KONTRAK SOSIAL
MAKALAH
Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas terstruktur mata kuliah
Teori-Teori Politik
Disusun oleh :
ASIKIN ABDUL AZIZ
PROGRAM STUDY SIYASAH
(HUKUM
KETATANEGARAAN DAN POLITIK ISLAM)
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG
2014
KATA
PENGANTAR
Puji syukur
penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas berkat rahmat dan karunianya
sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul tentang Kontrak Sosial ini dengan
sebaik-baiknya. Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas kelompok pada mata kuliah
Teori-teori Politik, Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Sunan Gunung Djati
Bandung. Makalah ini berisi tentang pemikiran-pemikiran tokoh politik Barat
mengenai konsep Kontrak Sosial.
Penulis
mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada para pihak yang telah
membantu dalam penyusunan makalah ini. Terima kasih penulis ucapkan kepada
dosen mata kuliah Teori-teori Politik. Penulis menyadari bahwa makalah ini
masih jauh dari sempurna dan oleh karena itu penulis memohon maaf jika terjadi
kesalahan dalam isi maupun penulisan makalah ini. Penulis juga mengharapkan
kritik dan saran guna memperkaya makalah ini serta memberikan tambahan
pengetahuan bagi kita semua. Pada akhirnya penulis berharap agar makalah ini
dapat memberikan manfaat baik bagi penulis maupun pembaca makalah ini.
Bandung,
29 Maret 2014
Penulis
i
DAFTAR
ISI
KATA PENGANTAR………………………………………………….…….i
DAFTAR ISI………………………………………………………………….ii
BAB I
PENDAHULUAN.............……………………………………………1
1.1
Latar
Belakang…………………………………………………………...1
1.2
Rumusan
Masalah………………………………………………………..2
1.3
Tujuan
Penulisan………………………………………………………....2
BAB II
PEMBAHASAN……………………………………………………..3
A.
Pengertian kontrak sosial………………………………………………...3
B.
Kontrak sosial menurut pemikir barat…………………………………...4
C.
Perbandingan kontrak sosial dikalangan pemikir
barat………………….9
BAB III PENUTUP…………..……………………………………………...10
Kesimpulan……………………………………………………………………10
Daftar
Pustaka………………………………………………………………...11
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Teori kontrak sosial adalah suatu pandangan yang
melihat bahwa kewajiban moral dan politis seseorang bergantung pada suatu
kontrak atau perjanjian diantara mereka untuk membentuk suatu komunitas
masyarakat yang mereka tinggali (Friend, n.d). Konsep teori kontrak sosial
berakar pada manusia yang pada awalnya memiliki keadaan alamiah (state of
nature). Mereka tidak mempunyai pemerintahan dan hukum yang dapat mengatur
mereka sehingga hal ini menjadi batu sandungan mereka dalam bermasyarakat.
Untuk mengatasi kesulitan dan hambatan tersebut,
manusia pada akhirnya memasuki dua perjanjian yakni Pactum Unionis dan Pactum
Subjectionis. Pada pakta yang pertama, manusia mencari suatu perlindungan atas
hidup dan properti mereka yang pada akhirnya membentuk suatu komunitas
masyarakat atau society dimana masyarakat berusaha untuk saling menghormati dan
hidup dalam keharmonisan. Pakta yang kedua menerangkan bahwa manusia pada
akhirnya bersatu dan berjanji untuk mematuhi suatu otoritas dan menyerahkan
sebagian ataupun seluruh hak dan kebebasan mereka pada otoritas tersebut.
Otoritas yang berwenang ini sendiri berfungsi sebagai jaminan proteksi atas
hidup, properti dan bahkan kemerdekaan masyarakat itu sendiri. Oleh karenanya,
untuk menghindari hambatan akibat keadaan alamiah mereka, manusia kemudian
setuju untuk tinggal di bawah suatu hukum umum yang mengatur kontrak sosial
masyarakat itu sendiri.
Kemunculan teori kontrak sosial ini ditandai dengan
munculnya rasionalisme, realisme dan humanisme dimana manusia menjadi pusatnya (Susilo,1988).
