BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Arab Saudi dikenal sebagai salah satu Negara muslim terbesar dan dikenal
pula sebagai tempat awal mula Islam
masuk. Kemudian Negara ini juga dikenal sebagai Negara yang menjadikan
Al-Quran dan Hadits sebagai dasar konstitusinya dengan Madzhab Hanbali sebagai
madzhab Negara, Tahir Mahmood meng-kategorikan Saudi Arabia pada negara-negara
yang menerapkan hukum Islam secara tradisional, di mana hukum Islam tidak
beranjak menjadi sebuah peraturan perundang-undangan. Dengan melihat latar
belakang sejarah hukum Islam, wilayah jazirah Arab awalnya menganut mazhab
Maliki[1]. Hal-hal di atas be
rimplikasi pada penerapan hukum publik maupun hukum privat di Negara
tersebut khususnya hukum keluarga. Maka di sini pemakalah akan mencoba mengulas
tentang hukum keluarga Islam di Arab Saudi. Sebelum itu, berikut uraian dan
sistem hukum yang diterapkan di Arab Saudi
Arab Saudi atau Saudi Arabia atau Kerajaan Arab Saudi adalah negara Arab
yang terletak di Jazirah Arab. Beriklim gurun dan wilayahnya sebagian besar
terdiri atas gurun pasir dengan gurun pasir yang terbesar adalah Rub Al Khali.
Orang Arab menyebut kata gurun pasir dengan kata sahara.
Negara Arab Saudi ini berbatasan langsung (searah jarum jam dari arah
utara) dengan Yordania, Irak, Kuwait, Teluk Persia, Uni Emirat Arab, Oman,
Yaman, dan Laut Merah.
Pada tanggal 23 September 1932, Abdul Aziz bin Abdurrahman
as-Sa'ud—dikenal juga dengan sebutan Ibnu Sa‘ud—memproklamasikan berdirinya
Kerajaan Arab Saudi atau Saudi Arabia (al-Mamlakah al-‘Arabiyah as-Su‘udiyah)
dengan menyatukan wilayah Riyadh, Najd (Nejed), Ha-a, Asir, dan Hijaz. Abdul
Aziz kemudian menjadi raja pertama pada kerajaan tersebut. Kelompok kami akan
membahas bagaimana Administrasi Negara di arab Saudi
B.
Rumusan
masalah
1.
Bagaiamana tatanegara Sejarah Arab
Saudi ?
2.
Bagaimana keadaan Sistem
Pemerintahan di saudi Arabia ?
3.
Ada berapa macam Hukuman yang
diberlakukan di Arab ?
4. Bagaimana Komisi-komisi Majelis Syura di Saudi Arabia ?
5. Bagaimana Administrasi Pemerintahan di Saudi arabia ?
6. Bagaimana Sistem Peradilan di Saudi Arab ?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Sejarah Arab
Saudi
Arab Saudi atau Kerajaan Arab Saudi
adalah negara Arab yang terletak di Jazirah Arab. Beriklim gurun dan wilayahnya
sebagian besar terdiri atas gurun pasir dengan gurun pasir yang terbesar adalah
Rub Al Khali. Orang Arab menyebut kata gurun pasir dengan kata sahara. Negara
Arab Saudi ini berbatasan langsung (searah jarum jam dari arah utara) dengan
Yordania, Irak, Kuwait, Teluk Persia, Uni Emirat Arab, Oman, Yaman, dan Laut
Merah.
Pada tanggal 23 September 1932,
Abdul Aziz bin Abdurrahman Al-Sa’ud memproklamasikan berdirinya Kerajaan Arab
Saudi atau Saudi Arabia (Al-Mamlakah Al-‘Arabiyah Al-Su’udiyah) dengan
menyatukan wilayah Riyadh, Najd (Nejed), Ha-a, Asir, dan Hijaz. Abdul Aziz
kemudian menjadi raja pertama pada kerajaan tersebut. Dengan demikian dapat
dipahami, nama Saudi berasal dari kata nama keluarga Raja Abdul Aziz Al-Sa’ud
Secara histories dikenal bahwa
bangsa Arab sebelum Islam mereka hidup
dalam kegelapan moral, yaitu sifat saling membunuh, merebut kekuasaan, dan
keangkuhan kesukuan, atau golongan. Dengan moral yang kurang sosialisitis
seperti itu, maka keberadanaan Islam yang disamapaikan oleh Nabi Muhammad saw,
dengan Alqur’an sebagai wahyu. Tugas utama Nabi Muhammad SAW., adalah
menyempurnakan budi pekerti.
