MAKALAH IJMA



IJMA’
MAKALAH
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Ushul Fiqh
Program Studi siyasah Semester III
Di Susun Oleh :
Asikin Abdul Aziz (1123030010)






PROGRAM STUDI SIYASAH
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG
2013
KATA PENGANTAR
اَلْحَمْدُاِللهِ الَّذِيْ أَنْزَلَ السَّكِيْنَةَ فِي قُلُوْبِ اْلمُؤْمِنِيْنَ, لِيَزْدَادُوْا إِيْمَانًا مَعَ إِيْمَانِهِمْ وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى أَشْرَافِ اْلَأنْبِيَاءِ وَاْلمُرْسَلِيْنَ وَعَلَى أَلِهِ وَصَحْبِهِ اَجْمَعِيْنَ. اَلْحَمْدُلِّلِه بِفَضْلِ الله وَكَرَامَهُ نَسْتَطِعُ اِنْ نُئَادِى وَنَعْمَلُ هَذِهِ اْلوَظِيْفَةِ تَحْتَ اْلمَوْضُوْعِ"قِرَاءَةُاْلقُرْاَنَ".
Segala puji dan kemuliaan hanyalah milik Rabb semata, atas segala rahmat dan ni’mat-Nya yang telah dikaruniakan kepada segenap hamba-Nya. Shalawat dan salam semoga selamanya tercurah atas junjungan alam yang menajadi penuntun umatnya ke jalan shirotol mustaqim.
Atas berkat rahmat dan hidayah Allah SWT, alhamdulillah kami dapat menyusun dan menyelesaikan sebuah kajian ilmiah tentang “Ijma” dengan wasilah tugas disertai bimbingan dan dorongan dari dosen mata kuliah Uahuk Fiqh .Disamping itu, kami  sadari sepenuhnya bahwa kajian makalah yang kami  sajikan ini masih jauh dari kesempurnaan, maka kami selalu berharap atas kritik dan sarannya yang membangun, guna peningkatan di masa yang akan datang.
Akhirnya kami  berharap, semoga sekecil apapun untaian kata yang kami  sajikan sebagai rangkaian ilmu dalam makalah ini senantiasa menjadi bongkahan-bongkahan ilmu yang senantiasa bermafaat dunia dan akhirat. Amin


   Bandung 28 September 2013
                                                                                
                                      Penyusun

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................................ ii    
DAFTAR ISI.......................................................................................................... iii    
BAB I PENDAHULUAN                                                                                             
A.    Latar Belakang............................................................................................ 2                                    
B.     Rumusan Masalah....................................................................................... 3            
C.     Maksud dan Tujuan Makalah...................................................................... 3                        
BABII PEMBAHASAN                                                                                                      
A.    Pengertian ijma ..........................................................................................  4
B.     Tingkatan Ijma ........................................................................................... 5   
C.     Rukun-rukun ijma ...................................................................................... 6   
D.    Kemungkinan terjadinya ijma .................................................................... 7   
E.     Macam-macam ijma.................................................................................... 9 

BAB III PENUTUP
KESIMPULAN...................................................................................................... 13   
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................ 14


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Ijma’ adalah salah satu dalil syara’ yang memiliki tingkat kekuatan argumentasi dibawah dalil-dalil Nas (Al-Qur’an dan Hadits) ia merupakan dalil pertama setelah Al-Qur’an dan Hadits yang dapat dijadikan pedoman dalam menggali hukum-hukum syara’
Namun ada komunitas umat islam tidak mengakui dengan adanya ijma’ itu sendiri yang mana mereka hanya berpedoman pada Al-Qur’an dan Al Hadits, mereka berijtihat dengan sendirinya itupun tidak lepas dari dua teks itu sendiri (Al-Qur’an dan Hadits).
Ijma’ muncul setelah Rasulullah wafat, para sahabat melakukan ijtihad untuk menetapkan hukum terhadap masalah-masalah yang mereka hadapi.
“Khalifah Umar Ibnu Khattab ra. misalnya selalu mengumpulkan para sahabat untuk berdiskusi dan bertukar fikiran dalam menetapkan hukum, jika mereka telah sepakat pada satu hukum, maka ia menjalankan pemerintahan berdasarkan hukum yang telah disepakati.
Terkait dengan ijma’ ini masih banyak komonitas diantaranya, sebagian mahasiswa yang masih minim dalam memahami ijma’ itu sendiri maka dari itu kami penulis akan membahas tentang ijma’ dan dirumuskan dalam rumusan masalah dibawah ini.