Jika ditelaah kemudian maka dalam teori kontrak sosial, manusia menjadi pusat
teori dan pihak yang berwenang dalam membuat keteraturan yang disepakati
bersama guna menjaga kestabilan keamanan negara. Kemunculan teori ini
dipengaruhi oleh pemikiran jaman pencerahan atau Renaissance. Terdapat tiga
macam teori kontrak sosial yang dirumuskan oleh tiga tokoh teorisi politik
jaman pencerahan yang hidup di era yang hampir sama, yakni Thomas Hobbes dan
John Locke. Tokoh-tokoh tersebut memiliki pemikiran sama, yakni mendasarkan
adanya kesepakatan atas adanya sifat manusia.
1.2
Rumusan Masalah
a. Apa yang dimaksud dengan pengertian kontrak sosial?
b. Bagaimana kontrak sosial menurut pemikir barat?
c. Bagaimana perbandingan kontrak sosial dikalangan pemikir barat?
1.3
Tujuan Penulisan
a. Untuk mengetahui pengertian kontrak sosial.
b. Mengemukakan kontrak sosial menurut pemikir barat.
c. Mengetahui perbandingan kontrak sosial dikalangan pemikir barat.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Kontrak Sosial
Teori
kontrak sosial adalah teori yang paling relevan dan cocok, jika kita kaitkan
dengan terbentuknya negara. Teori ini adalah teori yang paling rasional karena
memiliki asumsi bahwa terbentuknya suatu negara adalah atas dasar kesepakatan
dari masyarakatnya. Teori kontrak sosial berkembang dan sangat dipengaruhi oleh
pemikiran pada zaman Pencerahan (Enlightenment age) yang ditandai dengan
rasionalisme, realisme, dan humanisme, yang menempatkan manusia sebagai
pengatur sebuah negara dan juga sebagai pusat gerak dunia. Munculnya pemikiran bahwa
manusia adalah sebagai sumber kewenangan secara jelas menunjukkan kepada kita
bahwa pada jaman dahulu kepercayaan terhadap manusia untuk mengelola dan
mengatasi kehidupan politik dan bernegara sudah sangat kuat, dan itu masih
dipelihara hingga saat ini. Jika kita melihat pada perkembangan sejarah yang
berlangsung, pada Jaman Pencerahan ini merupakan kritik, koreksi atau reaksi
atas jaman sebelumnya, yaitu Jaman Pertengahan (the dark age). Walaupun dalam
pandangan sejarah seperti itu, tetapi pemikiran-pemikiran yang muncul pada
Jaman Pencerahan tidaklah semuanya baru. Seperti teori yang akan kita bahas
tuntas pada makalah ini adalah salah satu contoh dari teori yang memang tidak
benar-benar murni muncul pada era pencerahan. Teori kontrak sosial yang berkembang
pada Jaman Pencerahan ternyata secara samar-samar telah diisyaratkan oleh
pemikir-pemikir jaman-jaman sebelumnya seperti Kongfucu dan Aquinas. Yang jelas
adalah bahwa pada Jaman Pencerahan ini unsur-unsur pemikiran liberal
kemanusiaan dijadikan dasar utama alur pemikiran.
Thomas Hobbes, John
Locke, dan Jean J.Rousseau sama-sama berangkat dari membahas tentang kontrak
sosial dalam analisis politik mereka, yaitu melandaskannya pada anggapan dasar
bahwa manusialah sumber kewenangan. Namun, tentang bagaimana, siapa yang
mengambil kewenangan itu, dan pengoperasian kewenangan selanjutnya, mereka
berbeda satu sama lain. Perbedaan yang hadir merupakan poin mendasar, baik
dalam konsep maupun dalam praktiknya.