Permasalahan sosial terutama
persoalan-persoalan yang menyentuh aspek hukum Alqur’an adalah dasar penggalian
hukum. Bahkan jika kasus hukum itu tidak ada dasarkan hukumnya Nabi Muhammad
SAW., menunggu wahyu, seperti kasus kewarisan. Setelah wafat Nabi Muhammad
SAW., kekuasaan Islam berturut-turut dipegang oleh empat sahabat nabi, yaitu
Abu Bakar, Umar bin Khatthab, Usman bin Afwan dan Alibin Abi Tahalib. Alqur’an sebagai
undang-undang dasar dan syariah sebagai
hukum dasar
Demikian juga, pada masa kerajaan
Umayah dan kerajaan Abassiyah Alqur’an, tetap sebagai Undang-Undang Dasar sedangkan
syariah sebagai hukum resmi Negara, jika persoalan hukum tidak didapatkan dalam
ketiga sumber hukum tersebut maka ditempuh jalan ijtihad. Dasar yang sama juga digunakan oleh kerajaan-kerjaan Islam
setelah runtuhnya kedua kerajaan Islam terebesar tersebut. Termasuk kerajaan
Turki Usmani yang pernah menguasai sepertiga dunia terutama dunia Islam,
sebelum terjadi pembaharuan hukum oleh Kamal Antatur.
Akar sejarah Kerajaan Arab Saudi
bermula sejak abad ke-12 H atau abad ke18 M. Ketika itu, di jantung Jazirah
Arabia, tepatnya di wilayah Najd yang secara historis sangat terkenal, lahirlah
Negara Saudi yang pertama yang didirikan oleh Imam Muhammad bin Saud di
“Ad-Dir’iyah”, terletak di sebelah barat laut kota Riyadh pada tahun 1175
H./1744 M dan meliputi hampir sebagian besar wilayah Jazirah Arabia. Negara ini
memikul di pundaknya tanggung jawab dakwah menuju kemurnian Tauhid kepada Allah
Tabaraka wa Ta’ala, mencegah prilaku bid’ah dan khurafat, kembali kepada ajaran
para Salaf Shalih, dan berpegang teguh kepada dasar-dasar agama Islam yang
lurus. Periode awal Negara Arab Saudi ini berakhir pada tahun 1233 H/1818 M.
Periode kedua dimulai ketika Imam Faisal bin Turki mendirikan Negara Saudi
kedua pada tahun 1240 H./1824 M. Periode ini berlangsung hingga tahun 1309
H/1891 M. Pada tahun 1319 H/1902 M, Raja Abdul Aziz Rahimahullah berhasil
mengembalikan kejayaan kerajaan para pendahulunya, ketika beliau merebut
kembali kota Riyadh yang merupakan ibukota bersejarah kerajaan ini. Semenjak
itulah Raja Abdul Aziz mulai bekerja dan membangun serta mewujudkan kesatuan
sebuah wilayah terbesar dalam sejarah Arab modern, yaitu ketika beliau berhasil
mengembalikan suasana keamanan dan ketenteraman ke bagian terbesar wilayah
Jazirah Arabia, serta menyatukan seluruh wilayahnya yang luas ke dalam sebuah
negara modern yang kuat yang dikenal dengan nama Kerajaan Arab Saudi. Penyatuan
dengan nama ini, yang dideklarasikan pada tahun 1351 H/1932 M, merupakan
dimulainya fase baru sejarah Arab modern.
Raja Abdul Aziz Al-Saud Rahimahullah
pada saat itu menegaskan kembali komitmen para pendahulunya, raja-raja dinasti
Saud, untuk selalu berpegang teguh pada prinsip-prinsip Syariah Islam, menebar
keamanan dan ketenteraman ke seluruh penjuru negeri kerajaan yang sangat luas,
mengamankan perjalan haji ke Baitullah, memberikan perhatian kepada ilmu dan
para ulama, dan membangun hubungan luar negeri untuk merealisasikan
tujuan-tujuan solidaritas Islam dan memperkuat tali persaudaraan di antara
seluruh bangsa arab dan kaum muslimin, serta sikap saling memahami dan
menghormati dengan seluruh masyarakat dunia. Di atas prinsip inilah, para putra
beliau sesudahnya mengikuti jejak langkahnya dalam memimpin Kerajaan Arab
Saudi. Mereka adalah: Raja Saud, Raja Faisal, Raja Khalid, Raja Fahd, semoga Allah
merahmati mereka semuanya, dan Pelayan Dua Kota Suci Raja Abdullah bin Abdul
Aziz, semoga Allah melindunginya.
B.