B.     Rumusan Masalah
1.      Pengertian ijma
2.      Tingkatan Ijma
3.      Rukun-rukun ijma      
4.      Kemungkinan terjadinya ijma
5.      Macam-macam ijma

C.    Maksud Dan Tujuan
Maksud dan tujua makalah ini agar mahasiswa mampu mengetahui apa yang di maksud dengan ijma, tingkatan ijma serta mahasiswa juga mampu mengetahui rukun rukun dari ijma itu sendiri dab macam-macamnya.











BAB II
PEMBAHASAN
A.     Pengertian ijma
Ijma’ menurut bahasa Arab bererti kesepakatan atau sependapat tentang sesuatu hal, seperti perkataan seseorang yang bereti “kaum itu telah sepakat (sependapat) tentang yang demikian itu.”
Menurut istilah ijma’, ialah kesepakatan mujtahid ummat Islam tentang hukum syara’ dari peristiwa yang terjadi setelah Rasulullah SAW meninggal dunia. Sebagai contoh ialah setelah Rasulullah SAW meninggal dunia diperlukan pengangkatan seorang pengganti beliau yang dinamakan khalifah. Maka kaum muslimin yang ada pada waktu itu sepakat untuk mengangkat seorang khalifah dan atas kesepakatan bersama pula diangkatlah Abu Bakar RA sebagai khalifah pertama. Sekalipun pada permulaannya ada yang kurang menyetujui pengangkatan Abu Bakar RA itu, namun kemudian semua kaum muslimin menyetujuinya. Kesepakatan yang seperti ini dapat dikatakan ijma’.
Jumhhur ushul fiqh, sebagai mana dikutip Wahbah al-Zuhaili, Muhammad Abu Zahrah, dan ‘Abdul Wahhab Khalaf, merumuskan ijma’ dengan “ kesepakatan para mujtahid dari umat Muhammad saw. Pada suatu masa, setelah wafatnya rasulullah saw. Terhadap hukum syara’. Muhammad Abu Zahrah menambahkan diakhir definisi tersebut kalimat: “ yang bersifat amaliyah. Hal tersebut mengandung pengertian bahwa ijma’ hanya berkaitan dengan persoalan-persoalan furu (amaliyah praktis). Definisi ini , menurut ketiga tokoh ushul fiqh  ini, Bahwa ijma’ tersebut hanya dilakukan dan disepakati oleh para mujtahid Muslim pada suatu masa setelah wafatnya Rasulullah saw. Jumhur ulama fiqh menganggap perlu menyatakan dalam rumusan definisi ijma’ itu kalimat “ sesudah wafatnaya Rasulullah saw. Karena selama Rasulullah saw. Masih hidup seluruh permasalahan yang timbul bisa ditanyakan langsung kepada beliau , sehingga tidak diperlukan ijma’. Mujtahid yang melakukan ijma’, menurut rumusan definisi jumhur  Ulama ini, tidak perlu seluruh mujtahid , tetapi cukup mujtahid yang hidup pada masa tertentu, sehingga para mujtahid pada setiap generasi boleh melakukan ijma’ , Namun demikian, apabila pada suatu masa ketika dilakukan ijma’ ada diantara mujtahid yang tidak setuju dengan hukum yang ditetapkan tersebut, maka hukum yang dihasilkan itu tidak dinamakan ijma’.[1]
B.     Tingkatan Ijma
              Dilihat dari segi cara terjadinya kesepakatan terhadap hukum syara’ itu, para ulama ushul fiqh membagi ijma’ kepada dua bentuk, yaitu ijma’ sharih/lafzhi dan ijma’ sukuti.
   Ijma’ sharih/lafzhi adalah kesepakatan para mujtahid, baik melalui pendapat maupun melalui perbuatan terhadat hukum masalah tertentu. Ijma’ seperti ini, sangat langka terjadi, apalagi bila dilakuakan kesepakatan itu didalam satu majlis atau pertmuan yang dihadiri seluruh mujtahid pada masa tertentu. Dari buku satria efendi, menurut Imam syafi’i dan kalanganmalikiyah , ijma’ suskuti tidak dapat dijadikan landasan pembentukan pembentukan hukum, Alasanya, diamnyasebagian para mujtahid belum tentu menandakan setuju, karena bisa jadi disebabkan takut kepada penguasa bila mana pendapat itu telah didukung oleh penguasa, atau boleh jadi juga disebabkan merasa sungkan menentang pendapat mujtahid yang punya pendapat itu karena dianggap lebih senior.
    Ijma’ sukuti adalah pendapat sebagian mujtahid pada satu masa tentang hukum suatu maslah dan tersebar luas, sedangkan sebgian mujtahid lainnya hanya diam saja setelah meneliti pendapat mujtahid yang kemukakan diatas, tanpa ada yang menolak pendapat tersebut. Ijma’ sukuti  ini pengaruhnya terhadap hukum tidak meyakinkan, karenanya para ulama ushul fiqh menempatkannya sebagai dalil zhanni.[2]
C.    Rukun-rukun ijma         
Dalam definisi ijma telah disebutkan bahwa ia adalah : kesepakatan para mujtahid dari umat islam pada suatu masa atas hukum Syara definisi ini dapat di ambil kesimpulan bahwa rukun ijma dimana menurut Syar’I ia tidak akan terjadi kecuali dengan keberadaanya, adalah empat, yaitu:
1.      adanya sejumlah para mujtahid pada saat terjadinya suatu peristiwa karena sesungguhnya kesepakatan tidak mungkin dapat tergambar kecuali pada sejumlah pendapat, dimana masing-masing pendaapat sesuai dengan pendapat lainya. Maka kalau sekiranya pada suatu waktu tidak terdapat sejumlah para mujtahid, Misalnya tidak ditemukan seorang mujtahid sama sekali, atau hanya di temukan seorang mujtahid, maka secara Syara’ tidak akan terjadi ijma’ pada waktu itu. Oleh karena inilah, maka tidak ada ijma’ pada masa Rosululloh SAW ., karena hanya belio sendirilah mujtahid waktu itu.
