BENTUK
NEGARA DAN SISTEM PEMERINTAHAN
MAKALAH
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu
Tugas Terstruktur Mata Kuliah Pemikiran Ketatanegaraan Islam
Disusun Oleh :
Asikin Abdul Aziz (1123030010)
SIYASAH/VI/A
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UIN SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Dalam kehidupan sosial, keinginan untuk menciptakan sebuah tatanan
masyarakat yang adil menjadi cita-cita ummat manusia. Keinginan itu pada
gilirannya mengilhami umat manusia untuk merumuskan aturan-aturan hukum yang
mengikat.[1]
Akan tetapi ketika disadari bahwa seperangkat aturan-aturan tersebut tidak
mungkin bisa berjalan secara efektif tanpa adanya suatu “lembaga”, maka
dibuatlah lembaga yang kemudian dikenal dengan istilah Negara. Suatu negara
diperlukan bagi manusia sebagai sarana atau wadah untuk mengaplikasikan
hukum-hukum tersebut.[2]
Maka daripada itu diperlukan bentuk negara yang dapat menaungi masyarakatnya
yang ideal dengan sistem pemerintahan yang tepat pula.
Semua negara dan wilayah kekuasaan tempat umat manusia bernaung berbentuk
suatu negara republik atau suatu kerajaan. Kerajaan dapat berupa kerajaan
karena warisan turun temurun, dengan wangsa raja yang sudah lama memerintah
sebagai penguasa atau dapat pula berupa suatu kerajaan baru. Kerajaan baru itu
sendiri dapat berbentuk kerajaan yang baru sama sekali, seperti Kerajaan Milan
bagi Francesco Sforza atau dapat berupa negara bagian yang digabungkan pada
kerajaan warisan seorang raja yang telah memperoleh kekuasaan atas
negara-negara bagian tersebut, seperti umpamanya Kerajaan Napels dalam
hubungannya dengan raja Spanyol. Wilayah-wilayah yang diperoleh tersebut dapat
merupakan wilayah yang sudah biasa diperintah seorang raja atau dapat pula
wilayah yang dahulu merdeka; raja memperoleh wilayah-wilayah tersebut entah
dengan senjata orang lain atau dengan senjata sendiri atau karena warisan atau
karena petualangan yang penuh keberanian.[3]
Setelah suatu Negara terbentuk maka Negara tersebut berhak membentuk
undang-undang atau konstitusi. Konstitusi telah ada yang berfungsi mengatur
kehidupan bermasyarakat yang disebut dengan adat istiadat yang ada karena
kesepakatan dari suatu masyarakat yang terlahir dan dipakai sebagai pengatur
kehidupan bermasyarakat. Adat istiadat mempunyai suatu hukum yang dinamakan
hukum adat. Pada jaman dahulu walaupun belum ada undang-undang seperti halnya
sekarang, tetapi kehidupan masyarakat sudah diatur dengan adat istiadat dan
yang melanggar adat istiadat akan dikenakan suatu hukum yang telah masyarakat
setempat sepakati yaitu hukum adat.
B.
Rumusan
Masalah
Dari pemaparan latar belakang di atas, maka dapat diketahui rumusan
masalahnya, sebagai berikut:
1. Apa saja bentuk-bentuk suatu Negara?
2. Apa saja Sistem Pemerintahan dalam suatu Negara?
3. Bagaimana kenegaraan dalam islam?
C.
Tujuan Makalah
Dari pemaparan rumusan masalah di atas maka dapat diketahui tujuan
makalah, sebagai berikut:
1. Mengetahui bentuk-bentuk Negara.
2. Mengetahui Sistem pemerintahan suatu Negara.
3. Mengetahui Kenegaraan dalam Islam.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Bentuk Negara
Negara merupakan integritasi dari
kekuasaan politik, Negara adalah organisasi pokok dari kekuasaan politik.
Negara adalah alat (agency) dari masyarakat yang mempunyai kekuasaan untuk
mengatur hubungan-hubungan manusia dalam masyarakat dan menertibkan gejala-gejala
kekuasaan dalam masyarakat. Manusia hidup dalam suasana kerja sama, sekaligus
suasana antagonis dan penuh pertentangan. Negara adalah organisasi yang dalam
sesuatu wilayah dapat memaksakan kekuasaannya secara sah terhadap semua
golongan kekuasaan lainnya dan yang dapat menetapkan tujuan-tujuan dari
kehidupan bersama itu. Negara menetapkan cara-cara dan batas-batas sampai di
mana kekuasaan dapat digunakan dalam kehidupan bersama, baik individu, golongan
atau asosiasi, maupun oleh Negara sendiri. Dengan demikian Negara dapat
mengintegrasikan dan membimbing kegiatan-kegiatan sosial dari penduduknya ke
arah tujuan bersama. Dalam rangka ini boleh dikatakan bahwa negara mempunyai
dua tugas:
1.
Mengendalikan dan mengatur
gejala-gejala kekuasaan yang asosial, yakni yang bertentangan satu sama lain,
supaya tidak menjadi antagonis yang membahayakan;
2.
Mengorganisir dan menintegrasikan
kegiatan manusia dan goongan-golongan ke arah tercapainya tujuan-tujuan dari
masyarakat seluruhnya. Negara menentukan bagaimana kegiatan-kegiatan
asosiasi-asosiasi kemasyarakatan disesuaikan satu sama lain dan diarahkan
kepada tujuan nasional.
Pengendalian ini dilakukan
berdasarkan sistem hukum dan dengan perantaraan pemerintahan beserta segala
alat perlengkapannya. Kekuasaan negara mempunyai oraganisasi yang paling kuat
dan teratur, mak dari itu semua golongan atau asosiasi yang memperjuangkan
kekuasaan harus dapat menempatkan diri dalam rangka ini.
Di bawah ini
disajikan beberapa rumusan mengenai negara:
1.
Roger H. Soltau: “Negara adalah
agen (agency) atau kewenangan yang mengatur atau mengendalikan
persoalan-persoalan bersama atas nama masyarakat”.
2.
Harold J.Laski: “Negara adalah
suatu masyarakat yang diintegrasikan karena mempunyai wewenang yang bersifat
memaksa dan yang secara sah lebih berkuasa daripada individu atau kelompok yang
merupakan bagian dari masyarakat. Masyarakat adalah suatu kolompok manusia yang
hidup dan bekerja sama untuk memenuhi terkabulnya keinginan-keinginan mereka
bersama. Masyarakat merupakan negara kalau cara hidup yang harus ditaati baik
oleh individu maupun oleh asosiasi-asosiasi ditentukan oleh suatu wewenang yang
bersifat memaksa dan mengikat”.
3.
Max weber: “Negara adalah suatu
masyarakat yang mempunyai monopoli dalam penggunaan kekerasan fisik secara sah
dalam suatu wilayah”.
4.
Robert M. Maclver: “Negara adalah
asosiasi yang menyelenggarakan penertiban di dalam suatu masyarakat dala suatu
wilayah dengan berdasarkan sistem hukum yang diselenggarakan oleh suatu
pemerintah yang untuk maksud tersebut diberi kekuasaan memaksa”.