Sistem
Pemerintahan
Arab Saudi menggunakan sistem
Kerajaan atau Monarki. Sistem pemerintahan yang digunakan negara ini adalah
sistem negara Islam, dimana Alquran dan Syariat menjadi dasar dari pemerintahan
yang dijalankan Sistem pemerintahan Arab Saudi sendiri adalah presidensil
karena dipimpin oleh seorang raja. Raja selain menjadi kepala negara juga
memiliki beberapa peran disini sehingga sistem pemerintahanya disebut juga
sebagai monarki absolut. Raja Arab Saudi memiliki beberapa peran :
·
Kepala Negara
·
Perdana Menteri
·
Panglima Angkatan Perang
·
Penjaga dua tempat suci
·
Mengangkat/Memberhentikan Dewan
Menteri
·
Menafsirkan hukum Arab Saudi tidak
mengenal sistem kepartaian.
Tidak ada pemilihan umum, kalaupun ada hanya untuk memilih pemimpin
lembaga legislatif dan yudikatif yang ditentukan oleh raja. Arab Saudi memiliki
tiga lembaga yaitu Eksekutif, Legislatif, dan Yudikatif. -Badan Eksekutif –
Disebut juga sebagai “Dewan Menteri Pemerintahan Arab Saudi”. Beranggotakan
Raja sebagai perdana menteri, wakil perdana menteri, menteri – menteri negara
dan penasihat raja. Berikut nama-nama raja yang pernah memerintah Arab Saudi:
·
Raja Abdul Aziz (Ibnu Saud),
pendiri kerajaan Arab Saudi: 1932 – 1953
·
Raja Saud, putra Raja Abdul Aziz :
1953 – 1964 (kekuasaannya diambil alih oleh saudaranya, Putera Mahkota Faisal)
·
Raja Faisal, putra Raja Abdul Aziz
: 1964 – 1975 (dibunuh oleh keponakannya, Faisal bin Musa’id bin Abdul Aziz)
·
Raja Khalid, putra Raja Abdul Aziz
: 1975 – 1982 (meninggal karena serangan jantung)
·
Raja Fahd, putra Raja Abdul Aziz :
1982 – 2005 (meninggal karena sakit usia tua)
·
Raja Abdullah, putra Raja Abdul
Aziz : 2005-sekarang.
Ø Jenis
kekuasaan: Monarki (Transisi ke arah Konstitusional sejak 2002)
Konstitusi Arab Saudi adalah Al
Quran dan Sunnah. Hukum dasar negara adalah Syariah Islam. Dalam aplikasi
pemerintahan, Raja menjadi sumber otoritas bagi setiap otoritas politik yang
ada di Arab Saudi. Raja juga berhak menafsirkan hukum setelah menjalani
sejumlah konsultasi dan menjalin konsensus. Konsultasi dan konsensus ini juga
menjadi dasar hukum di bawah Syariah. Menurut hukum dasar Arab Saudi tahun
1992, terdapat sekurangnya 4 otoritas (subordinat raja) di dalam negara: Dewan
Menteri, Dewan Konsultatif, Pengadilan, dan Ulama.
Ø Bentuk negara:
Kesatuan (Sentralis)
Pemerintahan Arab Saudi terbagi
atas 13 mintaqah (propinsi) yang diperintah langsung oleh Raja, yaitu: Al
Bahah, Al Hudud ash Shamaliyah (a.k.a.Northern Border), Al Jawf, Al Madinah
(a.k.a. Medina), Al Qasim, Ar Riyad (a.k.a. Riyadh), Ash Sharqiyah (a.k.a.
Eastern), ‘Asir, Ha’il, Jizan, Makkah (a.k.a. Mecca), Najran, dan Tabuk..
Undang-undang, pejabat pemerintah, dan pengadilan seluruhnya ada dibawah
otorisasi Raja.
Ø Sistem
pemerintahan: Presidensil (Raja)
Raja selain selaku kepala negara,
ia juga merupakan perdana menteri, panglima tertinggi angkatan perang, penjaga
dua tempat suci (Mekkah dan Madinah), mengangkat dan memberhentikan Dewan
Menteri, menafsirkan hukum. Otoritas politik tertinggi di bawah raja adalah
putra mahkota. Putra mahkota ini ditentukan oleh raja, asalkan tetap diambil
dari keturunan Abdul Aziz. Putra mahkota bahkan dapat memerintah atas nama
raja, bahkan sebelum mahkota diestafetkan. Dewan Menteri bertindak selaku
legislatof dan eksekutif pelaksana raja. Kedua peran ini didasarkan atas restu
raja. Hukum yang ditetapkan dewan menteri akan menjadi hukum aplikatif dalam 30
hari, kecuali raja memvetonya. Umumnya, para anggota dewan menteri pun
keturunan Abdul Aziz. Majlis asShura adalah dewan konsultatif. Anggotanya
sekitar 120 orang. Tugas mereka adalah memberi nasehat kepada raja. Anggota
majelis ini pun diangkat dan diberhentikan oleh raja. Di Indonesia, majelis ini
mirip Wantimpres. Lembaga pengadilan (yudikatif) menurut hukum dasar Arab Saudi
haruslan independen. Kepala pengadilan biasanya berasal dari bangsawan ataupun
keturunan al-Wahhab. Menteri Kehakiman Arab Saudi biasanya juga menjadi Grand
Mufti. Setiap hakim diangkat dan diberhentikan oleh Raja. Ulama adalah lembaga
yang ada dalam hukum dasar Arab Saudi yang fungsinya menjadi metode penafsiran
hukum Islam yaitu Ijma (konsensus) dan Shura (Konsultasi). Anggota Ulama
terdiri atas keturuan Abdul Aziz dan al-Wahhab. Ulama ini dikepalai oleh Grand
Mufti.