2.      adanya kesepakatan seluruh mujtahid di kalangan umat islam terhadap hukum Syara mengenai suatu kasus atau peristiwa pada waktu terjadinya tanpa memandang negeri mereka, kebangsaan mereka, ataupun kelompok mereka. Maka kalau seandainya para mujtahid negeri makkah dan madinah saja ataupun para mujtahid negri irak saja, atau mujtahid negeri hijaz saja, atau para mujtahid ahli bait, atau para mujtahid ahli sunah, bukan mujtahid golongan Syi’ah sepakat atas hukum Syara’ Mengenai suatu peristiwa, maka dengan kesempatan kusus ini tidaklah sah ijma’ Menurut Syara’. Karena ijma’ itu tidak bisa terjadi kecuali dengan kesempatan umum dari semua mujtahid dunia islam pada masa suatu kejadian selain mujtahid tidak masuk penilaian.
3.      Bahwasanya kesepakatan mereka adalah dengan mengemukakan pendapat masing-masing orang dari para mujtahid itu tentang pendapatnya yang jelas mengenai suatu peristiwa, baik penyampaian pendapat masing-masing mujtahid itu berbentuk ucapan, misalnya Ia memberikan fatwa mengenai peristiwa itu, atau berbentuk perbuatan, misalnya ia memberikan suatu putusan mengenainya; baik masing-masing dari mereka mengemukakan pendapatnya pendapat mereka, atau mereka menemukakan pendapat, mereka secara kolektif, misalnya para mujtahid di dunia islam mengadakan suatu konggres pada suatu masa terjadinya suatu peristiwa, dan peristiwa itu dihadapkan kepada mereka, dan setelah mereka bertukar orientasi pandangan, maka mereka seluruhnya sepakat atau satu hukum mengenainya.
4.      bahwa kesepakatan dari seluruh mujtahid atau suatu hukum itu terealisir. Kalau sekiranya kebanyakan dari mereka sepakat, maka kesepakatan yang terbanyak iti tidak menjadi ijma’, kendatipun amat sedikit jumlah mujtahid yang menentang dan besar sekali jumlah mujtahid yang sepakat karena sepanjang masih dijumpai suatu perbedaan pendapat, maka masih ditemukan kemungkinan benar pada salah satu pihak dan kekeliruan pada pihak lainya. Oleh karena itu, maka kesepakatan jumlah terbanyak tidak menjadi hujjah Syar’iyah yang pasti dan meningkat.[3]
D.    Kemungkinan terjadinya ijma
Para ulama berbeda pendapat tentang kemungkinan terjadainya ijma’ ;  Sebagian ulama diantaranya Al-Nazham dan sebagian pengikut Syiah berpendapat bahwa ketententuan di atas tidak munagkinterjadi ijma’ secara penuh. Alasannya ;
1.             tidak ada suatu ukuran yang pasti untuk mengetahui dan menetapkan apakah seseorang telah mencapai tingkat pendidikan tertentu yang menyebabka ia patut disebut mujtahid. Karena secara formal tidak ada lembaga yang menghasilkan mujtahid.
2.             walaupun ada pendidikan untuk menyatakan seorang telah mencapai derajat mujtahid, namun untuk dapat menghimpun pendapat mereka semua mengenai suatu masalah memerlukan suatu hukum secara meyakinkan atau dengan dengan yakin adalah tidak mungkin karena mereka berada dalam lokasi yang berjauhan.
3.             tidak ada jaminan bahwa setiap mujtahid yang telah mengungkapkan pendapatnya tentang hukum suatu masalah tetap dalam pendiriannya, karena syarat melangsungkan ijma’ itu ialah kesepakatan itu berlaku dalam suatu masa tertentu ketika terjadinya peristiwa yang memerlukan ijma’.
4.             mencapai kebulatan pendapat di kalangan mujtahid secara massal adalah susatau yang sangat sulit terjadi, karena hakikat ijma’ itu adalah kebulatan pendapat dalam kesepakatan.
Abdul Wahab Khalaf menjelaskan bahwa ijma’ (secara universal) tidak mungkin terbentuk jika persoalannya diserahkan kepada perorangan. Akan tetapi Ijma’ bisa dilaksanakan  dengan dipimpin oleh pemerintahan masing-masing negara Islam. Yaitu dengan cara; setiap pemerintah menentukan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh seorang untuk sampai pada tingkat mujtahid. Kemudian mereka diberi kewenangan untuk berijtihad. Apabila pemerintah telah mengetahui pendapat para mujtahidnya serta ada kesepakatan dari seluruh pemerintahan dunia Islam , maka inilah ijma’. Dan dengan adanya ijma’ yang seperti ini maka seluruh kaum muslimin wajib mengikuti. [4]
Para ulama ushul fiqh klasik dan modern telah membahas persoalan kemungkinan terjadinya ijma’. Mayoritas ulama klasik mengatakan tidaklah sulit untuk melakukan ijma’, bahkan secara aktual ijma’ itu telah ada. Mereka mencontohkan hukum-hukum yang telah disepakati seperti kesepakatan tentang pembagian waris bagi nenek sebesar seperenam dari harta warisan dan larangan menjual makanan yang belum ada ditangan penjual.