Jadi, sebagai definisi umum dapat
dikatakan bahwa negara adalah suatu daerah teritorial yang rakyatnya diperintah
oleh sejumlah pejabat dan yang berhasil menuntut dari warga negaranya ketaatan
pada peraturan perundan-undangan melalui penguasaan monopolistis terhadap
kekuasaan yang sah.[4]
Selain itu, menurut pandangan sutan
Sjahrir seorang sosialis yang lekat dengan gagasan mengenai pentingnya
kedaulatan rakyat, figur yang paling muda dan sekaligus paling liberal, karena
perhatiannya yang lebih besar pada kebebasan individu, haluan sosialisnya
sering disebut sebagai “Sosialisme kanan”, atau seperti kata Herbert Feith dan
Lance Castles (1970: 227), “Istilah ‘sosialisme liberal’ mungkin lebih sesuai
seandainya istilah ‘liberalisme’ dalam bahasa politik Indonesia tidak
diakaitkan dengan kapitalisme yang tidak terkendali”, itu menguraikan tiga
aliran pikiran (teori) tentang negara:
1.
Ada suatu aliran pikiran yang
menyatakan, bahwa negara itu terdiri atas dasar teori perseorangan, teori
individualistis, sebagaimana diajarkan oleh Thomas Hobbes dan John Locke (abad
ke 17), Jean Jacques Rousseau (abad ke 18), Herbert Spencer (abad ke 19), H.J,
Laski (abad ke 20). Menurut aliran pikiran ini, negara ialah masyarakat hukum (legal
society) yang disusun atas kontraknya antara seluruh orang dalam masyarakat
itu. Susunan hukum negara yang berdasar individualisme terdapat di negeri Eropa
Barat dan Amerika.
2.
Aliran pikiran lain tentang negara
ialah teori golongan dari negara (class Theory) sebagai diajarkan Marx,
Engels dan Lenin. Negara dianggap sebagai alat dari sesuatu golongan untuk
menindas klasse lain. Negara ialah alatnya golongan yang mempunyai
kedudukan ekonomi yang paling kuat untuk menindas golongan-golongan lain, yang
mempunyai kedudukan yang lembek. Megara kapitaslistis, ialah perkakasnya bourgeoisie
untuk menindas kaum buruh, oleh karena itu para Marxis menganjurkan revolusi
politik dari kaum buruhuntuk merebut kekuasaan negara kaum agar kaum buruh
dapat ganti menindas kaum bourgeoisie.
3.
Aliran pikiran lain lagi dari
pengertian negara ialah, teori yang dapat dinamakan teori integralistik yang
diajarkan oleh Spinoza, Adam Muller, Hegel dan lain-lain (abad ke 18 dan 19).
Menurut pikiran ini negara ialah tidak untuk menjamin kepentingan seseoran atau
golongan, akan tetapi menjamin kepentingan masyarakat seluruhnya sebagai
persatuan.[5]
Bentuk negara salah satunya dapat
dilihat dari sudut konsep dan unsur negara itu sendiri, seperti konsep
kekuasaan dan unsur wilayah. Dari perspektif konsep kekuasaan misalnya,
sebagaimana kita tahu bahwa negara sebagai organisasi atau lembaga kekuasaan
dapat dibagi menjadi dua macam. Pertama, secara
vertikal, yakni pembagian kekuasaan negara menurut tingkatnya dan dalam hal ini
yang dimaksud adalah pembagian kekuasaan antara beberapa tingkat pemerintahan.
Carl J. Friedrich memakai istilah pembagian kekuasaan secara teritorial (territorial division of power). Kedua, pembagian kekuasaan secara
horizontal, yaitu pembagian kekuasaan menurut fungsi-fungsinya. Pembagian
semacam ini menunjukan pembedaan antara fungsi pemerintahan yang bersifat
legislatif, eksekutif, dan yudikatif, yang lebih dikenal dengan “trias
politica”.
Dari perspektif wilayah, disebutkan
bahwa berdasarkan sifat dan eratnya hubungan antara negara dengan wilayahnya
sendiri maupun dengan wilayah negara lain, dapat dibedakan berbagai bentuk
negara antara lain :
1.
Negara kesatuan
2.
Negara serikat atau negara federal
3.
Gabungan negara (konfederasi)
a.
Uni ;
b.
Commonwealth;
c.
Serikat negara;
d.
Protektorat;
e.
Perserikatan Bangsa-Bangsa.
1.
Negara
Kesatuan
Menurut C.F. Strong, seperti
dikutif Prof. Mariam Budiardjo, negara kesatuan adalah bentuk negara yang
wewenang legislatif tertinggi dipusatkan dalam satu badan legislatif nasional
atau pusat. Kekuasaan terletak pada tangan pemerintahan pusat (pempus) dan
tidak ada pada pemerintahan daerah (pemda). Pemerintah pusat memiliki wewenang
untuk menyerahkan sebagian kekuasaannya kepada pemerintah daerah berdasarkan
hak otonomi, tetapi pada tahap terakhir, kekuasaan tertinggi tetap berada di
tangan pemerintahan pusat. Jadi, kedaulatannya, baik ke dalam maupun ke luar,
sepenuhnya terletak pada pemerintahan pusat. Negara kesatuan model ini biasa
disebut dengan negara kesatuan dengan sistem desentralisasi. Sebaliknya, yakni
pemerintah pusat tidak menyerahkan sebagian kekuasaannya kepada daerah lazim
disebut negara kesatuan sistem sentralisasi.
Dalam negara kesatuan dengan sistem
sentralisasi, semua kebijakan diproses dan diselenggarakan oleh pemrintah
pusat. Dengan denikian, pemrintah daerah hanya melaksanakan peraturan-peraturan
dari pemerintah pusat saja. Daerah tidak memiliki kekuasaan untuk mengatur
rumah tangganya sendiri. Adapun dalam negara kesatuan dengan sistem
desentralisasi, daerah diberikan kekuasaan untuk mengatur rumah tangga
daerahnya, termasuk mengelola secara penuh Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), berdasarkan inisiatif sendiri.
Daerah seperti ini lazim disebut otonomi daerah atau kekuasaan swatantra.
Negara kesatuan pada hakikatnya
tidak berbagi, atau dalam arti lain kekuasaan pemerintahan pusat tidak
dibatasi, karena konstitusi negara kesatuan tidak mengakui badan legislatif
lain, selain badan legislatif pusat. Jadi, kalaupun ada kewenangan bagi daerah,
seperti membuat peraturan daerah (perda), tidak berarti bahwa pemerintah daerah
itu berdaulat, karena pengawasan dan kekuasaan tertinggi masih tetap terletak
di pemerintah pusat.[6]
2.
Negara Federal
Negara federal
atau negara serikat adalah suatu negara yang terdiri atas beberapa negara
bagian, tetapi setiap negara bagian tersebut tidak berdaulat. Yang berdaulat
adalah gabungan dari negara-negara bagian itu. Di sini, negara-negara bagian
mempunyai kekuasaan untuk membuat dan memiliki undang-undang dasar sendiri,
kepala negara sendiri, dewan perwakilan sendiri dan dewan menteri (kabinet)
sendiri. Sementara itu, untuk urusan angkatan perang dan keuangan, mereka tidak
memiliki kekuasaan sendiri. Urusan lazimnya ada di tangan negara federal.
Dalam bentuk
negara federal, setiap negara bagian bebas untuk melakukan tindakan ke dalam,
selama tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Federal. Tindakan
ke luar, khususnya hubungan dengan negara lain, hanya dapat dilakukan melalui
atau oleh pemerintahan federal. Salah satu contoh negara federal adalah Amerika
Serikat dan Malaysia,
Negara federal
hampir memiliki kesamaan dengan negara kesatuan dengan sistem desentralisasi
misalnya, satu sama lain memiliki hak untuk mengurus kepentingannya masing-masing
dan hanya pemerintah pusat atau federal yang dapat bertindak keluar.