Ø
Parlemen: Unikameral (Council of
Ministers)
Sebenarnya Council of Minister
(CoM) bukanlah parlemen layaknya di negara-negara demokrasi a la Barat. Ia
lebih mirip “quasi-legislative” dan tidak primus interpares dengan raja. Dewan
Menteri bertindak selaku legislator dan eksekutif pelaksana raja. Kedua peran
ini didasarkan atas restu raja. Hukum yang ditetapkan dewan menteri akan
menjadi hukum aplikatif dalam 30 hari, kecuali raja memvetonya. Umumnya, para
anggota dewan menteri pun keturunan Abdul Aziz.
C.
Macam-macam
Hukuman
Hukum Pancung
Apabila ada salah seorang
masyarakat yang berani membunuh sesama manusia, maka dia akan mendapatkan
hukuman pancung atau hukuman mati (qishas). Adapun pengertian qisas (bahasa
arab: قصاص) adalah istilah dalam hukum islam yang
berarti pembalasan (memberi hukuman yang setimpal), mirip dengan istilah
“hutang nyawa dibayar nyawa”. Dalam kasus pembunuhan, hukum qisas memberikan
hak kepada keluarga korban untuk meminta hukuman mati kepada pembunuh. Dalam
surat Al-Baqarah ayat 178 di jelaskan bahwa :
$pkr'¯»t tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä |=ÏGä. ãNä3øn=tæ ÞÉ$|ÁÉ)ø9$# Îû n=÷Fs)ø9$# ( çtø:$# Ìhçtø:$$Î/ ßö6yèø9$#ur Ïö7yèø9$$Î/ 4Ós\RW{$#ur 4Ós\RW{$$Î/ 4 ô`yJsù uÅ"ãã ¼ã&s! ô`ÏB ÏmÅzr& ÖäóÓx« 7í$t6Ïo?$$sù Å$rã÷èyJø9$$Î/ íä!#yr&ur Ïmøs9Î) 9`»|¡ômÎ*Î/ 3 y7Ï9ºs ×#ÏÿørB `ÏiB öNä3În/§ ×pyJômuur 3 Ç`yJsù 3ytGôã$# y÷èt/ y7Ï9ºs ¼ã&s#sù ë>#xtã ÒOÏ9r& ÇÊÐÑÈ
“Wahai orang-orang yang beriman ! Diwajibkan atas kamu hukum
qishash pada orangorang yang terbunuh; orang merdeka dengan orang merdeka ,
dan hamba sahaya dengan hamba sahaya dan perempuan dengan perempuan. Akan
tetapi barangsiapa yang diampunkan untuknya dari saudaranya sebahagian, maka
hendaklah mengikuti dengan yang baik, dan turiaikan kepadanya dengan cara yang
baik. Demikianlah keringanan daripada Tuhanmu dan rahmat. Tetapi barangsiapa
yang (masih) melanggar sesudah demikian, maka untuknya adalah azab yang pedih.”
Dari ayat ini, ada perkecualian
hukum qisas yaitu apabila keluarga korban memaafkan. Sebagai pemaaf tersebut,
pembunuh mengganti denda dengan 100 ekor unta, 40 diantaranya unta yang sedang
hamil. Kalau dirupiahkan mencapai Rp 4,7 miliar. Adapun sebab-sebab turunnya
ayat ini yaitu untuk memotong budaya jahiliah yang berkembang sebelum datangnya
Islam. Pada waktu itu, jika ada satu orang dibunuh, maka akan membunuh balik
sang pembunuh hingga ke keluarga pembunuh. Sehingga turunlan ayat ini yang
menekankan asas keseimbangan, yaitu satu nyawa di balas satu nyawa. Bukan satu
nyawa di balas satu keluarga.
Penggolongan ini ditinjau dari segi pertalian
antara satu hukuman dengan hukuman
yang lainnya, dan dalam hal ini ada empat macam hukuman yaitu:
a.