Salah satu faktor penyebab perbedaan itu adalah latar
belakang pribadi dan kepentingan masing-masing. Secara singkat bisa disebutkan
bahwa Hobbes hidup pada kondisi negara yang sedang kacau balau karena Perang
Saudara, maka Hobbes menginginkan negara yang stabil. Ia mempunyai ikatan
karier dan politik kalangan kerajaan, sehingga dalam persaingan kerajaan versus
parlemen, Hobbes cenderung memihak kerajaan. Lock hidup di masa kekuasaan
kerajaan yang despot. Ia mendapat pengaruh isu liberalisme yang sedang hangat
di Eropa ketika itu. Demikian pula dengan Lock, terdapat ikatan karier dan
politik yang dimilikinya dengan kalangan parlemen yang sedang bersaing dengan
kerajaan, sehingga pandangan yang muncul terlihat berpihak kepada parlemen dan
menentang kekuasaan raja.
Di sisi lain, Jean
Jacques Rousseau hidup dalam abad
berbeda dan negara yang berbeda pula. Rousseau berasal dari kalangan biasa yang
merasakan kesewenang-wenangan kerajaan, namun ia pun terlibat dalam Revolusi
Perancis.
Dalam membentuk teori
kontrak sosial, Hobbes, Locke maupun Rousseau memulainya dengan konsep kodrat
manusia, kemudian konsep-konsep alamiah, hak alamiah dan hukum alamiah.
B.
Kontrak Sosial Menurut Para Pemikir Barat
Di bawah ini terdapat konsep teori kontrak sosial yang
dikemukakan oleh para pemikir barat yaitu:
1. Thomas Hobbes
(1588-1679)
Hobbes menyatakan bahwa
secara kodrat manusia itu sama satu sama lain. Masing-masing mempunyai hasrat
atau nafsu (appetite) dan keengganan (aversions) yang menggerakkan tindakan
mereka. Appetites manusia adalah hasrat atau nafsu akan kekuasaan, akan
kekayaan, akan pengetahuan, dan akan kehormatan. Sedangkan aversions manusia
adalah keengganan untuk hidup sengsara atau mati. Hobbes menegaskan pula bahwa
hasrat manusia itu tidaklah terbatas. Untuk memenuhi hasrat atau nafsu yang
tidak terbatas itu, manusia mempunyai power. Oleh karena setiap manusia
berusaha untuk memenuhi hasrat dan keengganannya, dengan menggunakan powernya
masing-masing, maka yang akan terjadi adalah benturan power antar sesama
manusia, yang meningkatkan keengganan untuk mati.
Dengan demikian Hobbes
memyatakan bahwa dalam kondisi alamiah, terdapat perjuangan untuk power dari
manusia yang lain. Dalam kondisi seperti itu manusia menjadi tidak aman dan
ancaman kematian akan semakin mencekam. Karena kondisi alamiah tidak aman, maka
dengan akalnya manusia berusaha menghindari kondisi perang dengan menciptaka
kondisi artifisial atau buatan.
Dengan penciptaan ini,
manusia tidak lagi dalam kondisi alamiah, tetapi sudah memasuki kondisi sipil.
Caranya adalah masing-masing anggota masyarakat mengadakan kesepakatan diantara
mereka untuk melepaskan hak-hak mereka dan mentransferkan hak-hak itu kepada
beberapa orang atau lembaga yang akan menjaga kesepakatan itu agar terlaksana
dengan sempurna. Untuk itu orang atau lembaga itu harus diberi hak sepenuhnya
untuk menggunakan semua kekuatan dari masyarakat.