Perbedaannya terletak pada asal-usul hak
mengurus rumah tangga sendiri. Pada negara bagian, hak mengurus rumah tangganya
sendiri merupakan hak aslinya, sementara pada daerah otonom hak itu diperoleh
dari pemerintaha pusat.
Prof. Mr. R.
Kranenburg, seperti dikutip Miriam Budiardjo, secara umum membedakan negara
federal dengan negara kesatuan, khususnya ditinjau dari sudut hukum positif,
yakni :
·
Negara bagian suatu federasi
memiliki pouvoir constituant, yakni wewenang membentuk undang-undang dasar
sendiri serta wewenang mengatur bentuk organisasi sendiri dalam rangka
batas-batas konstitusi negara federal, sedangkan dalam negara kesatuan organisasi
negara-negara bagian, (yaitu pemerintah daerah) secara garis besarnya telah
ditetapkan oleh pembentuk undung-undang pusat;
·
Dalam negara federal, wewenang
membentuk undang-undang pusat untuk mengatur hal-hal tertentu telah terperinci
satu persatu dalam konstitusi federal, sedangkan dalam negara kesatuan,
wewenang pembentukan undang-undang pusat ditetapkan dalam suatu rumusan umum
dan wewenang pembentukan undang-undang rendahan (lokal) bergantung pada badan
pembentuk undang-undang pusat itu.
Dalam buku Federal Government, K.C.
Wheare mengatakan bahwa prinsip negara federal ialah bahwa kekuasaan dibagi
sedemikian rupa sehingga pemerintah federal dan pemerintah negara bagian dalam
bidang-bidang tertentu bebas satu sama lain. Misalnya dalam soal hubungan luar negeri
dan soal mencetak uang, pemerintah federal sama sekali bebas dari campur tangan
dari pemerintah negara bagian; sedangkan soal kebudayaan, kesehatan, dan
sebagainya, pemerintah negara bagian bebas dari campur tangan dari pemerintah
federal.
Untuk mendirikan atau membentuk
negara federal, menurut C.F. Strong, setidaknya dibutuhkan dua syarat, yakni
1)adanya perasaan sebangsa diantara kesatuan-kesatuan politik yang hendak
membentuk federasi itu, dan 2) adanya keinginan pada kesatuan-kesatuan politik
yang hendak membentuk federasi untuk mengadakan ikatan tidak sepenuhnya atau
ikatan terbatas. Karena kalau ikatannya bersifat sepenuhnya, itu cenderung
membentuk negara kesatuan.
3.
Gabungan
Negara (Konfederasi)
Menurut L. Oppenheim suatu “konfederasi” terdiri dari beberapa negara
yang berdaulat penuh yang untuk mempertahankan kemerdekaan ekstern dan intern,
bersatu atas dasar perjanjian internasional yang diakui dengan menyelenggarakan
beberapa alat perlengkapan tersendiri yang mempunyai kekuasaan tertentu terhadap
negara anggota konfederasi, tetapi tidak terhadap warga negara negara-negara
itu.
Kekuasaan alat bersama itu sangat terbatas dan hanya mencakup
persoalan-persoalan yang telah ditentukan. Negara-negara yang tergabung dalam
konfederasi itu tetap merdeka dan berdaulat, sehingga konfederasi tidaklah
menghilangkan atau pun mengurangi kedaulatannya sebagai negara anggota
konfederasi itu. Apalagi terlihat bahwa kelangsungan hidup konfederasi itu
tergantung sama sekali pada keinginan ataupun kesukarelaan negara-negara
peserta serta kenyataan pula bahwa konfederasi itu pada umumnya dibentuk untuk
maksud-maksud tertentu saja yang umumnya terletak di bidang politik luar negeri
dan pertahanan bersama.
Kesemua hal tersebut, menunjukkan lemahnya konfederasi sebagai suatu
ikatan kenegaraan dan merupakan ikatan tanpa kedaulatan. Misalnya saja, menurut
Articles of the Confederation (Amerika) yang berlaku sebelum Undang-undang
dasar Amerika Serikat, congress Amerika berhak minta dari negara-negara peserta
konfederasi pasukan bersenjata dan uang untuk keperluan bersama serta
mengadakan perjanjian internasional. Tetapi alat perlengkapan bersama itu tidak
mempunyai wewenang untuk memaksakan ketaatan dari negara-negara anggota
konfederasi itu. Alat perlengkapan bersama itu hanya mengikat pemerintah dari
negara anggota konfederasi dan secara tidak langsung mengikat pula penduduk
wilayah masing-masing anggota konfederasi. Agar supaya dapat berlaku di wilayah
negara anggota konfederasi yaitu dapat langsung mengikat penduduknya, maka
perlulah keputusan itu terlebih dahulu dituangkan dalam suatu peraturan
perundang-undangan nasional dari negara peserta konfederasi.[7]
B.
Sistem Pemerintahan
1.
Pengertian Sistem Pemerintahan
Sistem pemerintahan terdiri dari
gabungan dua kata yaitu sistem dan pemerintahan, demikian apabila dilihat dari
sisi etimologis. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, sistem adalah perangkat
unsur yang secara teratur saling berkaitan sehingga membentuk totalitas. Secara
umum sistem merupakan suatu struktur yang terdiri dari bagian-bagian atau
komponen-komponen yang saling berhubungan dan apabila salah satu atau sebagian
diantara komponen tersebut tidak atau kurang berfungsi, akan mempengaruhi
komponen-komponen yang lainnya.
Istilah pemerintahan dapat
diartikan baik secara luas maupun sempit. Dalam arti luas, pemerintahan adalah
segala urusan yang dilakukan oleh negara dalam menyelenggarakan kesejahteraan,
dan meningkatkan derajat kehidupan rakyat secara untuk menjamin kepentingan
negara itu sendiri, jadi bukan saja dikaitkan dengan pemerintahan yang
menjalankan fungsi eksekutif saja tetapi hubungannya dengan fungsi legislatif,
eksekutif, dan yudikatif. Dalam hal ini pengertian pemerintahan mencakup ke
semua fungsi tersebut di atas. Dalam arti sempit adalah hanya menyangkut fungsi
eksekutif saja. Demikian pula Bagir Manan menguraikan bahwa pemerintahan
pertama-pertama diartikan sebagai keseluruhan lingkungan jabatan dalam suatu
organisasi. Dalam organisasi negara, pemerintahan sebagai lingkungan jabatan
adalah alat-alat kelengkapan negara, seperti jabatan eksekutif, jabatan
legislatif, jabatan yudikatif, dan jabatan supra struktur lainnya.
Jadi fungsi-fungsi lembaga legislatif,
eksekutif dan yudikatif yang saling berhubungan, bekerja sama dan mempengaruhi
satu sama lain merupakan satu sistem atau dengan perkataan lain, sistem
pemerintahan adalah cara kerja lembaga-lembaga negara dan hubungannya satu sama
lainnya.