Hukuman pokok (‘Uqubah
Ashliyah)yaitu hukuman yang ditetapkan untuk jarimah yang bersangkutan sebagai
hukuman yang asli, seperti hukuman qishash untuk jarimah pembunuhan, atau
hukuman potong tangan untuk jarimah pencurian.
b.Hukuman
pengganti (‘Uqubah Badaliyah) yaitu hukuman yang menggantikan hukuman pokok,
apabila hukuman pokok tidak dapat di laksanakan karena alasan yang sah, seperti
hukuman diyat (denda) sebagai pengganti hukuman
c.
qishash Hukuman tambahan (‘Uqubah
Taba’iyah) yaitu hukuman yang mengikuti hukuman pokok tanpa memerlukan
keputusan tersendiri seperti larangan
menerima warisan bagi orang yang melakukan pembunuhan terhadap keluarga.
d.
Hukuman pelengkap (‘Uqubah
Takmiliyah)yaitu hukuman yang mengikuti hukuman pokok dengan syarat ada
keputusan tersendiri dari hakim, dan syarat inilah yang menjadi ciri pemisahnya
dengan hukuman tambahan. Contohnya mengalungkan tangan pencuri yang telah
dipotong di lehernya.
Penggolongan kedua ini ditinjau dari kekuasaan hakim dalam menentukan
berat ringannya hukuman. Dalam hal ini ada dua macam hukuman:
a.
Hukuman yang hanya mempunyai satu
batas, artinya tidak ada batas tertinggi atau batas terendah, seperti hukuman
jilid (dera) sebagai hukuman had (80 kali atau 100 kali).
b.
Hukuman yang mempunyai batas
tertinggi dan batas terendahnya, dimana hakim diberi kebebasan memilih hukuman
yang sesuai antara kedua batas tersebut, seperti hukuman penjara atau jilid
pada jarimah-jarimah ta’zir.
Penggolongan ketiga ini ditinjau dari segi besarnya hukuman yang telah
ditentukan, yaitu:
a.
Hukuman yang telah ditentukan macam
dan besarnya dimana hakim harus melaksakannya tanpa dikurangi atau di tambah,
atau diganti dengan hukuman yang lain. Hukuman ini disebut hukuman keharusan.
b.
Hukuman yang diserahkan kepada
hakim untuk dipilihnya dari sekumpulan hukuman-hukuman yang ditetapkan oleh
syara’ agar dapat disesuaikan dengan keadaan pembuat dari perbuatannya. Hukuman
ini disebut hukuman pilihan.
c.
Penggolongan ditinjau dari segi
tempat dilakukannya hukuman, yaitu:
d.
Hukuman badan, yaitu yang
dijatuhkan atas badan seperti hukuman mati, dera, dan penjara.
e.
Hukuman jiwa, yaitu dikenakan atas
jiwa seseorang, bukan badannya, seperti ancaman, peringatan atau teguran.
f.
Hukuman harta, yaitu yang dikenakan
terhadap harta seseorang, seperti diyat, denda dan perampasan harta.
Penggolongan kelima ditinjau dari
segi macamnya jarimah yang diancamkan hukuman, yaitu:
a.
Hukuman hudud, yaitu hukuman yang
ditetapkan atas jarimah-jarimah hudud.
b.
Hukuman qishash dan diyat, yaitu
yang ditetapkan atas jarimah-jarimah qisas diyat.
c.
Hukuman kifarat, yaitu yang
ditetapkan untuk sebagian jarimah qishash dan diyat dan beberapa jarimah
ta’zir.
d.
Hukuman ta’zir, yaitu yang
ditetapkan untuk jarimah-jarimah ta’zir.
Hukuman
Zina
Zina secara harfiah berarti fahisyah, yaitu
perbuatan keji. Secara istilah adalah hubungan kelamin antara seorang lelaki
dengan seorang perempuan juga satu sama lain tidak terikat dalam hubungan
perkawinan. Nabi Muhammad SAW telah menyatakan bahwa zina merupakan dosa paling
besar kedua setelah syirik (mempersekutukan Allah). Hukuman zina ditetapkan
tiga hukuman, yaitu dera, pengasingan dan rajam. Hukuman dera dan pengasingan
ditetapkan untuk pembuat zina tidak muhshan, dan hukuman rajam dikenakan pada
terhadap zina muhshan. Kalau kedua pelaku zina tidak muhshan keduanya, maka
keduanya dijilid atau diasingkan. Akan tetapi keduanya muhshan keduanya
dijatuhi hukuman rajam.
a.
Hukuman Jilid
Hukuman jilid seratus kali diancamkan atas perbuatan zina yang dilakukan
oleh orang yang tidak muhshan. Hukuman jilid dijatuhkan untuk mengimbangi
faktor psikologis yang mendorong diperbuatnya jarimah zina, yaitu keinginan
untuk mendapatkan kesenangan. Faktor psikologis penentangnya yang menyebabkan
seorang meninggalkan kenangan tersebut ialah ancaman sengsara yaitu yang
ditimbulkan oleh seratus jilid. Kalau faktor pendorong zina lebih kuat daripada
faktor penghalaunya maka derita hukuman yang dijatuhkan cukup melupakan
kesenangan yang sudah diperoleh, sehingga bisa mendorongnya untuk memikirkannya
kembali.
b.