Beberapa orang atau
lembaga itulah yang memegang kedaulatan penuh. Tugasnya adalah menciptakan dan
menjaga keselamatan rakyat. Masyarakat sebagai pihak yang menyarahkan hak-hak
mereka tidak mempunyai hak lagi untuk menarik kembali atau menuntut atau
mempertanyakan kedaulatan penguasa, karena pada prinsipnya penyerahan total
kewenangan itu adalah pilihan yang paling masuk akal dari upaya mereka untuk
lepas dari kondisi perang satu dengan lainnya yang mengancam hidup mereka. Di
lain pihak, pemegang kedaulatan mempunyai seluruh hak untuk memerintah dan
menjaga keselamatan yang diperintah itu. Pemegang kedaulatan tidak bisa
digugat, karena pemegang kedaulatan itu tidak terikat kontrak dengan
mesyarakat. Jelasnya, yang mengadakan kontrak adalah masyarakat sendiri, sehingga
istilahnya adalah kontrak sosial, bukan kontrak antara pemerintah dengan yang
diperintah.[1]
2. John Locke
(1632-1704)
Lock memulai dengan
menyatakan kodrat manusia adalah sama antara satu dengan lainnya. Akan tetapi
berbeda dari Hobbes, Locke menyatakan bahwa ciri-ciri manusia tidaklah ingin
memenuhi hasrat dengan power tanpa mengindahkan manusia lainnya. Menurut Locke,
manusia di dalam dirinya mempunyai akal yang mengajarkan prinsip bahwa karena
menjadi sama dan independent manusia tidak perlu melanggar dan merusak
kehidupan manusia lainnya. Oleh karena itu, kondisi alamiah menurut Locke
sangat berbeda dari kondisi alamiah menurut Hobbes. Menurut Locke, dalam
kondisi alamiah sudah terdapat pola-pola pengaturan dan hukum alamiah tertentu
karena manusia mempunyai akal yang dapat menentukan apa yang benar dan apa yang
salah dalam pergaulan antara sesama. Masalah ketidaktentraman dan ketidakamanan
kemudian muncul, menurut Locke, karena terjadi masalah. Akan tetapi, yang
terjadi, beberapa orang dipandu oleh akal yang telah dibiarkan terbiasa oleh
dorongan-dorongan kepentingan pribadi, sehingga pola-pola pengaturan dan hukum
alamiah menjadi kacau. Kedua, pihak yang dirugikan tidak selalu dapat memberi
sanksi kepada pelanggar aturan dan hukum yang ada, karena pihak yang dirugikan
itu tidak mempunyai kekuatan cukup untuk memaksakan sanksi. Oleh karena kondisi
alamiah, karena ulah beberapa orang yang biasanya memiliki power, tidaklah
menjamin keamanan penuh, maka seperti halnya Hobbes, Locke juga menjelaskan
tentang upaya untuk lepas dari kondisi yang tidak aman penuh menuju kondisi
aman secara penuh. Manusia menciptakan kondisi artifisial atau buatan dengan
cara mengadakan kontrak sosial. Masing-masing anggota masyarakat tidak
menyerahkan sepenuhnya semua hak-haknya, akan tetapi hanya sebagian saja.
Antara pihak calon pemegang pemerintahan dan masyarakat tidak hanya hubungan
kontraktual, akan tetapi juga hubungan saling kepercayaan (fiduciary trust).
Locke menegaskan bahwa
ada tiga pihak dalam hubungan saling percaya itu, yaitu yang menciptakan
kepercayaan itu (the trustor), yang diberi kepercayaan (the trustee), dan yang
menarik manfaat dari pemberian kepercayaan itu (the beneficary). Antara trustor
dan trustee terjadi kontrak yang menyebutkan bahwa trustee harus patuh pada
beneficiary, sedangkan antara trustee dengan beneficiary tidak terjadi kontrak
sama sekali. Trustee hanya menerima obligasi dari beneficiary secara sepihak.
Dari pemahaman tentang
hubungan saling percaya dan kontraktual itu tampak bahwa pemegang pemerintahan
atau yang diberi kepercayaan mempunyai hak-hak dan kewenangan yang sangat
terbatas, karena menurut Locke masyarakatlah yang dapat bertindak sebagai
trustor sekaligus beneficiary.
Dari uraian Locke,
tampak nyata bahwa sumber kewenangan dan pemegang kewenangan dalam teori Locke
tetaplah masyarakat. Oleh karena itu kewajiban dan kepatuhan politik masyarakat
kepada pemerintah hanya berlangsung selama pemerintah masih dipercaya. Apalagi
hubungan kepercayaan (fiduciary trust) putus, pemerintah tidak mempunyai dasar
untuk memaksakan kewenangannya, karena hubungan kepercayaan maupun kontraktual
sifatnya adalah sepihak. Kesimpulan demikian ini tentu amat bertolak belakang
dari kesimpulan yang dihasilkan oleh Hobbes.[2]
3. Jean J. Rousseau
(1712-1778)
Seperti halnya Hobbes
dan Locke, Rousseau memulai analisisnya dengan kodrat menusia. Pada dasarnya
manusia itu sama. Pada kondisi alamiah antara manusia yang satu dengan manusia
yang lain tidaklah terjadi perkelahian. Justru pada kondisi alamiah ini manusia
saling bersatu dan bekerjasama. Kenyataan itu disebabkan oleh situasi manusia
yang lemah dalam menghadapi alam. Untuk itu mereka perlu saling menolong, maka
terbentuklah organisasi sosial yang memungkinkan manusia bisa mengimbang alam.