Kalangan para pakar, sistem
pemerintahan diartikan sebagai sistem hubungan dan tata kerja antara
lembaga-lembaga negara. Dalam konsep hukum tata negara sistem pemerintahan
adalah suatu sistem hubungan antara lembaga legislatif dengan lembaga
eksekutif. A. Hamid S Attamimi mengartikan sistem pemerintahan negara pada
hakikatnya membicarakan sistem kerja pemerintahan yang dilakukan
Secara
etimologi pemerintahan berasal dari kata sebagai berikut :
1.
Kata dasar “perintah” berarti
melakukan pekerjaan menyuruh.
2.
Penambahan awalan pe menjadi
“pemerintah” berarti badan yang melakukan kekuasaan memerintah.
3.
Penambahan akhiran an menjadi
“pemerintahan” berarti perbuatan, cara, hal atau urusan daripada badan yang
memerintah tersebut.[8]
Menurut
doktrin hukum tata negara , pengertian sistem pemerintahan negara dapat dibagi
kedalam tiga pengertian, yaitu sebagai berikut :
·
Sistem Pemerintahan Negara dalam
arti paling luas adalah tatanan yang berupa struktur dari suatu negara dengan
menitikberatkan hubungan antara negara dan rakyat. Pengertian seperti ini akan
menimbulkan model pemerintahan monarki, aristrokasi, dan demokrasi.
·
Sistem Pemerintahan Negara dalam
arti luas suatu tahanan atau struktur pemerintahan negara yang bertitik tolak
dari hubungan antarsemua organ negara, termasuk hubungan antara pemerintah
pusat dan bagian-bagian.
·
Sistem Pemerintahan Negara dalam
arti sempit adalah suatu tatanan atau struktur pemerintah yang bertitik tolak
dari hubungan sebagai organ negara di tingkat pusat, khususnya antara eksekutif
dan legislatif
Ø Sistem
parlementer, yaitu parlemen (legislatif) mempunyai kedudukan yang lebih tinggi
daripada eksekutif. Contoh : Prancis, Belgia, Inggris, dll.
Ø .Sistem
presidensial, yaitu parlemen (legislatif) dan pemerintah (eksekutif) mempunyai
kedudukan yang sama dan saling melakukan kontrol. Contoh : Amerika Serikat,
Indonesia, Brunai Darusalam, dll.
a.
Sistem Pemerintahan Parlementer
Dimana dalam
sistem ini dilakukan pengawasan terhadap eksekutif oleh legislatif, jadi kekuasaan pearlemen
yang besar dimaksudkan untuk memberikan kesejahteraan yang lebih besar kepada
rakyat, maka pengawasan atas jalannya pemerintahan dilakukan oleh wakil rakyat
yang duduk di parlemen.
Sistem
pemerintahan yang dapat dijadikan model untuk sistem ini adalah kerajaan
Inggris.
Dengan
demikian menurut sistem pemerintahan parlementer adalah sebagai berikut :
-
Hal tersebut berdasarkan atas
prinsip-prinsip pembagian kekuasaan.
-
Dimana terjadi tanggung jawab
berbalas-balasan antara eksekutif dan legislatif, oleh karena itu pihak
eksekutif boleh membubarkan parlementer (legislatif) atau sebaliknya dia
sendiri yang mesti meletakkan jabatan bersama-sama kabinetnya, di saat kebijaksanaannya
tidak dapat lago diterima oleh kebanyakan suara para anggota parlemen.
-
Dalam hal ini juga terjadi
pertanggungjawaban bersama (timbalbalik) antara PM dan kabinetnya.
-
Eksekutif (baik PM maupun
menteri-menterinya) terpilih sebagai Kepala Pemerintahan sesuai dengan dukungan
mayoritas parlemen.
b.
Sitem Pemerintahan Presidensial
Dimana dalam
sistem ini presiden memiliki kekuasaan yang kuat, karena selain sebagai kepala
negara juga sebagai kepala pemerintahan yang mengetuai kabinet (dewan
menteri-menteri). Oleh karena itu untuk tidak menjurus diktatorisme maka
diperlukan check and balances antara lembaga tinggi negara, inilah yang disebut
checking power with power.
C.
Kenegaraan
Dalam Islam
Wacana
Islam vis a vis Negara tidak terlepas dari kompleksitas nalar Arab dan
Islam. Muhammad Abied al-Jabiri mengungkapkan kompleksitas tersebut dari sumber
pemikiran ilmu sosial politik kontemporer dan sumber-sumber tradisi Arab-Islam
sendiri. Menurutnya, kepemimpinan demokratis Nabi hanya aplikatif bagi masyarakat
Mekah dan Madinah, komunitas dua wilayah tersebut dikenal menggunakan sistem
kabilah dan rekruitmen pemimpinnya atas dasar adagium primus interpares, hanya
individu terbaik dan cakap yang dipilih oleh komunitas tersebut. Tradisi masa
silam tersebut tidak bisa seluruhnya dapat diaplikasikan ke dalam masa sekarang
tanpa mempertimbangkan aspek sosio-kulturalnya.
Kenyataan
historis menunjukkan masalah pertama yang muncul dalam Islam sepeninggal Nabi
Muhammad bukanlah masalah teologi, melainkan justru masalah politik. Walaupun
kemudian persoalan politik ini menjelma menjadi persoalan teologis. Problem
mengenai politik dalam Islam tersebut seperti dilukiskan oleh al-Syahrastani
(479-548 H) sebagai pertentangan paling besar di kalangan umat Islam, sebab
lanjut ahli Ilmu Perbandingan Agama ini, tidak pernah terjadi sebuah pedang
dihunuskan karena suatu masalah dasar agama seperti yang terjadi karena masalah
imamah di setiap zaman.
Persoalan
politik, terutama konsepsi tentang negara dan pemerintahan telah menimbulkan
diskusi panjang dan kontroversi di kalangan pemikir muslim dan memunculkan
perbedaan pandangan yang cukup tajam. Perbedaan-perbedaan tidak hanya terhenti
pada tataran teoritis konseptual tetapi juga memasuki wilayah politik praktis
sehingga acapkali membawa pertentangan dan perpecahan di kalangan umat Islam.
Muhammad
Abid al-Jabiri, intelektual asal Maroko, adalah seorang pemikir Arab
kontemporer garda depan dalam proyek pencerahan pemikiran Arab dan Islam.
Al-Jabiri mengungkap kedalaman dan kompleksitas nalar Arab dan Islam. Melalui
proyek Kritik Nalar Arab, dia mengarang beberapa buku, baik menyangkut Nalar
Teoritis, Nalar Praksis, maupun Nalar Etis Arab.[9]
Referensi teoritis Al-Jabiri dalam kajiannya ini diperkaya oleh
Ibnu Khaldun. Dan bahkan, menurutnya, kembali mencermati pemikiran Ibnu Khaldun
dapat diabsahkan dan sangat relevan, khususnya ketika memperhatikan realitas
sosial politik yang berlangsung di negara Arab dan Islam. Problem-problem Arab
dan Islam kontemporer, seperti soal kekerabatan, etnisitas, dan fundamentalisme
keagamaan, yang muncul kembali ke permukaan, seakan memberi legitimasi untuk
kembali merujuk kepada Ibn Khaldun; dan itu bukan lagi bagian dari perbincangan
mundur ke belakang.
Paling tidak, terdapat tiga kunci penjelasan mendasar yang
digunakan Ibnu Khaldun dalam menganalisis sejarah Arab-Islam. Dua di antaranya,
yaitu konsep fanatisme kelompok (al-as’abiyyah al-qabiliyyah) dan dakwah
keagamaan (ad-da‘wah ad-diniyyah), sangat eksplisit digunakan oleh
penjelasan-penjelasan Ibnu Khaldun tentang sejarah masyarakat Arab-Islam.