Hukuman
pengasingan
Terhadap pembuat zina tidak muhshan dikenakan hukuman pengasingan selama
satu tahun selain hukuman jilid.
c.
Hukuman rajam
Hukuman rajam ialah hukuman mati dengan jalan dilempari batu dan yang
dikenakan adalah pembuat zina muhshan, baik lelaki maupun perempuan. Hukuman
rajam tidak tercantum dalam Al-Qur’an, oleh karena itu fuqaha-fuqaha khawarij
tidak memakai hukuman rajam. Menurut jarimah-jarimah zina dikenakan hukuman
jilid saja, baik pelaku muhshan atau belum.
Orang yang sudah muhshan mendapat hukuman lebih berat, yaitu hukuman
rajam karena biasanya keihshanan seseorang cukup menjauhkannya dari pemikiran
tentang perbuatan zina. Akan tetapi kalau ia masih juga memikirkannya maka hal
ini menunjukkan kekuatan birahi dan keinginan akan kelezatan, dan oleh karena
itu maka harus dijatuhi hukuman yang berat, sehingga ketika ia menginginkan
jarimah tersebut terbayang pula derita dan sengsara yang akan menimpa dirinya.
Akan
tetapi apabila sudah kawin maka sudah tidak ada jalan bagi jarimah zina, sebab
tali perkawinan itu sendiri bukanlah perkara abadi yang tidak boleh putus,
sehingga oleh karena itu apabila perkawinan tidak dapat dipertahankan lagi,
maka suami bisa menceraikan istri.
d.
Hukuman Qadzaf
Salah satu delik pidana dalam hukum pidana
Islam, yaitu al Qadzfu. Qadzf secara harfiah berarti melemparkan sesuatu.
Istilah qadzaf dalam hukum Islam adalah tuduhan terhadap seseorang bahwa
tertuduh telah melakukan perbuatan zina.
Qadzaf
atau fitnah merupakan suatu pelanggaran yang terjadi bila seseorang dengan
bohong menuduh seorang muslim berzina atau meragukan silsilahnya. Sanksi bagi
yang menuduh orang banyak melakukan zina dengan berulang kali ucapan adalah
hadd yang berulang kali pula sesuai dengan jumlah pengulangan ucapan yang ia
lakukan, akan tetapi apakah sanksi bagi yang menuduh orang banyak (melakukan
zina) dengan satu kali ucapan itu satu kali hadd atau berulang kali sesuai
dengan jumlah orang yang dituduh.
Jarimah qadzaf dikenakan hukuman pokok, yaitu jilid 80 kali, dan hukuman
tambahan, yaitu tidak menerima persaksian pembuatnya. Hukuman tersebut
dijatuhkan apabila berisi kebohongan. Apabila berisi kebenaran maka tidak ada
jarimah qadzaf. Banyak faktor yang menimbulkan jarimah qadzaf, antara lain iri
hati, dengki, balas dendam dan persaingan. Akan tetapi kesemuanya bertujuan
satu, yakni menghina korban dan melukai hatinya.
e.
Hukum Minum
Minuman Keras
Jarimah minum minuman keras dijatuhi hukuman 80 jilid. Menurut Imam Syafi’I hukuman jarimah
tersebut adalah empat puluh jilid sebagai hukuman had, sedang empat puluh jilid
lainnya tidak termasuk hukuman had, melainkan sebagai hukuman ta’zir, artinya
sebagai hukuman yang dijatuhkan apabila dipandang perlu oleh hakim.
Faktor yang mendorong seseorang untuk minum khamer ialah keinginannya
untuk melupakan penderita jiwanya dan kenyataan hidupnya untuk menuju
mendapatkan kebahagian khayalan yang ditimbulkan oleh lezatnya khamer. Faktor
pendorong ialah yang diperangi oleh syariat dengan hukuman jilid yang selain
menimbulkan derita kejiwaan juga menimbulkan derita badan.
c.
Hukuman
Pencurian
Pencurian adalah orang yang mengambil
benda atau barang milik orang lain secara diam-diam untuk dimiliki. Pencurian
diancamkan hukuman potong tangan dan kaki, sesuai dengan firman Allah SW “Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang
mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka
kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana”. (Al-Maidah 38)
Di
kalangan fuqaha sudah sepakat bahwa didalam pengertian kata-kata “tangan” (yad)
termasuk juga kaki. Apabila seseorang melakukan pencurian untuk pertama
kalinya, maka tangan kanannya yang dipotong, dan apabila pencurian tersebut
diulangi, maka kaki kirinya yang dipotong.
d.
