengan azas hukumnya
sehingga suatu peristiwa yang sebenarnya tidak masuk kedalamnya di anggap sesuai
dengan peraturan tersebut, yang di maksud penafsiran analogi ialah memperluas
cakupan atau pengertian dari ketentuan undang-undang. Analogi sangat erat
hubungannya dengan penguraian pasal 1 KUHP. Dari ketentuan pasal1 KUHP di
simpulkan bahwa salah satu asas yang terkandung di dalamnya adalah :” dilarang
menggunakan analogi”
Penafsiran
analogi telah menimbulkan perdebatan para yuris, menantang dan meneerima
penafsiran analogi. Secara ringkas penafsiran analogi adalah apabila terhadap
suatu perbuatan yang pada saat di lakukannya tidak merupakan tindak pidana, di
terapkan ketentuan hukum pidana yang berlaku untuk tindak pidana, di terapkan
ketentuan hukum pidana yang berlaku untuk tindak pidana yang lain serta
mempunyai sifat dan bentuk yang sama dengan perbuatan tersebut, sehingga kedua
perbuatan tersebeut di pandang analog satu dengan yang kainnya.
Menurut Prof.Andi Hamzah, ada dua
macam analogi, yaitu :
·
Gesetz Analogi
Ialah
analogi terhadap perbuatan yang sama sekali tidak ada dalam hukum pidana.
·
Recht analogi
Ialah
analogi terhadap perbuatan yang mempunyai kemiripan dengan perbuatan yang
dilarang dalam ketentuan hukum pidana.
Ada
alasan yang di kemukakan oleh pihak yang menyetujuai adanya penafsiran analogi
yaitu perkembangan masyarakat yang sangat cepat seingga hukum pidana harus
berkembang sesuai dengan masyarakat tersebut. Sementara yang menentang adanya
penafsiran analogi ini beralasan bahwa penerapan analogi sangat berbahaya
karena dapat menyebabkan ketidak pastian hukum dalam masyarakat.
2. Perbedaan
Penafsiran Analogi Dan Tafsiran Ekstensif
Dalam tafsiran
ekstensif, kita berpegang pada aturan yang ada, memaknai sebuah kata dengan
maka yang hidup dalam masyarakat sekarang, tidak merut maknanya ketika waktu
undang-undang di bentuk. Sedangkan dalam penafsiran analogi, bahwa peraturan
yang menjadi soal itu tidak dapat di msukan dalam aturan yang ada, akan tetapi
perbuatan itu mnurut hakim termasuk kedalam perbuatan yang mirip perbuatan itu.
Jadi sesungguhnya jika di gunakannya analogi, yang di buat untuk menjadikan
perbuatan pidana pada sutu perbuatan yang tertentu, bukanlah lagi aturan yang
ada,
Penaafsiran
ekstensif dan analogi pada hakikatnya adalah sama, hanya ada perbedaan grudial
saja, tetapi di pandang secara pisycologis bagi orang yang mnggunakannya ada
perbedaan yang besar antara keduanya, yaitu :
a.
Penafsisran
ekstensif
Masih
berpegang pada bunyinya aturan, anya ada perkataan yang tidak lagi di beri
makna seperti pada waktu terjadinya undang-undang, tetapi pada waktu
penggunanya, maka dari itu masih dinamai interpretasi.
b.
Penafsiran
analogi
Sudah
tidaj lagi berpegang pada aturan yang ada, melainkan pada inti, ratio dari
adanya. Oleh karena inilah yang bertentangan dengan asas legalitas, sesbab asas
ini mengharuskan adanya suatu aturan sebagai dasar.[4]
3. Batas Batas berlakunya
Perundang-Undangan Hukum Pidana Menurut Waktu Terjadinya Perbuatan Hukum
Pidana.
Waktu
perbuatan pidana selalu sesuai dengan tempat perbuatan pidana. Ada beberapa
manfaat mengetahui tentangwaktu perbuatan pidana, menurut E.Y. Kante, S.H dan S.R Sianturi, S.H
(1982) di temukan dalam undang-undang hakim pidana, yaitu :
·
Peranan waktu
dalam pasal 1 KUHP[5],
1.
Tiada suatu
perbuatan dapat di pidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam
perundang-undangan yang telah ada, sebelum perbuatan di lakukan
2.
Jika sesudah
perbuatan di lakukan ada perubahan dalam perundang-undangan, di pakai aturan
yang paling ringan bagi terdakwa.
·
Peranan waktu
dalam pasal 1 KUHP
·
Bagi seseorang
yang tidak terus menerus gila, apakah ketika melakukan tindak pidana, ia dalam
keadaan gila atau tidak
·
Kekadarluarsaan
dalam penuntutan
·
Batas waku
pengaduan dan penarikan pengaduan suatu delik aduan.
·
Pengulangan
tindak pidana tertentu
·
Apakah telah
terjadi “tertangkap tangan” atau tidak dan lain sebagainya.
Mengenai
batas-batas berlakunya perundang-undangan hukum pidana di indonesia menurut
tempat dan terjadinya perbuatan pidana saat kita lihat dalam pasal pasal KUHP,
yaitu:
Pasal
2 sampai 9 KUHP Mengatur batas-batas berlakunya perundang-undangan hukum pidana
menurut tempat terjadinya perbuatan pidana.