Akan tetapi, ulama klasik lainya, seperti imam ahmad bin handal mengatakan bahwa siapa yang mengatakan adanya ijma’ terhadap hukum suatu masalah, maka ia telah berdusta, karena mungkin saja ada mujtahid yang tidak setuju. Oleh sebab itu, menurutnya, sangat sulit untuk mengetahui adanya ijma’ terhadap hukum suatu masalah. Apabila ada orang yang bertanya apakah ijma’ itu ada secara aktual terjadi, menurut imam ahmad bin hambal, jawaban yang paling tepat adalah kami tidak mengetahui ada mujtahid yang tidak setuju dengan hubungan ini.”
Adapun pada masa sesudahnya, untuk melakukan ijma’ tidak mungkin mengumpulkan seluruh ulam pada satu tempat. Zakiyuddin Sya’ban mengatakan bahwa apabila didapati dalam kitab-kiatab fqh ungkapan ijma’, mak yang mereka maksudkan kemungkinan ijma’ sukuti dan ijma’ kebanyakan ulama, bukan ijma’ sebagaimana yang didefinisikan para ahli ushul fiqh.[5]
E.     Macam-macam ijma
Ijma’ ditinjau dari cara penetapannya ada dua:
1.      Ijma’ Sharih; Yaitu para mujtahid pada satu masa itu sepakat atas hukum terhadap suatu kejadian dengan menyampaikan pendapat masing-masing mujtahid mengungkapkan pendapatnya dalam bentuk ucapan atau perbuatan yan mencerminkan pendapatnya.
2.      Ijma’ Sukuti: Sebagian mujtahid pada satu masa mengemukakan pendapatnya secara jelas terhadap suatu peristiwa dengan fatwa atau putusan hukum. Dan sebagian yang lain diam, artinya tidak mengemukakan komentar setuju atau tidaknya terhadap pendapat yang telah dikemukakan.[6]
Mengenai ijma’ Sukuti ini, para ulama terbagi dalam tiga  pendapat ;
a.       Ulama Syafi’i dan mayoritas Fuqaha tidak memasukan ijma’ sukuti ini kedalam katagori ijma’.
b.      pendapat sebagian Fuqaha memasukan ijma’ sukûti ke dalam katagori ijma’, hanya saja tingkat kekuatanya dibawah ijma’ sharih.
c.       ijma’ sukûti dapat dijadikan argumentasi (hujah) akan tetapi tidak termasuk kedalam katagori ijma’.
Argumentasi ulama yang tidak menganggap ijma’ sukuti sebagai hujjah syar’iyyah adalah :
a.       Orang yang diam tidak dapat di anggap sebagai orang yang berpendapat. Dengan demikian seorang mujtahid yang diam tidak dapat dipandang sebagai orang yang mengikuti pendapat (ijtihad) orang lain.
b.      diam tidak dapat dipandang sebagai setuju karena diamnya seorang mujtahid mungkin setuju, mungkin ia belum ijtihad dalam masalah tersebut, mungkin juga ia telah berijtihad tetapi belum memperole kemantapan.
c.       Dengan segala kemungkinan diatas, maka diam tidak dapat dipandang sebagai hujah untuk menerima pendapat seorang mujtahid, maka ijma’ sukuti tidak dapat dijadikan hujah.
Sedangkan ulama yang memasukkan ijma’ sukutu ke dalam katagori ijma’ beralasan bahwa;
a.       pda dasarnya diam tidak dapat dikatagorikan hujah kecuali sesudah merenung atau berpikir. Oleh karena itu jika ada seorang yang berdiam sesudah berpikir dan menganalisa permasalahan dari segala segi maka diamnya menunjukan suatu sikap.
b.      Pada umumnya tidak semua pemberi fatwa (Mufti) itu memberikan keterangan pada suatu permasalahan.
c.       Diamnya seorang mujtahid setelah merenung terhadap hukum (hasil ijtihad orang lain) yang bertentangan dengan hukum yang benar menurut ijtihadnya adalah haram. Dengan demikian berbaik sangka bahwa diamnya seorang mujtahid dapat dianggap ridla terhadap hasil ijtihd orang lain. Jika ia tidak rela serta tidak mau mengemukakan pendapat ynag benar menurut hasil ijtihadnya berarti ia telah berbuat dosa.
2. Ditinjau dari segi kepastian hukumnya ;
a.       Ijma’ Qath’i yaitu hukum yang dihasilkan ijma’ diyakini benar terjadi, tidak ada kemungkinan lain bahwa hukum dari peristiwa atau kejadian yang ditetapkan berbeda dengan hasil ijma’.
b.      Ijma’ Dhanni yaitu hukum yang dihasilkan ijma’ masih ada kemungkinan bahwa hukum dari peristiwa atau kejadian yang telah ditetapkan berbeda dengan hasil ijtihad.
3. Ditinjau dari segi masa atau tempat terjadinya ijma’ ;
Ijma’ Sahabat, yaitu ijma’ yang dilakukan oleh para sahabat Rasulullah SAW.
a.       Ijma’ khulafaurrasidin, yaitu ijma’ yang dilakukan oleh Abu bakar, umar, Ustman dan Ali bin abi thalib. Namun setelah Abu bakar meninggal dunia ijma’ tersebut tidak dilakukan lagi.
b.      Ijma’ Shaikhan, yaitu ijma’ yang dilakukan oleh Abu bakar dan Umar bin Khatab.
c.       Ijma’ ahli Madînah, yaitu ijma’ yang dilakukan oleh ulama Madinah. Namun terjadi perbedaan antara Imam Malilki dan Imam Syafi’i. menurut Imam Syafi’i tidak dimungkinkan terjadinya ijma’ secara universal, sedangkan menurut Imam Malik hal tersebut bisa trjadi.
d.      Ijma’ Ulama kufah, yaitu ijma’ yang dialakukan oleh ulama kufah sehingga Madzhab Hanafi menjadikan ijma’ ulama kufah sebagai salah satu hukum Islam














BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Ijma’ menurut bahasa Arab bererti kesepakatan atau sependapat tentang sesuatu hal, seperti perkataan seseorang yang bereti “kaum itu telah sepakat (sependapat) tentang yang demikian itu.”
Menurut istilah ijma’, ialah kesepakatan mujtahid ummat Islam tentang hukum syara’ dari peristiwa yang terjadi setelah Rasulullah SAW meninggal dunia. Sebagai contoh ialah setelah Rasulullah SAW meninggal dunia diperlukan pengangkatan seorang pengganti beliau yang dinamakan khalifah. Maka kaum muslimin yang ada pada waktu itu sepakat untuk mengangkat seorang khalifah dan atas kesepakatan bersama pula diangkatlah Abu Bakar RA sebagai khalifah pertama. Sekalipun pada permulaannya ada yang kurang menyetujui pengangkatan Abu Bakar RA itu, namun kemudian semua kaum muslimin menyetujuinya. Kesepakatan yang seperti ini dapat dikatakan ijma’.
Ijma’ ditinjau dari cara penetapannya ada dua:
1.      Ijma’ Sharih;
2.      Ijma’ Sukuti
Tingkatan Ijma
              Dilihat dari segi cara terjadinya kesepakatan terhadap hukum syara’ itu, para ulama ushul fiqh membagi ijma’ kepada dua bentuk, yaitu ijma’ sharih/lafzhi dan ijma’ sukuti.