Walaupun pada prinsipnya
manusia itu sama, tetapi alam, fisik, dan moral menciptakan ketidaksamaan.
Muncul hak-hak istimewa yang dimiliki oleh beberapa orang tertentu karena
mereka ini lebih kaya, lebih dihormati, lebih berkuasa, dan sebagainya.
Organisasi sosial dipakai oleh yang mempunyai hak-hak istimewa tersebut untuk
menambah power dan menekan yang lain. Pada gilirannya, kecenderungan itu
menjurus ke kekuasaan tunggal.
Untuk menghindar dari
kondisi dimana yang memiliki hak-hak istimewa menekan orang lain yang menyebabkan
ketidaktoleranan dan ketidakstabilan, maka masyarakat mengadakan kontrak
sosial, yang dibentuk oleh kehendak bebas dari semua (the free will of all),
untuk memantapkan keadilan dan pemenuhan moralitas tertinggi. Akan tetapi,
kemudian Rousseau mengedepankan konsep tentang kehendak umum (volonte generale)
untuk dibedakan dari hanya kehendak semua. Kehendak bebas dari semua tidak
harus tercipta oleh jumlah orang yang berkehendak (the quantity of the
‘subject’), akan tetapi harus tercipta oleh kualitas kehendaknya (the quality
of the ‘object’ sought).
Kehendak umum (volente
generale) menciptakan negara yang memungkinkan manusia menikmati kebebasan yang
lebih baik daripada kebebasan yang mungkin didapat dalam kondisi alamiah.
Kehendak umum menentukan yang terbaik bagi masyarakat, sehingga apabila ada
orang yang tidak setuju dengan kehendak umum itu maka perlulah ia dipaksa untuk
tunduk pada kehendak umum itu.
Rousseau mengajukan
argumentasi yang sulit untuk dimengerti ketika sampai pada pengoperasian
kewenangan dari kehendak umum ke pemerintah. Pada dasarnya Rousseau menjelaskan
bahwa yang memerintah adalah kehendak umum dengan menggunakan lembaga
legislatif, yang membawahi lembaga eksekutif. Walau demikian Rousseau
sebenarnya menekankan pentingnya demokrasi primer atau lengsung, tanpa
perwakilan dan tanpa perantaraan partai-partai politik. Dengan demikian
masyarakat, lewat kehendak umum, bisa secara total memerintah negara. Jadi
jelas, walaupun sulit dipahami, argumentasi pengoperasian kewenangannya,
Rousseau mengembangkan semangat totaliter pihak rakyat dalam kekuasaan.[3]
C.
Perbandingan Kontrak Sosial
dikalangan Pemikir Barat.
Jika dilihat lebih lanjut, pemikiran Rousseau
tentang kontrak sosial sebenarnya dapat dibandingkan dengan teori kontrak
sosial sebelumnya, versi Thomas Hobbes dan John Locke adalah sebagai berikut:
1. Kontrak sosial
versi T. Hobbes dibandingkan dengan JJ. Rousseau
Hobbes lantas memberi solusi berupa kontrak
sosial dan manusia, yang selalu dihantui ketakutan, akan terdorong untuk
melakukan perjanjian dengan memilih penguasa di antara mereka. Pihak-pihak yang
berjanji menyerahkan kekuatan dan kekuasaannya kepada sang penguasa. Namun,
menjadi masalah ketika sang penguasa tidak mengikatkan diri pada perjanjian,
hal ini menyebabkan sang penguasa memiliki kekuatan dan kekuasaan yang absolut.
Walaupun sang penguasa memiliki kekuasan absolut, menurut Hobbes seseorang
dapat menentang jika sudah menyakiti secara jasmaniah.