Hukuman
Gangguan Keamanan
Terhadap gangguan keamanan (hirabah) dikenakan
empat hukuman, yaitu hukuman mati biasa, hukuman mati dengan salib, hukuman
dengan potong tangan dan kaki dan pengasingan.
D.
Tujuan Hukuman
Tujuan dari penetapan dan penerapan hukuman dalam syari’at Islam adalah:
a.
Pencegahan ( الرّدْعُ وَالزّجْرُ )
Pengertian pencegahan adalah
menahan orang yang berbuat jarimah agar ia tidak mengulangi perbuatan
jarimahnya. Di samping mencegah pelaku, pencegahan juga mengandung arti
mencegah orang lain selain pelaku agar ia tidak ikut-ikutan melakukan jarimah,
sebab ia bisa mengetahui bahwa hukuman yang dikenakan kepada pelaku juga akan
dikenakan terhadap orang lain yang juga melakukan perbuatan yang sama.
Menurut Ibn Hammam dalam fathul
Qadir bahwa hukuman itu untuk mencegah sebelum terjadinya perbuatan (preventif)
dan menjerakan setelah terjadinya perbuatan (represif).
b.
Perbaikan dan
Pendidikan ( الاِصْلاحُ والتّهْذِ يْبُ
)
Tujuan yang kedua dari penjatuhan hukuman adalah mendidik pelaku jarimah
agar ia menjadi orang yang baik dan menyadari kesalahannya. Di sini terlihat
bagaimana perhatian syari’at Islam terhadap diri pelaku. Dengan adanya hukuman
ini, diharapkan akan timbul dalam diri pelaku suatu kesadaran bahwa ia menjauhi
jarimah bukan karena takut akan hukuman, melainkan karena kesadaran diri dan
kebenciannya terhadap jarimah serta dengan harapan mendapat rida dari Allah
SWT.
c.
Kemaslahatan
Masyarakat
Memberikan hukuman kepada orang yang
melakukan kejahatan bukan berarti membalas dendam, melainkan sesungguhnya untuk
kemaslahatannya, seperti dikatakan oleh Ibn Taimiyah bahwa hukuman itu
disyariatkan sebagai rahmat Allah bagi hamba-Nya dan sebagai cerminan dari
keinginan Allah untuk ihsan kepada hamba-Nya. Oleh karena itu, sepantasnyalah
bagi orang yang memberikan hukuman kepada orang lain atas kesalahannya harus
bermaksud melakukan ihsan dan memberi rahmat kepadanya.
Menurut Andi Hamzah dan A. Simanglipu,
sepanjang perjalanan sejarah, tujuan pidana dapat dihimpun dalam empat bagian,
yakni:
a.
Pembalasan (revenge). Seseorang
yang telah menyebabkan kerusakan dan malapetaka pada orang lain, menurut alasan
ini wajib menderita seperti yang ditimpakan kepada orang lain.
b.
Penghapusan Dosa (ekspiation) Konsep
ini berasal dari pemikiran yang bersifat religius yang bersumber dari Allah.
c.
Menjerakan (detern).
d.
Memperbaiki si pelaku tindak
kejahatan (rehabilitation of the criminal) Pidana ini diterapkan sebagai usaha
untuk mengubah sikap dan perilaku
jarimun agar tidak mengulangi kejahatannya.
E. Komisi-komisi Majelis
Syura
1. Komisi Urusan
Keislaman, Peradilan dan Hak Asasi Manusia.
2. Komisi Urusan Sosial,
Keluarga dan Pemuda.
3. Komisi Urusan Ekonomi
dan Energi.
4. Komisi Urusan
Keamanan.
5. Komisi Administrasi,
SDM dan Petisi.
6. Komisi Urusan
Pendidikan dan Riset.
7. Komisi Urusan
Kebudayaan dan Informasi.
8. Komisi Urusan Luar
Negeri.
9. Komisi Perairan,
Infrastruktur dan Layanan Umum.
10. Komisi Urusan
Kesehatan dan Lingkungan.
11. Komisi Urusan
Keuangan.
12. Komisi Tranportasi,
Telekomunikasi, dan Teknologi Informasi.
F. Administrasi
Pemerintahan
Administrasi pemerintahan terdiri dari Kabinet yang dibentuk pada tahun
1373H/1953M. Majelis ini sekarang mencakup sejumlah departemen yang
berkompeten, seperti: Pertahanan, Luar Negeri, Dalam Negeri, Keuangan, Ekonomi
dan Perencanaan, Perminyakan dan Pertambangan, Kehakiman, Urusan Islam, Wakaf,
Dakwah dan Bimbingan, Pendidikan dan Pengajaran, Pendidikan Tinggi, Kebudayaan
dan Informasi, Perdagangan dan
Perindustrian, Air dan Listrik, Pertanian, Pekerjaan, Urusan Sosial, Komunikasi
dan Teknologi Informasi, Urusan Kota dan Pedesaan, Haji, dan Layanan Sipil.