Sementara kunci ketiga, yaitu faktor ekonomi, yang pada masa Ibnu
Khaldun belum hadir sebagai faktor penjelas yang berdiri sendiri (apalagi dalam
masyarakat prakapitalis), dan juga belum dianggap sebagai faktor determinan
dalam penjelasan hubungan dalam masyarakat, sekalipun sudah dikemukakan oleh
Ibnu Khaldun. Al-Jabiri kemudian mengangkat faktor ekonomi itu menjadi faktor
penjelas dalam analisisnya tentang nalar politik Arab dalam bukunya ini. Bagi
al-Jabiri, secara implisit Ibnu Khaldun telah menyebut “cara produksi yang khas
dalam masyarakat Arab”; sistem perekonomian yang bergantung pada suasana
peperangan, atau dengan cara menabung surplus produksi melalui kekuasaan:
kekuatan pemimpin, kepala suku, atau negara. Sistem ekonomi seperti inilah yang
disebut Ibnu Khaldun sebagai sumber mata pencarian (ekonomi) yang tidak wajar
(mazhab fi al-ma‘asy ghair at-tabi‘i). Dalam peristilahan masa kini, sistem
perekonomian seperti ini disebut sebagai “sistem ekonomi rente” (al-iqtisad
ar-ri’iy), sementara negara yang menjalankan sistem perekonomian demikian
disebut dengan “negara rente” (ad-daulah ar-ri’iyyah).
Berangkat
dari tiga kunci yang dikemukakan Ibnu Khaldun itu, al-Jabiri kembali
menggunakannya dalam terma yang agak berbeda, untuk menjelaskan nalar politik
Arab-Islam. Dia mengubah dan mengembangkan tiga konsep tersebut dengan istilah
yang lebih fungsional dan akrab di telinga dan tradisi masyarakat Islam. Konsep
Ibnu Khaldun tentang peranan dakwah keagamaan dia ubah menjadi kategori akidah
(al-‘aqdah), solidaritas kesukuan (al-‘as’abiyyah al-qabiliyyah) dia singkat
menjadi kategori kabilah (al-qabilah atau suku), sementara untuk menjelaskan
sistem ekonomi yang disebut Ibnu Khaldun “tidak wajar” tersebut, dia
menggunakan nomenklatur fikih Islam, yaitu kategori ganimah, harta rampasan
perang (al-ganimah).
Tiga
kategori di atas menjadi kunci penjelas yang digunakan al-Jabiri untuk menelaah
sejarah politik Arab. Ketiga istilah itu, dalam pandangan al-Jabiri merupakan
motif bawah sadar yang melandasi sebuah tindakan seorang individu (menurut ahli
psikoanalisis). Bedanya, dia tidak berkaitan dengan data psikologis, tetapi
struktur simbol yang menempati imajinasi sosial suatu kelompok, bukan akal,
atau pemahaman. Jadi, ketiganya ibarat bawah sadar politik (imajinasi sosial)
yang menggerakkan kegiatan politik sebuah kelompok atau individu-individu.
Adapun
manifestasi motif-motif yang sudah diterangkan di atas, dalam rentang sejarah
politik Islam, dibagi al-Jabiri menjadi dua bagian. Pertama, bagian yang
bersifat teoritis, yaitu menyangkut ideologi politik. Kedua, bagian yang
praksis, yaitu peristiwa-peristiwa politik yang termasuk dalam pembahasan
tentang tiga motif yang diterangkan di atas.[10]
Konsep
politik dan kerangka metodologi yang dikemukakan oleh tokoh post-tradisionalist
muslim asal Maroko ini dapat dihubungkan dan digunakan untuk memahami kembali
istilah-istilah dalam Al-Qur’an yang sering dikaitkan dengan konsep negara,
kekuasaan politik atau pemerintahan, bahkan istilah-istilah tersebut menjadi
dasar bagi bentuk negara atau pemerintahan di kalangan kaum muslimin. Berikut
ini dijelaskan tiga istilah, yaitu daulah, khilafah dan hukumah dan
aliran-aliran pemikiran politik di dunia Islam.
Daulah
menjadi kosa-kata yang berlaku umum di dunia muslim untuk menunjukkan
pengertian negara. Dalam Bahasa Arab modern daulah memang mengandung pengertian
negara, sehingga negara Islam disebut daulah al-Islamiyyah, negara Arab disebut
daulah al-Arabiyah. Dalam Kamus Bahasa Arab, kata daulah yang berasal dari akar
kata dawala mempunyai arti pergantian, perputaran, perubahan, dinasti,
kekuasaan dan negara. Sebagai padanan konsep negara atau pemerintahan, kata
daulah baru berkembang pada pertengahan abad ke-8 dalam pengertian yang masih
bersifat netral, yaitu giliran.
Salah
seorang pemikir politik muslim pra-modern, ibn al-Muqaffa’ umpamanya, pernah
menulis ungkapan al-dunya daul dalam pengertian bahwa kehidupan dunia itu
mengalami proses naik dan turun secara bergiliran. Pada saat itu kata daulah
belum mengandung arti negara atau kekuasaan. Konsep tersebut dipergunakan oleh
khalifah Abbasiyah untuk melegitimasi kekuasaannya, jika sebelum masa Abbasiyah
pernah ada daulah Umayyah atau giliran keluarga Umayyah, selanjutnya adalah
giliran Bani Abbas (daulah Abbasiyah).
Bertitik-tolak
pada penyandarannya dengan kekuasaan Umayyah dan Abbasiyah serta kemudian
Usmaniyah, kata daulah mengalami transformasi makna menjadi negara atau
kekuasaan negara, sehingga untuk menunjukkan konsep atau negara-bangsa,
pemikiran politik muslim mengajukan kata daulah, seperti terdapat dalam istilah
din wa daulah untuk agama dan negara. Akan tetapi apakah konsep daulah sebagai
negara mempunyai landasan teologis dalam Al-Qur’an? Al-Qur’an menyebut kata
daulah, tepatnya dulah dan bentuk kata kerjanya nudawilu sebanyak dua kali.
Baik pada ayat pertama maupun pada ayat kedua, kedua kata yang berhubungan
dengan kata daulah menunjukkan arti peredaran atau giliran. Oleh karena itu,
sulit untuk menghubungkan kedua kata itu dengan konsepsi tentang negara atau
pemerintahan. Karenanya, jawaban terhadap pertanyaan di atas adalah bahwa tidak
terdapat dalam Al-Qur’an rujukan dan sandaran yang jelas untuk kata daulah
dalam pengertian negara atau pemerintahan. Dengan kata lain, uraian singkat di
atas mungkin dapat menjelaskan bahwa kata daulah tidak memilik akar teologis dalam
Al-Qur’an dan konsep daulah untuk menunjukkan pengertian negara atau
pemerintahan tidaklah lahir secara serta merta lahir, tetapi mengalami
transformasi konseptual yang panjang dalam lintasan sejarah.