4. Batas Batas
berlakunya Perundang-Undangan Hukum Pidana Menurut Tempat Terjadinya Perbuatan
Hukum Pidana
` Jelaslah bahwa waktu dan tempat dalam
perbuatan pidana sangat penting sebagaimana tertera dalam pasal 121 jo pal 143
ayat (2) hurup b, KUHAP, yang mengharuskan menyebut tempat dan waktu perbuatan
pidana dalam surat dakwaan dengan ancaman batal demi hukuman.
Msnfaat
mengetahui tempat tindak pidana adalah untuk menjawab pertanyaan mengenai
apakah tindak pidana terjadi di wilayah indonesia atay luar indonesia (pasal 2
s.d KUHP), pengendalian manakah yang berwenang untuk mengadili suatu perkara.
Tempat
suatu tindak pidana, yaitu tempat pelaku melakukan tindakan pidana yang ketik
itu telah sempurna pula dari semua unsurtindak pidana tersebut.
Cara-cara
yang lazim di gunakan untuk pemecahannya adalah mengikuti salah satu pola dari
empat macam ajaran, yaitu :
1.
Ajaran tidak
badaniyah. Untuk mennentukan tempat kejadian, pusat perhatian adalah tempat
pelaku melakukan tindak pidana, dan unsur-unsurt indak pidana saat itu telah
sempurna.
2.
Ajaran tentang
bekerjanya alat, tempat kejadian adalah tempat bekerjanya alat yang di gunakan
dalam suatu tindak pidana dan telah membuat sempurna (menimbulkan) suatu tindak
pidana.
3.
Ajaran dari
tindakan. Tempat kejadian suatu tindak pidana adalah tempat terjadinya suatu
akibat yang merupakan penyempurnaan dari tindak pidana yang telah terjadi.
4.
Ajaran berbagai
tepat tindak pidana. Menurut ajaran ini tempat tindak pidana adalah gabugan
dari ketiga-tiganya atau dua dar ajaran-ajaran di atas.[6]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pengertian
panafsiran menurut R.Soeroso, SH adalah mencari dan menetapkan pengertian atas
dalil-dalil yang tercantum dalam Undang-Undang sesuai dengan yang di kehendaki
serta yang dimaksud oleh pembuat Undang-Undang. Menurut Prof. J .H.A Logeman
Penafsiran adalah mencari maksud dan kehendak pembuat Undang-Undang sedimikian
rupa sehingga tidak enyimpang dari apa yang di kehendaki oleh pembuat
Undang-Undang itu. Macam-macam
penafsiran hukum pidana, penafsiran aucountrario, ekstensif, analogis,
teleologis, gramatikal, logis, sistematis, historis, autetik.
Penafsiran
analogi adalah memberi penafsiran pada suatu peraturan hukum dengan memberi
kiyas pada kata-kata dalam peraturan tersebut sesuai dengan azas hukumnya
sehingga suatu peristiwa yang sebenarnya tidak masuk kedalamnya di anggap
sesuai dengan peraturan tersebut.
Perbadaan
penafsiran ekstensif dan analogi. Dalam tafsiran ekstensif, kita berpegang pada
aturan yang ada, memaknai sebuah kata dengan makna yang hidup dalam masyarakat
sekarang, tidak menurut maknanya ketika undang-undang di bentuk. Sedangkan
dalam penafsiran analogi, bahwa peraturan yang menjadi soal itu, tidak dapat di
masukan ke dalam aturan yang ada, akan tertapi perbuatan itu menurut hakim
termasuk kedalam perbuatan pidana karena termasuk intinya aturan yang ada yang
mengenai perbuataan itu.
Mengenai
batas-batas berlakunya undang-undang hukum pidana, pasal 2 sampai 9 KUHP
mengatur batas-batas berlakunya perundang-undangan hukum pidana melalui tempat
terjadinya perbuatan pidana.
DAFTAR
PUSTAKA
·
Pipin Syarifin, Hukum Pidana Di Indonesia, Pustaka
Setia, Bandung , 2008.
·
Prof. Moeljatno,
Asas-asas Hukum Pidana, Rineka Cipta,
Jakarta, 2008.
·
http://
tiaramon.wordpress.com
Diakses pada tanggal 15 oktober 2013,
15.43
·
http://
wanuahukum. wordpress.com
Diakses pada tanggal 15 oktober 2013,
21.10
·
Sofiyan Effendi.
Himpunan Undang-Undang Pokok Dalam
Penjelasan Dan Peraturan Pelengkap,
Ghalia Indonesia, 1985.
·
Kanter, EY. SH ,
Dan S.R Sianturi S.H ,1982 Asas-Asas
Hukum Di Indonesia Dan Penerapannya, jakarta: Alumni AHM-PTHN
·
Courtes. t.t.
asas –asas hukum pidana dan penerapannya
·
Bagir Manan,
S.H, MCI. Dr., Dasar-dasar perundangan di
indonesia, Bandung: fakultas Hukum Universitas Padjajaran Bandung.
·
Susilo R, 1983,Kitab Undang-undang Hukum Pidana serta
Komentar-komentar, Bogor: Politeria
[1] http:// wanuahukum.wordpress.com
Diakses
pada tanggal 15 oktober 2013,23.10
[2]
Pipin Syarifin, S.H.Hukum Pidana Di
Indonesia, pustaka setia, Bandung 2008, hal. 35-37
Di
akses pada tanggal 15 Oktober 2013, 15.43
[4] Bambang Pornomo, S.H,Asas-asas Hukum Pidana, Ghalia
Indonesia,1981
[6] Pipin Syarifin S.H, Hukum Pidana di indonesia, pustaka
setia, bandung,2008, Hal : 42-43
0 komentar:
Post a Comment