Administrasi Pemerintahan
Administrasi pemerintahan terdiri dari Kabinet yang dibentuk pada tahun
1373H/1953M. Majelis ini sekarang mencakup sejumlah departemen yang
berkompeten, seperti: Pertahanan, Luar Negeri, Dalam Negeri, Keuangan, Ekonomi
dan Perencanaan, Perminyakan dan Pertambangan, Kehakiman, Urusan Islam, Wakaf,
Dakwah dan Bimbingan, Pendidikan dan Pengajaran, Pendidikan Tinggi, Kebudayaan
dan Informasi, Perdagangan dan
Perindustrian, Air dan Listrik, Pertanian, Pekerjaan, Urusan Sosial, Komunikasi
dan Teknologi Informasi, Urusan Kota dan Pedesaan, Haji, dan Layanan Sipil.
G. Sistem Peradilan
Peradilan di KSA memperoleh independensi secara penuh dan hukum-hukumnya
bersumber kepada kitab suci Al-Qur`an dan Sunnah Nabi shallallahu 'alaihi
wasallam. Dalam berbagai urusan syar'i peradilan merujuk kepada Majelis
Peradilan Tinggi yang bertugas meneliti nash-nash peradilan dan hukum-hukum
hudud dan qisas, dan membawai seluruh mahkamah syar'iyah yang tersebar di
penjuru negeri. Lembaga peradilan dan kehakiman terdiri dari: Mahkamah Umum,
Mahkamah Khusus, Lembaga Kasasi dan Notariat. Adapun dalam persoalan-persoalan
tata usaha negara maka di sana ada lembaga khusus yang menanganinya. Yang
terpenting, diantaranya, ialah “Diwan al-Mazhalim” yaitu lembaga pengadilan
yang berhubungan langsung dengan Raja, yang perhatiannya terfokus pada
penyelesaian berbagai persoalan perselisihan yang diajukan terhadap lembaga
pemerintahan.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Raja Arab Saudi memiliki beberapa peran :
·
Kepala Negara
·
Perdana Menteri
·
Panglima Angkatan Perang
·
Penjaga dua tempat suci
·
Mengangkat/Memberhentikan Dewan
Menteri
·
Menafsirkan hukum Arab Saudi tidak
mengenal sistem kepartaian.
Tidak ada pemilihan umum, kalaupun ada hanya untuk memilih pemimpin
lembaga legislatif dan yudikatif yang ditentukan oleh raja. Arab Saudi memiliki
tiga lembaga yaitu Eksekutif, Legislatif, dan Yudikatif. -Badan Eksekutif –
Disebut juga sebagai “Dewan Menteri Pemerintahan Arab Saudi”. Beranggotakan
Raja sebagai perdana menteri, wakil perdana menteri, menteri – menteri negara
dan penasihat raja. Berikut nama-nama raja yang pernah memerintah Arab Saudi:
·
Raja Abdul Aziz (Ibnu Saud),
pendiri kerajaan Arab Saudi: 1932 – 1953
·
Raja Saud, putra Raja Abdul Aziz :
1953 – 1964 (kekuasaannya diambil alih oleh saudaranya, Putera Mahkota Faisal)
·
Raja Faisal, putra Raja Abdul Aziz
: 1964 – 1975 (dibunuh oleh keponakannya, Faisal bin Musa’id bin Abdul Aziz)
·
Raja Khalid, putra Raja Abdul Aziz
: 1975 – 1982 (meninggal karena serangan jantung)
·
Raja Fahd, putra Raja Abdul Aziz :
1982 – 2005 (meninggal karena sakit usia tua)
·
Raja Abdullah, putra Raja Abdul
Aziz : 2005-sekarang.
DAFTAR PUSTAKA
Sumber:http://id.shvoong.com/social-sciences/political-science/2124945-konsep-demokrasi/#ixzz29TTlDdt4
Champion, Daryl, 1999. The Kingdom of Saudi Arabia: Elements of
Instability within stability . MERIA.
Raphaeli, Nimrod, 2003. Saudi Arabia: A Brief Guide to The Politics and
Problems . MERIA
Suprayogo,
Imam, Administrasi Negara Lintas Negara, Yogyakarta: Hikayat Publishing. 2007.
Tilaar,
H.A.R., Sistem Administrasi Negara Jakarta: PT Rineka Cipta. 2002.
0 komentar:
Post a Comment