Istilah
lain yang sering dihubungkan dengan konsep negara dan pemerintahan adalah
khilafah. Istilah ini sering dipakai dalam literatur pemikiran politik muslim,
baik pada masa pra-modern maupun masa modern. Sebagai konsepsi tentang
pemerintahan dan kekuasaan, kata khilafah menjadi ciri khas kelompok Sunni, sedangkan
kata imamah menjadi ciri khas kalangan Syi’ah. Konsep khilafah mengandung
pengertian kepemimpinan dan kekuasaan. Walaupun demikian, konsep khilafah dalam
perspektif didasarkan pada dua rukun utama, yaitu konsensus (ijma’) elit
politik dan pemberian legitimasi. Konsep khilafah mempunyai akar dalam
Al-Qur’an. Kata khilafah dalam berbagai bentuk derivatifnya banyak disebuit
dalam Al-Qur’an, yang berhubungan dengan politik atau kekuasaan terdapat
sebanyak 17 kali ( khilafah dan khalaif sebanyak 9 kali, khawalif sebanyak 2
kali, dan istakhlafa sebanyak 6 kali).
Akar
kata khilafah yaitu khalafa mengandung arti dasar antara lain menggantikan,
mengikuti, datang kemudian. Kata khalifah dalam Al-Qur’an menunjukkan
pengertian pengganti atau wakil, seperti dalam kata khalifah Allah fi al-‘ard (
wakil Tuhan di bumi). Kata ini dihubungkan dengan Adam AS dan Daud AS yang
diciptakan dan diutus Tuhan untuk menjadi wakil atau khalifah di muka bumi.
Walaupun dalam konteks Daud penugasan terkesan lebih jelas sebagai penguasa,
namun konsep khalifah Allah membawa implikasi makna yang bersifat universal,
yaitu berlaku untuk setiap manusia, yaitu bahwa setiap manusia adalah wakil
Tuhan di bumi. Oleh karena itu, konsep khalifatullah tidak berhubungan dengan
kepemimpinan negara atau kekuasaan politik.
Dalam
sejarah Islam, kata khalifah dipergunakan pertama kali oleh Abu Bakar, khalifah
pertama dari Khulafa Rasyidun. Dalam pidato inaugurasinya Abu Bakar menyebut
dirinya sebagai khalifah ar-rasulillah, dalam pengertian pengganti Rasulullah.
Penggunaan kata khalifah mengalami transformasi arti yang cukup berarti. Jika
pada masa Abu Bakar kata khalifah (dalam khalifah ar-rasulillah) membawa
pengertian netral yaitu pengganti nabi, pada masa Umayyah dan Abbasiyah
berkembang dengan nuansa pengertian subyektif (khalifatullah), yaitu bahwa
seorang khalifah adalah wakil Tuhan. Penisbatan istilah tersebut kepada seorang penguasa
membawa konsekuensi adanya legitimasi ketuhanan baginya dan kedaulatan Ilahi
bagi kekuasaaannya. Hal ini diperjelas oleh adagium tentang penguasa yang
sering disebut oleh para ulama politik zill Allah fi al-ardi (bayang-bayang
Allah di bumi).
Pengukuhan penguasa
sebagai wakil Tuhan (khalifatullah) menunjukkan legitimasi ulama politik
terhadap kekuasaan. Legitimasi ini mengakibatkan kekhalifahan historis, yaitu
sistem khilafah yang pernah ada dalam sejarah Islam dipersepsikan sebagai
lembaga politik keagamaan. Sistem khilafah menjadi sistem pemerintahan yang
dianggap ideal dan sesuai dengan nilai-nilai Islam. Padahal, menurut Ibn
Khaldun, kekhalifahan sesudah masa Khulafa’ ar-Rasyidin bukan lembaga politik
keagamaan, tetapi lembaga politik sekuler, karena dasar pembentukannya bukan
agama tetapi solidaritas kelompok.
Pada masa modern ini
terdapat kelompok di kalangan umat Islam yang ingin menghidupkan kembali sistem
khilafah, seperti tampak pada gagasan Rasyid Ridha dengan al-khilafah au
al-imamah al-uzma (kekhalifahan yang agung) atau pada gerakan khilafah yang
pernah muncul di India pada awal abad ke-20 dan gerakan serupa di banyak negara
muslim.
Kata lain yang sering
dipergunakan untuk menunjukkan konsep kekuasaan atau pemerintahan adalah kata
hukumah. Dalam Bahasa Arab modern, kata ini mengandung arti pemerintahan.
Seperti kedua istilah terdahulu, istilah hukumah juga berhubungan dengan
kekuasaan. Perbedaannya mungkin terletak pada fokus. Khilafah lebih berhubungan
dengan format politik atau kekuasaan, sedangkan hukumah lebih berhubungan
dengan sistem pemerintahan. Kata hukumah dipergunakan di Turki sejak
awal abad ke-19 dengan rasa pengertian kekuasaan wewenang politik, dominion dan
bahkan regim.
Konsep hukumah sering
dihubungkan dengan tiga ayat Al-Qur’an yang menegaskan keharusan menentukan
hokum berdasarkan wahyu. Ayat-ayat ini sering dipahami sebagai keharusan untuk
mendirikan sistem politik dan pemerintahan Islam, sebagai instrumen untuk
menjalankan hukum Islam. Ayat-ayat tersebut memperoleh formulasi kontemporer di
tangan ideologi Ikhwan Muslimun, Sayyid Qutb, yang mengajukan teori hakimiyah,
yaitu teori tentang kekuasaan atau kedaulatan Ilahi.
Dengan menekankan
kedaulatan Ilahi, hukumah dan hakimiyah merupakan konsep
alternatif terhadap sistem politik dan pemerintahan Barat yang bersifat sekuler
dan menekankan prinsip kedaulatan rakyat. Bagi para pendukungnya, konsep hukumah
atau hakimiyah merupakan hasil ideologisasi nilai-nilai Islam untuk menjadi
suatu pandangan dunia baru yang disebut dengan istilah al-tas}awwur
al-Islami (pandangan dunia Islam) atau Nizam al-Islami (sistem
Islam).
Konsepsi tentang negara
seperti hakimiyah merupakan produk dari pemahaman harfiyah terhadap
Al-Qur’an. Konsepsi tersebut menuntut adanya suatu pemerintahan Ilahi, yang
dalam format kelembagaan negara akan berbentuk negara teokratis. Lewat
penafsiran yang bersifat rasional dan kontekstual ayat-ayat yang sama tidak
sampai membawa kesimpulan seperti itu, karena dipahami bahwa ayat-ayat tersebut
tidak berhubungan dengan sistem pemerintahan.
Walaupun kata hukumah tidak
pernah disebut dalam Al-Qur’an, namun berbagai bentuk derivatif dari akar
katanya –hakama – disebut sebanyak 168 kali dalam Al-Qur’an. Kata hakama
secara harfiyah mengandung arti menentukan hukum, mengadili, menetapkan,
dan memutuskan. Kata hakama mengandung arti menghentikan atau
mengendalikan sesuatu untuk tujuan baik, karenanya dikatakan hakamat
al-dabbah mengandung arti menghentikan hewan tunggangan dengan bijaksana.
Dalam hal ini, pemahaman kata hukum perlu dihubungkan dengan kata hikmah, yang
juga merupakan salah satu bentuk derivatif dari kata hakama. Dengan
demikian, penentuan hukum-tahkim dan juga hukumah merupakan kegiatan
dalam rangka merealisasikan nilai hikmat kebijaksanaan.