Konsep penguasa pada pemikiran Hobbes yang tidak terikat janji berbeda
dengan perjanjian yang mengikat semua pada pemikiran Rousseau. Penguasa versi
Rousseau hanya sekedar “pelayan” dari kepentingan rakyat banyak, sedangkan
menurut Hobbes sangat berkuasa.
2.
Kontrak Sosial versi Locke dibandingkan dengan JJ.
Rousseau
Jika ditilik, asal usul negara menurut Locke
dan Rousseau hampir sama, yaitu kehidupan individu bebas dan sederajat. Teori
Kontrak Sosial Rousseau dan Locke juga sama-sama mengelompokkan manusia pada
dua masa, pra-negara dan bernegara. Keduanya juga memasukkan nilai kemanusiaan
pada pemikirannya, tidak seperti Hobbes. Teori Kontrak Sosial Locke yang
menganut kedua aliran, pactum unionis dan pactum subyectionis, bagi Rousseau
cukup pactum unionis. Para penguasa menurut keduanya sama-sama berkurang
kekuasaannya, tidak mutlak. Jika Locke mengenal keterwakilan rakyat, di mana
legislatif merupakan amanah rakyat, tetapi Rousseau menginginkan rakyat sendiri
dan ini bukan ide cemerlang untuk negara besar.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari penjabaran di
atas dapat disimpulkan bahwa teori kontrak sosial adalah pandangan yang melihat
bahwa kewajiban politis dan moral seseorang dapat bergantung pada suatu kontrak
atau perjanjian diantara mereka dalam rangka membentuk suatu komunitas masyarakat
yang mereka tinggali. Persamaan antara T. Hobbes, Locke dan JJ. Rousseau adalah
bahwa manusia memiliki keadaan alamiah yang mempengaruhi tindakan dan tujuan
pembentukan kontrak sosial. Konsep kontrak sosial berakar pada manusia yang
pada awalnya memiliki keadaan alamiah (state of nature). Latar belakang sosial
dan politik yang berbeda dapat mempengaruhi pemikiran dan pandangan seseorang.
Hobbes, misalnya, dengan kondisi sosial politik Inggris saat itu yang penuh
konflik dan ketakutan, membuatnya mengemukakan konsep keadaan alamiah manusia
yang selalu berkonflik dan dipenuhi ketakutan. Sedangkan Locke, yang hidup di
masa dominasi sistem monarki absolut, melihat bahwa sesungguhnya manusia lebih
baik kembali kepada keadaan alamiah mereka yang baik dan menjunjung moralitas.
Walaupun terdapat perbedaan dalam dasar pembentukan kontrak sosial itu sendiri,
namun kedua filsuf ini sama-sama meyakini bahwa kontrak sosial adalah elemen
yang paling fundamental dimana manusia bergantung padanya untuk dapat hidup
dengan baik dan damai.
DAFTAR PUSTAKA
·
Cunningham.
2006. Hobbes, Locke, Rousseau [ppt] dalam web.uconn.edu/cunningham/
econ205/Property.ppt [diakses
pada 29 Maret
2014]
·
Elahi, Manzoor.
n.d. Social Contract Theory by Hobbes,
Locke and Rousseau [pdf]dalamhttps://www.academia.edu/3138759/Social_Contract_Theory_by_Hobbes_Locke_and_Rousseau [diakses pada 29 Maret 2014]
·
Jean Jacques Rousseau, Du Contract Social, Jakarta:Visimedia, 2007
[1]
Cunningham.
2006. Hobbes, Locke, Rousseau [ppt] dalam web.uconn.edu/cunningham/
econ205/Property.ppt [diakses pada 29 Maret 2014]
[2]
Elahi, Manzoor. n.d. Social
Contract Theory by Hobbes, Locke and Rousseau [pdf] dalam
https://www.academia.edu/3138759/Social_Contract_Theory_by_Hobbes_Locke_and_Rousseau [diakses pada 29 Maret 2014]
[3]
Jean Jacques Rousseau, Du Contract
Social, Jakarta:Visimedia, 2007
ii
0 komentar:
Post a Comment