                                 DAFTAR NPUSTAKA
Prof. Dr. Abdul Wahab Khallaf. Ilmu Usul Fiqih. Pustaka Amani, Jakarta 2003.
Haroen Nasrun, USHUL FIQH 1, Logos Wacana Ilmu, Jakarta,2001,





[1] Haroen Nasrun, USHUL FIQH 1, Logos Wacana Ilmu, Jakarta,2001.

[2] Haroen Nasrun, USHUL FIQH 1, Logos Wacana Ilmu, Jakarta,2001.hal.57

[3] Prof. Dr Abdul Wahhab Khallaf, “Ilmu Usul Fikih” Jakarta 2003 M. Hal.57

[4] Prof. Dr Abdul Wahhab Khallaf, “Ilmu Usul Fikih” Jakarta 2003 M. Hal. 49

[5] Haroen Nasrun, USHUL FIQH 1, Logos Wacana Ilmu, Jakarta,2001.hal.61
[6] Prof. Dr Abdul Wahhab Khallaf, “Ilmu Usul Fikih” Jakarta 2003 M. Hal. 62


Share on Google Plus

About Unknown

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 komentar:

Post a Comment

luvne.com ayeey.com cicicookies.com mbepp.com kumpulanrumusnya.com.com tipscantiknya.com