Namun demikian tidak
berarti bahwa Al-Qur’an tidak memberi pesan apapun bagi penyelenggaraan dan
pengisian negara termasuk dalam pengertian modern negara-bangsa. Akan tetapi
perlakuan Al-Qur’an terhadap negara lebih bersifat substansial yaitu menawarkan
nilai etik dan moral dari pada bersifat formal yaitu menekankan bentuk negara
atau format politik. Dengan demikian, mengatakan bahwa Islam (hanya) berurusan
dengan kehidupan spiritual, tanpa ada pengaruhnya dalam (persoalan) masyarakat
dan negara, barangkali sama tidak realistisnya dengan mengatakan bahwa Islam
menyediakan sebuah sistem sosial, ekonomi dan politik yang komprehensif dan
menyeluruh.[11]
Dr. Jeffrey Lang, muslim
Amerika yang juga profesor matematika di Unversitas Kansas, menceritakan bahwa
dari penelitiannya yang panjang, bukan sebagai orientalis tetapi sebagai
pengamat partisipan, ia memperoleh beberapa kesimpulan mengenai negara islam. Pertama,
ide “negara islam” (al-dawlah al-islamiyyah) bermula dari keinginan
untuk menjalankan syari’at Islam dalam konteks sosial politik ummat Islam
kontemporer. Kedua, ide negara Islam ditunjang oleh koknsep klasik dar
al-Islam dan dar al-harb. Dunia ini dibagi dua. Satu bagian dunia
diperintah dengan syari’at Islam dan sisanya diperintah oleh aturan bukan dari
ajaran Islam. Dalam bahasa Sayyid Quthb, dalam bukunya yang sangat
revolusioner, Ma’lim fi al-Thariq, satu bagian hidup dalam lindungan al-Nizham
al-Islami, dan bagian lain dalam al-nizham al-jahili. Dr. Lang
merumuskannya dengan bagus:
Formulasi hukum politik
ini memisahkan dunia menjadi dua wilayah yang tidak ada sangkut pautnya; dar
al-Islam, negara yang diperintah oleh kaum Muslim menurut Syari’at (hukum
Islam), dan dar al-harb, negara yang tidak di bawah kendali orang muslim
yang mana harus ditundukkan dengan jalan, kalau bahwa Islam memperkenankan
peperangan hanya untuk mempertahankan diri atau membela korban-korban
kesewenang-wenangan dan penindasan. Bahkan ayat pedang yang baru saja disebut,
berkenaan dengan perjanjian hudaibiyah yang dilanggar oleh orang-orang musyrik.
Sebagian besar para ulama tafsir menyebutkan ayat pedang sebagai ayat yang
“bertentangan” dengan ayat-ayat perintah perang dengan tujuan mempertahankan
diri atau menetang penindasan. Untuk mengatasi “pertentangan” ini,
dikemukakanlah teori nasikh mansukh. Ayat-ayat yang melarang agresi militer
(Q.S. al-Baqarah: 191-193, 256; Q.S. al-Nisaa: 91; Q.S. al-Anfal: 61),
dimansukh oleh Q.S. At-Tawbah: 5. Dr. Lang mengutip teori nasikh mansukh ini
dari salah seorang aktivis, Muhammad Abdul Salam Faraj, yang dihukum gantung
pada tanggal 15 April 1982 bersama dengan kelompok yang dituduh membunuh presiden
Anwar Sadat. Ia menulis dalam ‘kewajiban yang dilalaikan’:
Kebanyakan ahli tafsir
menyatakan pendapat tertentu tentang ayat yang mereka sebut ayat pedang (Q.S
at-Tawbah: 5), inilah ayat itu: “Apabila sudah habis bulan-bulan Haram itu,
Maka Bunuhlah orang-orang musyrikin itu dimana saja kamu jumpai mereka, dan
tangkaplah mereka. Kepunglah mereka, dan sergap mereka.”
Ibn Katsir menulis dalam tafsirnya: al-dahak Ibn
Muzahim berkata, “(ayat ini) membatalkan perjanjian, kontrak dan kesepakatan
apapun antara Nabi dan orang kafir.” Al-Ufi berkata tentang ayat ini, “menurut
Ibn Abbas, tidak ada persetujuan, tidak ada fakta pertahanan dengan orang-orang
kafir yang dikenal setelah diturunkannya perintah pembatalan tuntutan kewajiban
yang ditetapkan oleh perjanjian itu”.
Mufasir Muhammad ibn Ahmad ibn Juzzay al-Kalbi berkata,
“Pembatalan perintah untuk berdamai dengan orang-orang kafir, memaafkan mereka,
berhubungan dengan mereka secara pasif, dan menoleransi penghinaan-penghinaan
mereka adalah sebelum perintah memerangi mereka. Oleh karena itu, tampaklah
berlebihan jika pembatalan perintah hidup dengan damai bersama orang-orang
kafir diulang dalam setiap bacaan Al-Qur’an. Perintah hidup secara damai dengan
mereka disampaikan dalam 114 ayat yang tersebar di 54 surah. Semua ayat itu
dihapuskan oleh ayat Q.S. al-Tawbah: 5 dan Q.S al-Baqarah: 216 (ayat:
Diwajibkan atas kamu untuk berperang).
Argumentasi nasikh mansukh ini sudah kita ketahui
sangat rentan kritik. Pertama, semua hadits yang dijadikan dalil
nasikh-mansukh terhitung hadits yang lemah. Kedua, banyak pertentangan
di antara para ulama tentang ayat yang dinasakh, dan dengan ayat mana ia
dinasakh. Ketiga, formula teori nasikh-mansukh ini juga diikhtilafkan di
antara para ulama ‘Ulum al-Qur’an. Keempat, nasikh –mansukh
dikemukakan untuk “mendamaikan” ayat-ayat yang bertentangan; padahal alqur’an
sendiri menegaskan tidak ada pertentangan di dalamnya dan “akhirnya” menurut
Dr. Lang, “Teori nasikh-mansukh ini kelihatannya mendakwa bahwa tuhan
menurunkan informasi yang berlebih dan dalam wahyu terakhir pada umat manusia
sehingga Dia harus sering-sering menilai sendiri selama proses penyampaiannya.
Persepsi ini sangat sulit disesuaikan dengan gambaran alqur’an tentang Tuhan.
Tidak mengherankan cukup banyak mualaf Islam memberi tahu saya bahwa mereka
betul-betul kaget dan keimanannya sangat terguncang ketika pertama kali
menemukan teori ini”.[12]
BAB III
PENUTUP
A.
kesimpulan
Negara adalah organisasi yang dalam
sesuatu wilayah dapat memaksakan kekuasaannya secara sah terhadap semua
golongan kekuasaan lainnya dan yang dapat menetapkan tujuan-tujuan dari
kehidupan bersama itu. Negara menetapkan cara-cara dan batas-batas sampai di
mana kekuasaan dapat digunakan dalam kehidupan bersama, baik individu, golongan
atau asosiasi, maupun oleh Negara sendiri. Dengan demikian Negara dapat
mengintegrasikan dan membimbing kegiatan-kegiatan sosial dari penduduknya ke
arah tujuan bersama. Dalam rangka ini boleh dikatakan bahwa negara mempunyai
dua tugas:
3.
Mengendalikan dan mengatur
gejala-gejala kekuasaan yang asosial, yakni yang bertentangan satu sama lain,
supaya tidak menjadi antagonis yang membahayakan;
4.
Mengorganisir dan menintegrasikan
kegiatan manusia dan goongan-golongan ke arah tercapainya tujuan-tujuan dari
masyarakat seluruhnya. Negara menentukan bagaimana kegiatan-kegiatan
asosiasi-asosiasi kemasyarakatan disesuaikan satu sama lain dan diarahkan
kepada tujuan nasional
Dari perspektif wilayah, disebutkan
bahwa berdasarkan sifat dan eratnya hubungan antara negara dengan wilayahnya
sendiri maupun dengan wilayah negara lain, dapat dibedakan berbagai bentuk
negara antara lain :
1.
Negara kesatuan
Menurut C.F.
Strong, seperti dikutif Prof. Mariam Budiardjo, negara kesatuan adalah bentuk
negara yang wewenang legislatif tertinggi dipusatkan dalam satu badan
legislatif nasional atau pusat
2.
Negara serikat atau negara federal
Negara federal
atau negara serikat adalah suatu negara yang terdiri atas beberapa negara
bagian, tetapi setiap negara bagian tersebut tidak berdaulat. Yang berdaulat
adalah gabungan dari negara-negara bagian itu
3.
Gabungan negara (konfederasi)
Menurut L. Oppenheim suatu “konfederasi” terdiri dari beberapa negara
yang berdaulat penuh yang untuk mempertahankan kemerdekaan ekstern dan intern,
a.
Uni ;
b.
Commonwealth;
c.
Serikat negara;
d.
Protektorat;
e.
Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Pengertian
Sistem Pemerintahan
Sistem pemerintahan terdiri dari
gabungan dua kata yaitu sistem dan pemerintahan, demikian apabila dilihat dari
sisi etimologis. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, sistem adalah perangkat
unsur yang secara teratur saling berkaitan sehingga membentuk totalitas. Secara
umum sistem merupakan suatu struktur yang terdiri dari bagian-bagian atau
komponen-komponen yang saling berhubungan dan apabila salah satu atau sebagian
diantara komponen tersebut tidak atau kurang berfungsi, akan mempengaruhi
komponen-komponen yang lainnya.
Istilah pemerintahan dapat diartikan baik
secara luas maupun sempit. Dalam arti luas, pemerintahan adalah segala urusan
yang dilakukan oleh negara dalam menyelenggarakan kesejahteraan, dan
meningkatkan derajat kehidupan rakyat secara untuk menjamin kepentingan negara
itu sendiri, jadi bukan saja dikaitkan dengan pemerintahan yang menjalankan
fungsi eksekutif saja tetapi hubungannya dengan fungsi legislatif, eksekutif,
dan yudikatif. Dalam hal ini pengertian pemerintahan mencakup ke semua fungsi
tersebut di atas. Dalam arti sempit adalah hanya menyangkut fungsi eksekutif
saja.
DAFTAR
PUSTAKA
Syafi’i,
Inu Kencana. Pengantar Ilmu Pemerintahan. Jakarta: Eresco. 1992
Sabon,
Maxboli. Ilmu Negara. Jakarta: Gramedia. 1992.
Sastrapratedja.
Parera Frans. M. Niccolo Machiavelli Sang Penguasa: Surat Seorang Negarawan
Kepada Pemimpin Republik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 1991.
Budardjo,
Miriam. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 2008.
Latif,
Yudi. Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama. 2011.
Ismatullah,
Deddy. Gatara, Asep A. Sahid. Ilmu Negara Dalam Multi Perspektif Kekuasaan,
Masyarakat, Hukum, dan Agama. Bandung: Pustaka Attadbir. 2006.
Syafi’i,
Inu Kencana. Ilmu Pemerintahan dan Al-Qur’an.
Jakarta: Bumi Aksara. 1995.
Rakhmat,
Jalaluddin. Islam dan Pluralisme: Akhlak Qur’an Menyikapi Perbedaan. Jakarta:
Serambi Ilmu Semesta. 2006.
[1] Inu Kencana, Syafi’ie, Pengantar Ilmu
Pemerintahan, Jakarta: Eresco, 1992, hlm. 38.
[2] Maxboli Sabon, Ilmu Negara, Jakarta:
Gramedia, 1992, hlm. 38.
[3] Sastrapratedja, Parera Frans. M, Niccolo
Machiavelli Sang Penguasa: Surat Seorang Negarawan Kepada Pemimpin Republik,
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1991, hlm. 49.
[4] Budardjo, Miriam, Dasar-Dasar Ilmu Politik,
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008, hlm. 47-48.
[5] Latif, Yudi, Negara Paripurna:
Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila, Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 2011, hlm. 417, 421.
[6] Deddy Ismatullah, Asep A. Sahid Gatara, Ilmu Negara Dalam Multi Perspektif
Kekuasaan, Masyarakat, Hukum, dan Agama, Bandung: Pustaka Attadbir, 2006,
hlm.111-116.
[7] Budiardjo, Miriam, Dasar-Dasar Ilmu
Politik, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003, hlm. 139-140.
[8] Inu Kencana Syafi’i, Ilmu Pemerintahan dan
Al-Qur’an, Jakarta, Bumi Aksara, 1995, hlm. 5.
[9] Mohammad Abid al-Jabiri adalah
seorang pemikir Arab kontemporer (asal Maroko) lahir di Figuig, sebelah selatan
Maroko, tanggal 27 Desember 1935. Pendidikannya dari tingkat dasar sampai
perguruan tinggi ditempuhnya di Maroko. Dia pernah menempuh pendidikan filsafat
selama satu tahun di Universitas Damaskus, Syria (tahun 1958). Setelah itu dia
melanjutkan pendidikan diploma Sekolah Tinggi Filsafat Fakultas Sastra
Universitas Muhammad V di Rabat, (1967) dan meraih gelar master dengan tesis
tentang Falsafat Tarikh ‘inda Ibn Khaldun. Doktor
bidang Filsafat, dia raih di Fakultas Sastra Universitas Muhammad V, Rabat
(1970), dengan disertasi Al-‘Asabiyyah wa ad-Daulah: Ma’alim Nazariyyah
Khalduniyyah fi al-Tarikhi al-Islami. Al-Jabiri muda adalah seorang
aktivis politik berideologi sosialis yang sempat bergabung dalam partai Union
Nationale des Forces Popularies (UNFP) yang kemudian berubah nama menjadi Union
Sosialiste des Forces Popularies (USFP). Pada tahun 1975, dia sempat
menjadi anggota biro politik USFP. Selain pernah aktif di dunia politik,
al-Jabiri sesungguhnya lebih dikenal sebagai seorang akademisi yang sempat
menjabat Pengawas dan Pengarah Pendidikan bagi Guru-guru Filsafat di tingkat
menengah atas, sejak tahun 1965-1967. Sampai sekarang dia adalah Guru Besar
Filsafat dan Pemikiran Islam di Fakultas Sastra di Universitas Muhammad V,
Rabat, sejak 1967. Banyak karya yang telah ditulis oleh al-Jabiri, lihat
Ibrahim M. Abu Rabi’, Yusdani, Nalar Politik
Kenegaraan dalam Islam (Studi atas Pemikiran al-Jabiri), Artikel
Analisis, Volume XI, No 1, Juni 2011, hlm. 131-132.
[10] Ibid, hlm. 138-140.
[11] Ibid, hlm, 148-153.
[12] Rakhmat, Jalaluddin, Islam dan Pluralisme:
Akhlak Qur’an Menyikapi Perbedaan, Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2006,
hlm. 203-209.
Izin copas
ReplyDelete